Yang paling saya suka adalah ketika Ananda "menikahkan" Kasih Ibu dengan Lonely Child. Ya, anak-anak kesepian yang sibuk dalam dunianya sendiri memang selalu butuh sentuhan kasih Ibu. Selamanya, bahkan lebih lama daripada selamanya.
Saya juga penyuka kesendirian. Selalu ada saat manakala saya merasa sendirian bahkan di tengah keramaian. Saat-saat seperti itu saya rekam ke dalam sajak. Di antaranya, Pohon Duka Tumbuh di Matamu. Sajak itu pula yang merekatkan kedekatan saya dengan musisi pertama dari Indonesia yang diajak bekerja sama oleh Greenpeace untuk mengampanyekan peduli lingkungan.
Bermula dari Facebook, beringsut ke Twitter, hingga bertemu berkali-kali.
Geletar Mimpi Ananda
Jika kamu perempuan, jangan lekas gede rasa atau geer jika sedang bercakap-cakap dengan Ananda. Matanya memang sering berkedip-kedip, mukanya memang kerap menunduk, matanya memang jarang berlama-lama menatap mata lawan mengobrolnya, tetapi itu semua bukan gelagat jatuh cinta.
Ia “dianugerahi” sindrom asperger sejak kecil, tetapi baru terdiagnosis setelah ia berusia 28 tahun. Kala itu, doi sudah menetap di Eropa.
Mengapa saya menyebut sindrom asperger sebagai anugerah? Karena memang sindrom tersebut bukan malapetaka yang membuat pengidapnya harus dipinggirkan, apalagi disingkirkan, dari ranah pergaulan sehari-hari. Para pengidap sindrom asperger pasti menaruh minat khusus pada bidang tertentu. Jika minat itu sudah menambat hati, alamat seluruh perhatian tercurah ke situ.
Bagi anak-anak yang dikarunia sindrom asperger, lazimnya kerabat autis, satu minat sudah cukup untuk menyibukkan diri. Ada yang fokus pada kereta api dan pernak-perniknya, malah cuma dengan melihat keretanya saja sudah tahu kapan kereta itu dibuat, di mana diproduksi, dan apa saja keunggulan kereta itu. Ada yang fokus pada piano sehingga seluk-beluk piano ia ketahui, bahkan sanggup memainkan sebuah komposisi piano cukup dalam sekali dengar, sampai-sampai karunia itu memudahkannya untuk menggubah apa saja.
Tidak, itu hanya sekadar contoh.
Kenyataannya, tidak sedikit anak berkarunia melimpah itu yang “diabaikan” oleh kerabat dan sahabatnya. Malahan ada orangtua yang malu jika anaknya gemar menyendiri akibat sindrom tertentu. Seolah-olah dunia kiamat karenanya. Padahal, bahan makanan hanya akan berasa lezatnya selama berada di tangan koki yang tepat.
Bagaimana dengan Ananda? Beruntunglah doi lantaran diberkati orangtua yang pengertian. Tidak ada pertanyaan “sudah makan” atau “sudah mandi” sekalipun sepanjang hari ia sibuk di depan piano. Tidak ada pula gerunyam “kerjakan tugas sekolahmu” sedari ia masih belia.