Menulis memang mudah, bahkan sangat mudah. Kalau asal menulis saja, siapa pun pasti mampu. Kalau cuma menulis serampangan atau sembarangan, semua orang juga mampu.
Mengapa saya berpendapat demikian? Karena "asal menulis" atau "menulis asal-asalan" tidak butuh kecakapan khusus. Selama ada pulpen dan kertas, selama jemari masih lincah menari di laptop atau gawai, selama itu pula semua orang mudah menulis.Â
Lain perkara jika kita ingin menganggit tulisan yang berisi dan bergizi. Itu bukan pekerjaan remeh. Tulisan seperti itu niscaya membutuhkan keterampilan khusus. Siapa saja yang berhasrat menghasilkan tulisan bernas otomatis harus rajin mengasah diri.Â
Dengan kata lain, kecakapan menulis tidak ujuk-ujuk muncul lantaran harus melewati proses yang pelik dan ripuh. Kecakapan menulis serupa dengan kemahiran memetik dawai kecapi yang harus terus diasuh dan diasah. Sekali berhenti, apalagi dalam jangka yang lama, alamat otak beku dan jemari kaku.
Jadi, terampil menulis merupakan hasil dari proses mengasah diri dan mengasuh minat. Tidak semua orang mahir memilih kata. Tidak semua orang jago meracik kalimat. Ada yang sudah menghasilkan puluhan tulisan, tetapi masih kelabakan menata kata. Ada yang kerap menang lomba menulis, tetapi gelagapan menaja kalimat.
Berkenaan dengan hal tersebut, berikut saya tuturkan resep sederhana menata paragraf. Saya berharap tulisan ini berguna bagi para bloger. Supaya elok dibaca dan mudah dicerna, saya sertakan pula infografis sederhana selaku pendukung. Silakan menikmati.
Jangan recehkan paragraf, sebab kehadirannya menentukan seberapa jernih cara Anda memaparkan gagasan.
Paragraf tiada beda dengan rumah yang kita tinggali. Paragraf pembuka ibarat halaman sebuah rumah. Jika sampah bertebaran di mana-mana, orang lain boleh jadi enggan bertandang.
Jalinan antarparagraf persis ruang-ruang dalam rumah kita. Mau tidak mau, kita mesti berupaya keras supaya ruang-ruang itu jernih dan jelas. Jernih artinya resik sehingga elok dipandang, jelas berarti setiap ruang ketahuan fungsinya. Kamar mandi yang kotor dan bau pesing akan mempermalukan tuan rumah.
Paragraf juga begitu. Paragraf yang jernih niscaya bersih dari kemungkinan membingungkan pembaca. Paragraf yang jelas pasti memudahkan pembaca untuk mencecap dan mencerna gagasan yang diuraikan oleh penulis.
Mengulik Resep Menata Paragraf
Mari kita babar kelima resep di atas. Mula-mula kita menginjak anak tangga pertama. Namanya ketedasan.
Seruntun kata akan menghasilkan kalimat, sedangkan serentet kalimat akan membentuk paragraf. Kata-kata yang kita jajarkan harus terang dan jelas, itulah makna tedas. Kalimat-kalimat yang kita jejalkan mesti bening atau jernih, itulah arti tedas.
Apa saja yang perlu kita cermati supaya paragraf yang kita tata memenuhi syarat tedas? Silakan tilik infografis berikut.
Dalam urusan tanda baca, tidak sedikit penulis yang kerepotan meletakkan tanda koma (,) atau tanda titik (.) sewaktu berurusan dengan kutipan langsung. Ada pula yang menaruh tiga hingga lebih tanda seru (!) dengan alasan penegasan seruan. Lebih celaka lagi, masih ada di antara kita yang menaruh tanda titik setelah tanda seru atau tanda tanya.
Terkait pilihan kata, tidak sedikit di antara kita yang keliru berlarut-larut. Konveksi (peristiwa gerakan benda cair atau gas akibat perbedaan suhu dan tekanan) sering ditukar dengan konfeksi (pakaian dan sebainya yang diproduksi secara massal). Tampak receh, tetapi maknanya jauh panggang dari api. Maka lihatlah plang perusahaan konfeksi di sekitar Anda, rata-rata menerakan kata "konveksi".
Apa pula yang saya maksud dengan irama kata? Rentetan kata pilihan kita mestinya bernada dan bertenaga. Bedakan antara kalimat yang berirama dengan kalimat yang berbunga-bunga.Â
Jika Anda membaca ulang dua kalimat di atas, boleh dibaca dengan sedikit bersuara, maka akan berasa iramanya. Namun, dua kalimat tersebut tidaklah berbunga-bunga.
Selanjutnya kita injak anak tangga kedua, yaitu ketegasan.Â
Di sinilah pentingnya ide dan kerangka artikel sudah rampung, entah di kepala entah di catatan, sebelum kita tumpahkan ke dalam tulisan. Penulis yang cakap memiliki vaksin guna menangkal serangan virus kalimat bertele-tele. Vaksinnya bernama kerangka gagasan.
Kini kita tiba di anak tangga ketiga. Keringkasan namanya. Perhatikan secermat-cermatnya paragraf Anda.
Di sinilah perlunya setiap penulis mengenali kata.Â
Anda harus bisa membedakan antara kata sifat dan kata kerja, memastikan mana nomina dan mana pronomina, atau mencamkan penggunaan adjektiva dan pemakaian adverbia.Â
Bingung memahami diksi pada kalimat di atas? Jika jawaban Anda "ya", berarti Anda butuh berintim-intim dengan kata.
Bentuk ringkas dan bentuk panjang berpilin erat dengan kefasihan kita dalam mengenali kata. Aku membutuhkan kamu dapat diringkas menjadi aku membutuhkanmu. Itu masih di tataran kalimat, belum bergerak ke tuturan paragraf.
Perhitungkan kalimat pokok atau kalimat utama. Kalimat utama dalam satu paragraf biasanya satu atau dua kalimat saja, selebihnya pelengkap belaka.
Kita mesti menyadari bahwa pembaca artikel, baik di blog maupun portal berita, banyak memakai ponsel ketika membaca. Paragraf yang panjang dapat menguapkan gairah membaca. Jika sudah begitu, pertanda tulisan kita ditinggalkan sebelum khatam dibaca. Kecuali pembaca sangat membutuhkan tulisan kita.
Kini tiba waktunya kita menilik resep keempat, yakni ketandasan. Silakan tilik infografis di bawah ini.
Sekarang kita masuki koridor atau selasar antarparagraf. Kita perlu membubuhkan penggalan gagasan ke dalam setiap paragraf.
Ambil contoh anatomi tubuh kita. Posisi kepala, leher, tangan, perut, dan kaki jelas letaknya. Jangan lupa ada tulang dan sendi yang mengutuhkan badan kita. Ingat juga bahwa di balik batok kepala ada otak, di balik kulit ada daging, di dalam perut ada usus, dan di dalam tulang ada sumsum.
Begitu pula semestinya kita menata paragraf. Perhatikan di mana letak otak, jantung, dan sumsum gagasan. Cermati juga penggunaan kata penghubung antarparagraf.
Tibalah kita di anak tangga kelima alias resep terakhir. Artikel yang kita anggit tiada beda dengan cinta yang kita jalin. Setiap yang bernama cinta seyogianya utuh. Inilah resep terakhir: keutuhan.
Resep ini kita pakai sebagai sentuhan akhir. Ibarat serangan dalam sepak bola, resep keutuhan inilah yang mengharuskan terciptanya gol. Dapat pula kita sebut resep ini dengan swasunting atau mengedit sendiri tulisan kita.
Mengapa harus dibaca dan disunting ulang? Ini kita lakukan guna menutup lubang-lubang dalam tulisan. Lubang paling dangkal adalah kesalahan pengetikan. Setelah itu, kekeliruan memilih kata. Selanjutnya, keterpaduan antarparagraf.
Apabila swasunting sudah rampung, silakan agihkan tulisan Anda kepada pembaca. Bisa kepada orang terdekat, teman yang tepercaya, atau langsung mengeposkan tulisan di blog.
Ada yang pernah bertanya kepada saya. Apakah pemakaian ragam cakapan, semisal dalam menulis artikel di blog, menjamin tulisan mudah dimengerti? Belum tentu.Â
Ada juga yang bertanya seperti ini. Apakah penggunaan ragam resmi, semisal dalam tulisan di blog, membuat tulisan terasa kaku? Belum tentu.
Ragam kata sebatas pilihan. Persoalan renyah baca jelas merupakan perkara berbeda. Kata "elu" atau "saya" bukanlah garansi tulisan Anda berisi atau bergizi.
Pisau dapur di tangan tukang masak biasa berbeda jika berada di tangan juru masak ternama. Sama-sama dipakai di dapur, digunakan untuk memasak juga, tetapi tingkat kemahiran pasti tidak bakal serupa. Itu ilustrasi belaka.
Bagi penulis yang cakap, gagasan sederhana bisa diolah menjadi bacaan yang luar biasa. Ibarat kata telur dadar di tangan koki terampil. Saya juga sering menggoreng dadar telur, tetapi saya sendiri yang menyebutnya enak. Di sinilah pentingnya teori dan pengalaman.Â
Paragraf di jemari penulis yang terampil mirip dengan telur dadar di tangan koki terampil. Mengapa demikian? Lantaran penulis sudah khatam dalam menata irama dan menaja makna. Bisakah Anda melakukan hal serupa? Jelas bisa. Semua orang pasti mudah melakukan sesuatu asal tahu caranya.
Bagaimana cara mengetahuinya? Tiada lain kecuali dua cara, yakni banyak membaca dan rajin menulis. Tidak banyak. Hanya dua, tetapi jangan Anda kira mudah diterapkan.
Percayalah, kita semua punya tumor di jantung semangat kita. Tumor itu bernama malas. [khrisna]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI