Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Gadis Penuh Cinta

17 Oktober 2018   09:06 Diperbarui: 18 Oktober 2018   04:13 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Orang-orang di sini hanya punya dua ekspresi: kesedihan dan kegembiraan. Yang bersedih dan yang bergembira sama-sama berurai air mata. Ada yang bercucuran, ada yang bertitikan.

Gadis bergaun putih dan bermata indah itu berjalan ke arah UGD. Sabda menatapnya sembari menarik napas lega dan menelan ludah dengan susah payah. 

Betul-betul hari penuh kejutan. Perintah senior, puisi dari Kana, demonstrasi yang mencengkam dan mencekam, kericuhan, perempuan tua yang jatuh pingsan dengan darah mengalir di cuping hidung, pengalaman pertama menyetir mobil ambulans, dan gadis bergaun putih yang misterius. Satu lagi, Sabda membatin, di sinilah aku sekarang di gedoeng toea--dan Tuan Menir Chastelein berdansa di kepala.

Sebagaimana rumah sakit-rumah sakit yang lain di Depok, RS Harapan dipenuhi pasien. Ada yang meninggalkan rumah sakit dengan wajah berseri-seri, ada yang masuk ke rumah sakit dengan mata dilamuri kecemasan, ada yang mulutnya komat-kamit tiada henti, ada yang bercucuran air mata. Orang-orang di sini hanya punya dua ekspresi: kesedihan dan kegembiraan. Yang bersedih dan yang bergembira sama-sama berurai air mata. Ada yang bercucuran, ada yang bertitikan.

Dari jauh, gadis bergaun putih melambaikan tangan dan tersenyum kepadanya. Dia berjalan dengan anggun. Langkahnya seperti penari salsa. 

Sabda menggerutu di dalam hati. Tadi ia semobil dengannya, mengobrol bersamanya, dan mencemaskan nasib perempuan renta yang sama, tetapi ia tidak tahu siapa nama gadis itu, apa pekerjaannya, di mana rumahnya, dan ia tidak bernyali buat menanyakan apa-apa.

"Kita kembali ke Stasiun Pocin!"

Ketika melihat gadis itu tersenyum, Sabda seperti melihat orang yang berbeda. "Bagaimana nasib pedagang tadi?"

"Terlambat lima menit saja nyawanya melayang."

"Syukurlah. Sakit apa?"

Dia mengedikkan bahu. "Belum ada diagnosa dokter, baru analisa!"

Sabda naik ke mobil, lalu duduk di belakang setir. "Diagnosis, itu kata yang baku. Analisis, bukan analisa!"

"Mahasiswa UI?"

Sabda mengangguk.

"Ilmu Budaya?"

"Pantas!"

"Pantas apa?"

Dia tersenyum sambil mengerling. "Sudah empat ucapanku yang kamu tegur dalam rentang setengah jam. Ambulans, sirene, diagnosis, dan analisis. Dalam situasi segenting ini kamu masih sempat mengkritik kata-kataku. Tidak bisa kubayangkan seandainya kita berada dalam situasi berbeda, mungkin lebih banyak lagi ucapanku yang kamu kritik."

"Kamu marah?"

Dia menggeleng. "Tidak."

"Syukurlah!"

"Kampusmu berhantu!"

Sabda merasa sangat geli dan tak dapat menahan ketawa. "Aneh!"

"Kenapa?"

"Hantu kamu percaya!"

"Apa agamamu?"

"Hantu tidak ada hubungannya dengan agama."

"Hantu itu gaib. Rata-rata umat beragama menyembah yang gaib!"

"Bukan berarti menyembah hantu!"

"Nenek tadi sudah renta," kata gadis itu pelan, seperti sengaja mengalihkan pembicaraan. "Suaminya sudah tiga tahun sakit, hanya bisa berbaring tanpa daya di ranjang. Nenek itulah yang banting tulang mencari uang demi menebus obat suaminya dan makan mereka sehari-hari. Kemarin, kiosnya di Stasiun Citayam diratakan dengan tanah. Padahal baru seminggu lalu dia lunasi sewa perpanjangan kiosnya. Secara religius," ujarnya sambil menoleh kepada Sabda, "coba katakan dari mana tenaga nenek itu berasal sehingga dia mampu bertahan menanggung beban hidup yang sangat berat?"

Sabda tersenyum. "Secara psikologis, dorongan bertahan hidup sanggup memunculkan kekuatan tersembunyi di dalam dirinya!"

"Kamu percaya Tuhan?"

"Tentu saja."

Dia berjengit. "Tuhan menolongnya!"

"Salah satu dari sekian banyak tugas Tuhan adalah menolong hamba-Nya!"

"Sarkas!"

"Tidak. Semua agama meyakini bahwa Tuhan yang mereka puja adalah Muara Segala Kasih." 

Sabda memegang dadanya dengan tangan kanan. "Ketika kita yakin bahwa Tuhan tidak tidur, berarti kita percaya bahwa Tuhan sedang bertugas 'menjaga hamba-Nya'. Tuhan tidak butuh doa kita. Dia akan menolong kita dengan atau tanpa doa. Kasih sayang Tuhan tidak boleh kita sempit-sempitkan. Dan, tidak akan sempit walaupun seluruh insan di muka bumi ini menyempitkan kasih sayang-Nya." 

Ia berhenti sejenak. Mengerling sekilas, lalu berkata, "Kuasa Tuhanlah sehingga si Nenek tadi tiba di rumah sakit dalam tepat waktu---memilih aku untuk membopong tubuhnya, menunjuk kamu sebagai pengambil keputusan, kunci mobil ambulans yang tidak dikantongi oleh sopirnya, dan petugas jaga UGD yang bereaksi dengan cepat menolong. Semuanya itu bukan peristiwa kebetulan. Sudah ada yang mengatur!"

Dia menatap Sabda beberapa lama, mengalihkan pandangan ke jalan, lalu menoleh kepadaku. "Ternyata kamu lelaki yang handal...."

"Bukan handal!"

Mata gadis itu membelalak.

Seraya konsentrasi menyetir, Sabda berkata, "Itu salah kaprah. Mestinya andal. Kita banyak menyiksa kata-kata berawalan huruf vokal dengan menambahkan 'h' di depan huruf pertama. Imbau kita jadikan himbau. Impit kita sebut himpit. Empas kita eja hempas."

"Sudah punya pacar?"

"Pertanyaanmu tidak relevan dengan ulasanku."

"Aku tidak dapat membayangkan bagaimana perasaan pacarmu tiap bertemu denganmu. Pasti sering kesal. Setidaknya, bosan. Padahal kamu ganteng!"

"Terima kasih atas pujianmu."

"Tidak semua pujian benar-benar pujian." Dia mencibir. "Kadang di balik kata pujian itu tersembunyi cacian!"

Sabda tertawa sambil mengumpat, "Bangsat!"

"Jangan bawa-bawa binatang. Bangsat tidak bersalah apa-apa."

Percakapan terhenti. Mereka sudah tiba di Stasiun Pondok Cina. Gadis itu langsung turun dari mobil dan bergegas ke koridor stasiun. Sabda hampir saja menahan dan ingin menanyakan siapa namanya, tetapi tidak jadi.

***

"Kamu musibah terbaik bagi Kana."

Sam langsung menegur Sabda.

Bukan kali ini saja Sam berkata seperti itu kepada Sabda. Semenjak ia tahu bahwa Kana jatuh cinta kepada Sabda, kalimat itu sering ia ucapkan. Kadang sebagai pembuka obrolan, kadang buat penutup perbincangan.

Sabda tahu bahwa Sam tidak bercanda, tetapi ia tidak sakit hati. Jangankan sakit hati, tersinggung juga tidak. Seperti hari-hari lain ketika mendengar kalimat itu, ia hanya menimpalinya dengan senyum. Setidaknya ia masih menangkap pujian terselubung di dalam kalimat itu, karena kata musibah diikuti kata terbaik. 

Lagi pula, ia tidak layak sakit hati atau tersinggung. Wajahnya yang pas-pasan, seperti tudingan Sam, memang tidak setanding dengan paras jelita Kana. Itu baru paras, belum menyangkut bebet, bibit, dan bobot.

Hanya saja, bagi Sabda, sekarang bukan waktu yang tepat untuk membahas apakah memang benar ia musibah belaka bagi Kana atau sebenarnya anugerah. Sabda, juga Sam dan Willy, baru saja mengikuti unjuk rasa yang berakhir kacau. Ada tiga mahasiswa, empat pedagang, dan dua penumpang yang harus dirawat di rumah sakit. Barangkali mereka berusaha mengalihkan pikiran Sabda dari peristiwa tadi, namun bukan dengan mengulas Kana atau apa saja yang berkenaan dengan perasaan gadis gedongan itu kepadanya.

Mestinya Sam, atau Willy, menanyakan nasib orang-orang yang ia antar ke rumah sakit. Atau, mereka menanyakan pengalamannya menjadi sopir ambulans dadakan. Ini tidak. Otak dan lidah mereka seolah hanya berisi Kana.

Willy ikut meledek. "Sedangkan Kana anugrah terbaik bagimu!"

"Anugrah?" tanya Sabda.

Willy mengangguk. "Betul!"

"Kamu salah, Willy, mestinya kamu...."

"Aku tidak salah," tandas Willy.

"Barangkali aku memang Si Buruk Rupa apabila dibandingkan dengan Kana Si Dara Jelita," ujar Sabda dengan nada pelan tapi tegas. Setelah menelan ludah dan menghela napas, ia berkata, "tetapi belum tentu aku ini musibah baginya. Dia baik, bahkan sangat baik. Aku bisa saja menerima cintanya. Mengucapkan 'ya' selalu lebih mudah daripada mengatakan 'tidak'. Tetapi cinta tidak sesederhana itu. Sekali aku mengiya, aku tidak akan beralih pada hati yang lain. Adakah yang lebih baik daripada cinta? Tidak ada. Ya, aku tahu itu. Namun, aku menolak cinta yang hanya mengundang masuknya rupa-rupa nestapa."

Willy dan Sam terdiam.

Sabda berhenti sejenak untuk mengatur napas. "Aku juga ingin ketika bangun pagi ada yang menanyakan 'sudah sarapan' atau sekadar basa-basi 'apa kabar'. Aku juga ingin suatu ketika akan hidup bahagia bersama keluarga--seorang istri dan dua atau tiga orang anak--seperti yang sering kalian pertanyakan, tetapi aku tidak mau gegabah. Lagi pula, kalian harus tahu. Kalian meledekku dengan kata anugrah. Itu salah. Keliru!"

Sam dan Willy terjelengar.

"Kalian membuang huruf 'e' di antara 'g' dan 'r'. Tidak bisa begitu!"

Willy mengangguk-angguk. "Anugerah. Anu siapa yang gerah?"

"Anumu!" Sabda menjawab dengan nada ketus.

Sam tertawa seraya berkata, "Kamu terlalu serius pada hal-hal yang sepele."

"Tidak," sanggah Sabda, "kekeliruan berbahasa bukanlah perkara remeh!"

"Ada perkara lain yang jauh lebih penting dibanding kata baku," sergah Sam, "di antaranya, perasaan Kana kepadamu. Tuhan memberkatimu dengan perempuan yang baik dan kamu tampik anugrah itu. Tidak tahu berterima kasih, tidak tahu bersyukur!"

"Anugerah, Sam!" Timpal Willy seraya mencibir.

"Terserah!" Sam berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana--sesuatu yang sering dia lakukan jika sedang gusar atau marah. "Setidaknya, kamu jaga perasaan Kana!"

Sabda merengut. "Maksudmu?"

"Siapa gadis yang tadi bersamamu di mobil ambulans?" tanya Willy.

"Tidak ada hubungannya dengan Kana," jawab Sabda.

"Kana melihatmu tadi," tukas Willy. "Dia melihat gadis itu turun dari mobil dan memegang lenganmu."

Sabda tertawa. "Aku bahkan tidak tahu siapa nama gadis itu!"

"Sudahlah," kata Sam sembari tertawa sinis seakan-akan tidak percaya pada kata-kata yang Sabda ucapkan. Sambil menggeleng-geleng, ia berkata, "Lakukan apa saja yang ingin kamu lakukan. Itu hakmu. Tetapi, jangan gantung perasaan Kana." Ia berhenti sejenak dan menoleh kepada Willy. "Lebih baik kita tarung catur, Willy."

Perdebatan tentang musibah dan anugerah akhirnya terhenti dengan sendirinya. Malam yang dingin bersiap menidurkan cemas, sedangkan ingatan Sabda kembali tertuju pada mata Si Gadis Penuh Cinta. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun