Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kesetaraan, Olimpiade Paris, dan Diskriminasi Atlet Berhijab

30 Juli 2024   23:15 Diperbarui: 30 Juli 2024   23:20 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cincin Olimpiade di Menara Eiffel menjelang Upacara Pembukaan Olimpiade Paris 2024 [Foto: Getty Images/David Ramos]

Undang-undang itu mengizinkan penangkapan siapa pun yang "melalui perilaku, kontak, kata-kata atau tulisan mereka menunjukkan diri sebagai pendukung tirani, atau federalisme, atau musuh kebebasan".

Dengan undang-undang itulah Robespierre menyingkirkan calon kontra-revolusioner dan pengkhianat. Robespierre, dalam Selected Writings and Speeches of Maximilien Robespierre (terj. Mitch Abidor, hlm. 21), mengatakan bahwa "teror tanpa kebajikan adalah fatal, sementara kebajikan tanpa teror tidak berdaya."

Jalan yang ditempuh Jakobin untuk menegakkan demokrasi di Prancis berupa "teror radikal" atas nama negara. Teror radikal itu dilakukan terhadap rakyatnya sendiri. Paris, yang disangka "kota romantik", tiada lain adalah kota yang berlumur darah.

Begitulah sejarah mencatat bagaimana kesetaraan, keadilan, dan kebebasan yang gaung dan gelegarnya amat kencang saat Revolusi Prancis ternyata sebatas aksioma. Beda pendapat bisa membuat nyawa melayang.

/4/

Prancis menyerukan peninggian martabat manusia dengan kebebasan, kesetaraan, dan kebersaudaraan. Bule Inggris menyebutnya liberty, equality, fraternity, sedangkan bulai Prancis menyebutnya liberte, egalite, fraternite. 

Pada waktu yang sama, Prancis melakukan segresi terang-terangan, rasialisme sadis, dan diskriminasi terhadap warganya sendiri. Tidak ada alasan lagi Olimpiade Paris 2024 dipandang sebagai pesta olahraga yang terbuka, adil, dan demokratis.

Diaba Konate mesti mengubur mimpinya untuk meraih medali emas bola basket 3x3, sebab larangan berjilbab berlaku pula bagi atlet bola basket. Pada Olimpiade Buenos Aires 2018, Konate meraih medali perak untuk kontingan Prancis.

"Prancis sangat munafik menyatakan diri sebagai negara kebebasan dan kesetaraan, negara penegak hak asasi manusia, tetapi pada saat yang sama mereka melarang umat Muslim menunjukkan identitas jilbabnya saat berolahraga," keluh Konate.

Salimata Sylla sudah tiga tahun bermain basket sembari berhijab. Atas prestasi dan kepribadiannya, pada Januari 2023 ia didaulat menjadi kapten tim Aubervilliers. Sesaat sebelum masuk ke lapangan sebagai kapten, pelatih membisikkan sesuatu.

Sylla dilarang wasit masuk ke lapangan, kecuali ia melepas hijabnya. "Melepaskan jilbab bukanlah pilihan. Ini identitas saya selaku seorang Muslim. Negara mempermalukan saya di hadapan umum," papar Sylla.

Ternyata semboyan kebebasan, kesetaraan, dan kebersaudaraan di Prancis tidak lebih dari tong kosong yang nyaring bunyinya. Aksioma belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun