Willy dan Sam terdiam.
Sabda berhenti sejenak untuk mengatur napas. "Aku juga ingin ketika bangun pagi ada yang menanyakan 'sudah sarapan' atau sekadar basa-basi 'apa kabar'. Aku juga ingin suatu ketika akan hidup bahagia bersama keluarga--seorang istri dan dua atau tiga orang anak--seperti yang sering kalian pertanyakan, tetapi aku tidak mau gegabah. Lagi pula, kalian harus tahu. Kalian meledekku dengan kata anugrah. Itu salah. Keliru!"
Sam dan Willy terjelengar.
"Kalian membuang huruf 'e' di antara 'g' dan 'r'. Tidak bisa begitu!"
Willy mengangguk-angguk. "Anugerah. Anu siapa yang gerah?"
"Anumu!" Sabda menjawab dengan nada ketus.
Sam tertawa seraya berkata, "Kamu terlalu serius pada hal-hal yang sepele."
"Tidak," sanggah Sabda, "kekeliruan berbahasa bukanlah perkara remeh!"
"Ada perkara lain yang jauh lebih penting dibanding kata baku," sergah Sam, "di antaranya, perasaan Kana kepadamu. Tuhan memberkatimu dengan perempuan yang baik dan kamu tampik anugrah itu. Tidak tahu berterima kasih, tidak tahu bersyukur!"
"Anugerah, Sam!" Timpal Willy seraya mencibir.
"Terserah!" Sam berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana--sesuatu yang sering dia lakukan jika sedang gusar atau marah. "Setidaknya, kamu jaga perasaan Kana!"