Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kesetaraan, Olimpiade Paris, dan Diskriminasi Atlet Berhijab

30 Juli 2024   23:15 Diperbarui: 31 Juli 2024   11:20 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cincin Olimpiade di Menara Eiffel menjelang Upacara Pembukaan Olimpiade Paris 2024 [Foto: Getty Images/David Ramos]

/1/

Presiden French Football Federation (FFF, Federasi Sepakbola Prancis), Philippe Diallo, marah besar. Gara-garanya, nyanyian rasis Enzo Fernandez dan konco-konconya saat merayakan juara Copa Amerika 2024.

Bagi Diallo, rasialisme bertentangan dengan nilai olahraga dan hak asasi manusia. Itu dalih mengapa FFF memutuskan akan menghubungi Federasi Argentina dan FIFA untuk mengajukan tuntutan hukum atas aksi rasis dan diskriminatif itu.

Diallo, pun entitas sepakbola Prancis, menganggap rasialisme dan diskriminasi dalam dunia olahraga adalah sesuatu yang hukumnya haram. Tidak boleh dilakukan, baik di dalam maupun di luar lapangan hijau.

Namun, Diallo dan warga Prancis lainnya ternyata mendua hati. Mereka marah besar ketika beberapa pemain timnas Argentina menyanyikan lagu rasial, tetapi diam membisu ketika Prancis melarang atlet berhijab tampil di Olimpiade Paris.

Sepintas, nyanyian rasial Enzo Fernandez dan pelarangan atlet berhijab adalah dua hal berbeda. Padahal, dua peristiwa itu berakar sama. Dua-duanya berpangkal pada tabiat rasialis dan diskriminatif.

Apalagi, pelarangan bagi perempuan berhijab untuk berpartisipasi dalam Olimpiade Paris 2024 sudah dicanangkan oleh Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea-Castera, dengan alasan bertentangan dengan nilai-nilai seklurasime di Prancis.

Ini poin kuncinya. Prancis tidak hanya melarang atlet berhijab, tetapi sekaligus melarang wasit dan hakim garis perempuan yang berhijab untuk berpartisipasi di Olimpiade Paris. Kalaupun atlet, hakim garis, atau wasit berhijab ingin tampil di Olimpiade Paris, suka tidak suka mereka mesti membuka hijab.

/2/

Tersebutlah kisah Lina Boussaha. Ia perempuan pesepakbola yang lahir di Saint-Denis, Prancis. Semasa berkarier di Prancis, Boussaha pernah menjadi bagian dari tim-tim besar, seperti PSG dan Lille.

Bukan sekadar mengecap suasana kamar ganti kesebelasan PSG dan Lille, Boussaha pernah pula membela timnas wanita Prancis untuk kelompok umur. Ia pernah membela Timnas Prancis U-16, U-17, U-19, dan U-20.

Hingga akhirnya cedera memaksa Boussaha minggir dari lapangan hijau. Ia mesti menepi untuk memilihkan diri. Pada 2023, ia pulih dari cedera panjang. Ia ingin kembali bermain di lapangan hijau. Namun, ia terkena diskriminasi dan rasialisme.

Sebagai seorang Muslimah, Boussaha memutuskan untuk berhijab. Keputusan itulah yang membuatnya tidak bisa bermain lagi di Prancis. Terpaksa ia hijrah ke Al Nassr di Arab Saudi. Dia pilih meninggalkan Prancis dan membela timnas senior Aljazair.

Ke mana Diallo dan konco-konco pengurus sepakbola Prancis ketika Boussaha dipaksa berhenti dari dunia sepakbola gara-gara hijab yang menghiasi kepalanya? Mereka tidak bersuara. Tidak juga membela hak asasi Boussaha untuk bermain sepakbola.

Mereka seperti kucing disiram air. Diam membisu alih-alih berteriak lantang membela keadilan dan kesetaraan pemain sepakbola.

/3/

Kesetaraan di Prancis memang sebatas aksioma. Sejak dahulu kala sudah begitu. Ya, kesetaraan kaum borjuis kapitalis dan kelas pekerja, misalnya, sebatas pemanis bibir belaka, tidak cukup berarti, tidak mengubah bentuk abstrak dari ketidaksetaraan aktual, dan tidak berfaedah apa-apa.

Kesetaraan yang kerap digembar-gemborkan di antero Prancis tidak lebih dari gagasan formalis dalam pengertian dialektis yang ketat. Dibicarakan, tetapi tidak dipraktikkan. Dimimpikan, tetapi tidak diwujudkan.

Jika semua manusia berada dalam keadaan setara, berarti semua manusia harus diperlakukan setara. Jika orang yang berkulit hitam manusia juga, berarti mereka harus segera diperlakukan sebagaiman lazimnya orang-orang memperlakukan manusia.

Jika semua atlet berada dalam keadaan setara, berarti semua atlet perempuan yang berhijab setara dengan atlet yang tidak berjilbab. Mereka sama-sama dapat mewakili Prancis di Olimpiade Paris.

Persoalan aksioma kesetaraan di Prancis sudah tampak pada masa Revolusi Prancis. Jakobin, selaku faksi penguasa Pemerintahan Teror, memberlakukan "ekstremisme politik egaliter" atau "radikalisme berlebihan".  

Ketika Revolusi Prancis pecah, histeria dan ketakutan menjadi sesuatu yang biasa. Kian parah akibat roti langka dan, kalaupun ada, harganya tidak terjangkau. Lalu, depresiasi mata uang yang terjun bebas. Pada musim panas 1793, warga Prancis rata-rata didera kemiskinan dan kelaparan.

Komite Keamanan Publik menyelenggarakan keamanan dan ketertiban negara dengan sifat kuasi-diktator. Komite itu didominasi oleh Maximilien Robespierre (1758--1794). Ia pemimpin idealis Jakobin yang masyhur sebagai pemimpin tanpa kompromi.

Maximillien Robespierre (Gambar: Pierre-Roch Vigneron-Public Domain)
Maximillien Robespierre (Gambar: Pierre-Roch Vigneron-Public Domain)

Pada 2 Juni 1793, faksi politik moderat Girondin tersingkir dari Konvensi Nasional, majelis legislatif Republik Prancis. Kemudian pada 17 September, seperti dibabar oleh William Doyle dalam The Oxford History of the French Revolution (2018: 251), Undang-Undang Tersangka diberlakukan.

Undang-undang itu mengizinkan penangkapan siapa pun yang "melalui perilaku, kontak, kata-kata atau tulisan mereka menunjukkan diri sebagai pendukung tirani, atau federalisme, atau musuh kebebasan".

Dengan undang-undang itulah Robespierre menyingkirkan calon kontra-revolusioner dan pengkhianat. Robespierre, dalam Selected Writings and Speeches of Maximilien Robespierre (terj. Mitch Abidor, hlm. 21), mengatakan bahwa "teror tanpa kebajikan adalah fatal, sementara kebajikan tanpa teror tidak berdaya."

Jalan yang ditempuh Jakobin untuk menegakkan demokrasi di Prancis berupa "teror radikal" atas nama negara. Teror radikal itu dilakukan terhadap rakyatnya sendiri. Paris, yang disangka "kota romantik", tiada lain adalah kota yang berlumur darah.

Begitulah sejarah mencatat bagaimana kesetaraan, keadilan, dan kebebasan yang gaung dan gelegarnya amat kencang saat Revolusi Prancis ternyata sebatas aksioma. Beda pendapat bisa membuat nyawa melayang.

/4/

Prancis menyerukan peninggian martabat manusia dengan kebebasan, kesetaraan, dan kebersaudaraan. Bule Inggris menyebutnya liberty, equality, fraternity, sedangkan bulai Prancis menyebutnya liberte, egalite, fraternite.

Pada waktu yang sama, Prancis melakukan segresi terang-terangan, rasialisme sadis, dan diskriminasi terhadap warganya sendiri. Tidak ada alasan lagi Olimpiade Paris 2024 dipandang sebagai pesta olahraga yang terbuka, adil, dan demokratis.

Diaba Konate mesti mengubur mimpinya untuk meraih medali emas bola basket 3x3, sebab larangan berjilbab berlaku pula bagi atlet bola basket. Pada Olimpiade Buenos Aires 2018, Konate meraih medali perak untuk kontingan Prancis.

"Prancis sangat munafik menyatakan diri sebagai negara kebebasan dan kesetaraan, negara penegak hak asasi manusia, tetapi pada saat yang sama mereka melarang umat Muslim menunjukkan identitas jilbabnya saat berolahraga," keluh Konate.

Salimata Sylla sudah tiga tahun bermain basket sembari berhijab. Atas prestasi dan kepribadiannya, pada Januari 2023 ia didaulat menjadi kapten tim Aubervilliers. Sesaat sebelum masuk ke lapangan sebagai kapten, pelatih membisikkan sesuatu.

Sylla dilarang wasit masuk ke lapangan, kecuali ia melepas hijabnya. "Melepaskan jilbab bukanlah pilihan. Ini identitas saya selaku seorang Muslim. Negara mempermalukan saya di hadapan umum," papar Sylla.

Ternyata semboyan kebebasan, kesetaraan, dan kebersaudaraan di Prancis tidak lebih dari tong kosong yang nyaring bunyinya. Aksioma belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun