Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Amadeus Marzuki dan Konserto Ananda Sukarlan

31 Desember 2018   11:55 Diperbarui: 31 Desember 2018   13:15 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: vectorstock.com

Amadeus. Ia tiba di Wina dan menggemparkan Austria. Komposisi gubahannya seperti sihir penuh pikat yang memukau musikus dan seluruh warga. Kaisar Austria malah rela melanggar sendiri larangan-larangan yang telah disabdakannya demi melahap sajian opera Amadeus. Bahkan Antonio Salieri sudi menyeka dendamnya demi melumat syahdu karya Amadeus.

Itulah film klasik yang mengisahkan serpihan proses kreatif maestro musik klasik dunia yang sangat tersohor: Wolfgang Amadeus Mozart. Saya menontonnya, pada 1991, semasa di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Negeri Ujung Pandang. Kisah Amadeus, sang penyendiri, yang karyanya hidup abadi jauh melampaui usianya.

Tujuh belas tahun kemudian, 2008, saya bertemu dengan Evan Taylor. Terbuang dari keluarganya sejak bayi, tumbuh di sebuah panti asuhan, gemar duduk di pojok pekarangan sendirian untuk mendengar nyanyian angin, merekam gemerincing pagar kawat dan decit ban mobil, serta menelan irama liar instrumen semesta.

Evan melarikan diri dari panti asuhan demi gairahnya yang menggelegar melihat musisi jalanan, yang seumuran dengannya beraksi di taman kota. Dalam petualangan musikalnya ia bertemu Wizard, ayah ideologis para pengamen, dan namanya pun berganti August Rush. Gara-gara musik ia berkelana dari panggung ke panggung. Namun, doanya cuma satu: semoga musik mempertemukan dirinya dengan orangtuanya.

Ada beberapa film bertema musik yang merasuki benak saya selain Amadeus dan August Rush. Ray, misalnya, menuturkan kegigihan musisi jazz legendaris Amerika yang tunanetra. The Pianist, misalnya, yang menajamkan batin saya perkara perih kemanusiaan. Whiplash, misalnya lagi, menguatkan tekad saya selama berkecimpung di dunia sastra.

Kelima film berlatar musik itu sama-sama bertumpu pada satu karakter: kaum penyendiri.

Pertemuan Maya dengan Ananda Sukarlan

Juni 2013. Saya menyapa seorang komposer kelas dunia di dunia maya. Facebook menjembatani dialog hangat saya dengan seorang pianis andal, Ananda Sukarlan. Jangan tanya mengapa saya kagum kepadanya, sebab saya memang terpesona pada jemaah penyendiri--seperti kekaguman saya pada Amadeus, Evan, dan Ray.

Betapa tidak, selama bertahun-tahun Ananda aktif berbagi ilmu dan pengalaman kepada guru-guru piano untuk anak autis. Ananda, bersama Yayasan Daya Pelita Kasih, tidak kapok-kapok beraksi demi para penyendiri agar tidak digelari "alien" di tengah riuh dan ricuh pergaulan.

Apakah hanya sebegitu kiprah Ananda? Tidak. Musisi kelahiran Jakarta yang bolak-balik Indonesia-Spanyol itu menggubah komposisi musik, dengan piano, yang dapat dimainkan umat difabel. Konsertonya dapat dimainkan dengan sebelah tangan, entah kiri entah kanan, bahkan dapat dimainkan dengan tiga atau satu jari.  

Inovasi komposisi musik seperti itu bukahlah hal baru baginya. Semenjak bekerja sama dengan Fundacion Musica Abierta dan berkiprah di Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) yang didirikannya, ia terus melahirkan komposisi musik yang dapat dimainkan oleh kaum difabel. 

Yang paling saya suka adalah ketika Ananda "menikahkan" Kasih Ibu dengan Lonely Child. Ya, anak-anak kesepian yang sibuk dalam dunianya sendiri memang selalu butuh sentuhan kasih Ibu. Selamanya, bahkan lebih lama daripada selamanya.

Saya juga penyuka kesendirian. Selalu ada saat manakala saya merasa sendirian bahkan di tengah keramaian. Saat-saat seperti itu saya rekam ke dalam sajak. Di antaranya, Pohon Duka Tumbuh di Matamu. Sajak itu pula yang merekatkan kedekatan saya dengan musisi pertama dari Indonesia yang diajak bekerja sama oleh Greenpeace untuk mengampanyekan peduli lingkungan.

Bermula dari Facebook, beringsut ke Twitter, hingga bertemu berkali-kali.

Geletar Mimpi Ananda 

Jika kamu perempuan, jangan lekas gede rasa atau geer jika sedang bercakap-cakap dengan Ananda. Matanya memang sering berkedip-kedip, mukanya memang kerap menunduk, matanya memang jarang berlama-lama menatap mata lawan mengobrolnya, tetapi itu semua bukan gelagat jatuh cinta. 

Ia “dianugerahi” sindrom asperger sejak kecil, tetapi baru terdiagnosis setelah ia berusia 28 tahun. Kala itu, doi sudah menetap di Eropa.

Mengapa saya menyebut sindrom asperger sebagai anugerah? Karena memang sindrom tersebut bukan malapetaka yang membuat pengidapnya harus dipinggirkan, apalagi disingkirkan, dari ranah pergaulan sehari-hari. Para pengidap sindrom asperger pasti menaruh minat khusus pada bidang tertentu. Jika minat itu sudah menambat hati, alamat seluruh perhatian tercurah ke situ. 

Bagi anak-anak yang dikarunia sindrom asperger, lazimnya kerabat autis, satu minat sudah cukup untuk menyibukkan diri. Ada yang fokus pada kereta api dan pernak-perniknya, malah cuma dengan melihat keretanya saja sudah tahu kapan kereta itu dibuat, di mana diproduksi, dan apa saja keunggulan kereta itu. Ada yang fokus pada piano sehingga seluk-beluk piano ia ketahui, bahkan sanggup memainkan sebuah komposisi piano cukup dalam sekali dengar, sampai-sampai karunia itu memudahkannya untuk menggubah apa saja.

Tidak, itu hanya sekadar contoh. 

Kenyataannya, tidak sedikit anak berkarunia melimpah itu yang “diabaikan” oleh kerabat dan sahabatnya. Malahan ada orangtua yang malu jika anaknya gemar menyendiri akibat sindrom tertentu. Seolah-olah dunia kiamat karenanya. Padahal, bahan makanan hanya akan berasa lezatnya selama berada di tangan koki yang tepat.

Bagaimana dengan Ananda? Beruntunglah doi lantaran diberkati orangtua yang pengertian. Tidak ada pertanyaan “sudah makan” atau “sudah mandi” sekalipun sepanjang hari ia sibuk di depan piano. Tidak ada pula gerunyam “kerjakan tugas sekolahmu” sedari ia masih belia. 

Beruntunglah kita, seluruh warga Indonesia, karena akhirnya Ananda menjelma sebagai pianis yang kiprahnya diakui dunia internasional. Hanya saja, jangan meminta Ananda untuk menyetir mobil. Ia tidak bisa melakukannya!

Adakah masih ada mimpi Ananda yang belum tunai? Banyak. Salah satu di antaranya, seperti yang beliau tuturkan kepada saya dalam sebuah perbincangan setelah peluncuran komunitas Inovator 4.0 Indonesia, tahun lalu di Jakarta, adalah merampungkan Rapsodia Nusantara dan mengumandangkan kembali karya-karya klasik musisi Indonesia.

Khusus mimpi pertama, Ananda sudah merampungkan 20-an nomor Rapsodia Nusantara dari target sebanyak 34 nomor. Jumlah yang bisa ditebak. Indonesia terdiri dari 34 provinsi dengan setiap provinsi memiliki lagu daerah yang khas dan unik. 

Gubahannya itu sudah dipertunjukkan musisi kelas dunia di berbagai benua. Harapannya untuk mengantar citarasa Indonesia di kancah musik intersional perlahan-lahan menjadi kenyataan.

Konferensi Pers Konser Tahun Baru .dokpri
Konferensi Pers Konser Tahun Baru .dokpri
Bing Crosby Betawi dan Orkestra Ananda Sukarlan 

Bagaimana dengan mimpi kedua? Pianis yang selama beberapa saat berhenti kuliah di Belanda lantaran keteteran biaya itu, meskipun akhirnya sanggup bertahan hidup di rantau dan S-2 kelar juga lewat hadiah-hadiah kompetisi yang diikutinya, tahun depan akan menggelar konser sebagai pemenuhan atas kaulnya menduniakan musik karya musisi Indonesia.

Tahun depan itu, 2019, hanya bersisa hitungan jam saja kita sudah berpindah tahun. Konser Tahun Baru akan digelar oleh putra ketujuh pasangan Sukarlan dan Poppy ini pada 13 Januari 2019. Jakarta New Year’s Concert (JNYC) rencananya diselenggarakan di Ciputra Artpreneur Jakarta.

Millenial Marzukiana, begitu tajuk konser tersebut. Barangkali ada yang menanyakan mengapa ada kata “millenial” dalam nama konser tersebut. Jawabannya sederhana, karena para musisi yang tampil merupakan “jemaah milenial”. Mereka lahir pada kisaran 1990-an. Bagaimana dengan Marzukiana? Karena pada Konser Tahun Baru itu, Ananda akan menyuguhkan racikan baru atas karya-karya maestro Ismail Marzuki.

Siapakah Ismail Marzuki itu? Tenang saja. Jika kalian sempat, jalan-jalan saja ke Taman Ismail (TIM) di Cikini, Jakarta. Setelah melewati gapura “kawasan seniman” itu, kalian akan disambut senyum patung penggubah lagu Gugur Bunga itu. Di plakat tertera keterangan singkat tentang siapa dan apa kiprah beliau.

Belum cukup? Tidak usah ke mana-mana. Cukup di beranda atau di kamar saja. Silakan cari-cari informasi mengenai sosok Ismail Marzuki. Bisa juga berjalan-jalan ke kediaman keluarga beliau di kawasan Parung, Kabupaten Bogor.

Namun, cara yang paling jitu adalah mengajak keluarga kalian untuk menghadiri konser Ananda. Mumpung masih ada tiket masih ada. Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Sekali menonton konser Ananda, sekalian kita nikmati karya-karya Ismail Marzuki.

Tiketnya tidak mahal-mahal amat jika dibandingkan dengan suguhan yang bakal kita nikmati. Anak-anak milenial akan memanjakan telinga dan hati kita. Aryo Widhawan (tenor) dan Mariska Setiawan (sopran) akan membuai kuping kita, ditambah “aksi maut” Anthony Hartono (piano), Finna Kurniawati (biola), dan Jessica Sudarta (harpa). Usia mereka boleh muda, tetapi kiprah mereka di kancah musik internasional tidak perlu dipertanyakan lagi.

Satu lagi mimpi Ananda yang bakal terlaksana.

Serenade Cinta Awal Tahun 

Komposisi musik klasik persis seperti serendeng kata dalam satu puisi atau seruntun peristiwa dalam semesta. Ganti satu kata maka bangunan puisinya runtuh. Ganti satu sabda maka semestanya nelangsa. Ganti satu not maka keindahan konsertonya memburam.

Pada pembuka Konser Tahun Baru, Ananda akan menyuguhkan penampilan istimewa. Tsunami Aural. Begitu pengakuan lelaki yang membeli tanah dan rumah di Bilbao, Spanyol, dari hadiah kompetisi musik itu. “Menerjemahkan peristiwa ke dalam nada sungguh tiada terduga,” katanya kepada saya. “Tsunami kembali menyapa kita, saya berhasrat mengabadikannya ke dalam nada.” 

Kabar utuh tentang peralihan fraktal tsunami ke dalam tsunami aurel dapat diulik lewat blog pribadi Ananda.

Seperti apa hasilnya?

Saya tidak bisa berkata apa-apa. Kita tunggu saja hasilnya di Konser Tahun Baru. Silakan pesan tiketnya lewat loket.com atau hubungi Lumina Kaya Indonesia (Kaya.ID). Setelah itu, siap-siap dipangah lantun karya Ismail Marzuki dalam citarasa Ananda Sukarlan.

Kita semua memiliki semacam kecintaan pada tanah air. Pada tiap bar musik yang mengalir, biarkan cinta ‘sang penyembuh benci’ terus membanjir. Memenuhi hati kita dengan desir, menghapus segala-gala di kepala kita yang tersaput nyinyir, dan menggantinya dengan ketenangan batin dan lahir.

Ketika suara-suara bergerak, ketika nada-nada berderak, ketika tempo-tempo meruyak, kematian yang bekerja dengan tabah diam-diam mendoakan kerubuhan nilai-nilai kehidupan. Api kebencian berkobar di mana-mana. Kebaikan ditindih kejahatan, kedamaian dibusukkan keburukan. Kita hanya bisa bersenandung samar-samar bersama raung klarinet, jerit biola, lolong sopran dan tenor, serta pekik trombon dan gumam bas.

Akan tetapi, kematian tidak pernah menghentikan cinta dan kemarahan yang tidak pernah bisa memadamkan pijar senyum. 

Cinta Bing Crosby Betawi selalu hidup, tetap hidup, dan akan terus hidup. Mula-mula dalam konserto Ananda Sukarlan, menjalar ke seluruh Asia, pelan-pelan merembes ke Australia, mengalun di Afrika, dan berkumandang di dunia.

Persis seperti kerdip simfoni di dada Amadeus, merambat dari Sarlzburg, menggemuruh di Wina, mengguntur di Eropa, hingga tiba di telinga kita. Persis seperti kerlip cinta di hati August yang tidak pernah sedikit pun membiarkan sanubarinya ditumbuhi bibit benci kepada Wizard.

Apa yang sudah ditahbiskan Ananda ke dalam nada sepenuhnya hanyalah keabadian cinta. Yang oleng akan tegak, yang otek akan kukuh, yang seroyongan akan teguh, yang sempoyongan akan tegap. 

Sebab di dalam hati teduh, cinta yang terus menyala tidak pernah membakar. Dia hanya menghangatkan. Hanya menghangatkan! []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun