Akhir-akhir ini kita tahu bahwa Indonesia sedang dilanda musibah yang sangat besar. Karena Musibah ini, manusia menjadi panik serta cemas karena memikirkan kelangsungan hidup mereka. Musibah besar ini berupa wabah penyakit yang sebabkan oleh virus corona SARS-CoV-2 yang telah menjangkit lebih dari 172 negara. Virus ini berasal dari dari kota Wuhan di Tiongkok.
Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan COVID-19 sebagai wabah penyakit yang bersifat pandemi. Pandemi adalah sebuah penyakit yang bisa menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah di dunia. Oleh karena itu, kondisi ini jelas tidak boleh diremehkan karena hanya ada beberapa penyakit saja sepanjang sejarah yang digolongkan sebagai pandemi.
Dikutip dari buku Panduan menghadapi Penyakit Virus Corona 2019 Model RCC, sejak Desember 2019. Telah terdiagnosis peningkatan jumlah kasus coronavirus pneumonia (NCP) di Wuhan, Provinsi Hubei. Dengan penyebaran yang epidemik, kasus-kasus tersebut (secara resmi dinamai Corona Virus Disease 2019 [COVID-19] oleh WHO) juga sudah dilaporkan di berbagai daerah di Cina dan luar negeri.
Berdasarkan Undang-undang Replubik Rakyat China (RRC) tentang Pencegahanan Tindakan terhadap Penyakit Menular, COVID-19 dikategorikan sebagai Penyakit Menular Kelas B (communicable diseases), dan kemudian ditangan sebagai Penyakit Menular Kelas A dikutip dari (Forum Academia NTT. Panduan Menghadapi Penyakit Virus Corona 2019 Model RRC: Pencegahan, Pengendalian, Diagnosis dan Manajemen. Diterjemahkan oleh Forum Academia NTT (Kupang: ISBN) hlm. 3)
Terkait dengan itu, bersikap cerdas dalam menghadapi masalah besar ini sangat penting untuk masing-masing individu. Namun banyak sekali orang yang panik dengan adanya wabah ini lalu mereka dengan kepanikannya melakukan hal yang cukup bodoh.
Orang elit memborong semua bahan makanan sehari-hari dengan beranggapan agar mencegah keluarnya dari rumah dikarenakan takut akan tertularnya virus ini. Anggapan tersebut dikatakan sangat bodoh karena dengan kegiatan tersbut akan mengakibatkan kelangkaan barang dan kenaikan harga secara mendadak. Yang dimana peristiwa tersebut akan berdambak buruk bagi masyarakat yang notabenya kurang mampu.
Mereka akan kesulitan mencari bahan makanan dikarenakan habisnya stok di pusat perbelanjaan. Bahkan kesulitan untuk membelinya dikarenakan harga yang sangat mahal. Disisi lain ada sebagian orang yang tidak khawatir dengan adanya wabah virus ini.
Mereka berfikir bahwa kematian hanya ada ditangan Allah dan apabila belum tiba waktunya maka tidak akan terjadi kematian pada dirinya. Oleh karena itu bersikap cerdas dalam menghadapi dan memahami kondisi saat ini sangat penting dilakukan. Karena dengan sikap cerdas yang dimiliki setiap individu pasti akan mewujudkan kebaikan khususnya dirinya pribadi maupun khalayak umum.
Melihat konteks tersebut, peran dari pemerintah dalam masalah ini  sangat penting, karena dengan adanya himbauan dari pemerintah semestinya masyarakatnya akan mematuhi apa yang akan dilakukan setelah ada dihimbau dari pemerintah. Oleh karena itu untuk mengurangi kepanikan dan kebingungan dalam menghadapi situasi ini pemerintah indonesia memutuskan untuk melakukan physical distancing di seluruh wilayah Indonesia ini. Physical distancing artinya kita disuruh untuk mengurangi kontak fisik dengan orang lain, menjahui dari keramaian, menghindari dari kumpulan orang serta berdiam diri dirumah.
Berdiam diri dirumah bukan berarti kita cuman makan dan tidur saja. Tetapi selalu memperhatikan agar kondisi tubuh tetap dalam kondisi fit. Karena virus ini menyerang daya tahan tubuh kita. Dalam artian ketika daya tahan tubuh kita lemah maka virus ini tidak ada yang melawannya di dalam tubuh. sehingga mengakibatkan virus ini menyebar luas ke seluruh bagian tubuh khususnya mengarah ke paru-paru kita. Karena virus ini hanya bisa menularkan, dengan melakukan kontak fisik  dengan seseorang carrier atau penderita COVID-19.
Virus ini dapat masuk dan menular ke dalam tubuh melalui percikan yang dikeluarkan oleh mulut dan hidung dan dapat masuk melalui mulut, hidung dan mata. Terhitung mulai tanggal 3 Juni 2020 sebanyak 28.233 orang terinfeksi virus corona, 1.698 orang meninggal dunia dan pasien yang telah sembuh sebanyak 8.406 orang dikutip dari (Tirto.id.2020)
Namun, kebijakan tersebut banyak dari masyarakat awam yang masih salah mengartikan. Seharusnya bukan saja pemerintah yang memberikan penyuluhan tentang masalah itu. Namun kesadaran dari diri sendiri juga sangat penting. Mereka yang melakukan kegiatan diluar dirumah  untuk keluarga sepertinya kurang tepat. Karena dalam kondisi ini seharusnya masyarakat berfikir secara terbuka. Dan kebayakan yang melanggar aturan dari pemerintah adalah masyarakat yang beragama islam. Padahal islam mengajarkan untuk taat dan patuh terhadap ulil amri atau pemerintah.
Ada beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan tentang ketaatan kepada pemerintah atau di dalam bahasa arab disebut dengan ulil amri sebagaimana yang terdapat dalam QS. an-Nisa ayat 59. Kata "ulil amri" dalam ayat tersebut menunjukan kepada penguasa yang bertanggung jawab atas wilayahnya (pemerintah). Ayat ini menjelaskan bahwa bukan saja diwajibkan taat kepada Allah dan Rasul melainkan kepada pemerintah.
Sebagaimana yang dikatakan Abul A'la al Maududi bahwa taat kepada ulil amri (pemimpin) berarti taat kepada Rasulallah dan taat kepada Rasulallah berarti taat kepada Allah SWT.
Ketaatannya berarti dalam rangka menegakan al-Qur'an dan as Sunah sehingga bila tidak sesuai dengan al-Qur'an dan sunnah maka tidak aada ketaatannya terhadap pemimpin dikutip dari ( Abul A'la al Maududi. Political Theory of Islam dalam John. J Donokof and John h. Esposto. Islam in Transition Muslim Perspective, (Newyork: Oxford University, 1982) hlm. 22). Kepatuhan dalam hal ini bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk kemaslahatan umum. Seharusnya masyarakat berfikir cerdas menaggapi kepatuhan akan hal tersebut yang diniatkan untuk kebaikan bersama.
Contoh lain, pemerintah sudah meliburkan para siswa dan mahasiswa untuk tidak berkuliah atau bersekolah yang nantinya kegiatan belajar mengajar dilakukan dari rumah yang sering disebut dengan belajar online. Namun kondisi ini malahan dimanfaatkan oleh banyak masyarakat untuk berlibur. Hal tersebut akan membuat penyebaran virus tak terhindarkan yang semakin hari akan bertambah banyak dan luas penyebarannya.
Perilaku yang tidak semestinya diharapkan pemerintah itu akan semakin menjalar dikalangan masyarakat awam yang notabenya minim pendidikan. Serta mereka yang yang notabenya bekerja diluar ruangan pasti banyak dari mereka yang melakukan penyimpangan terhadap hal yang sudah di himbau oleh pemerintah. Oleh karena itu berbagai peristiwa diatas membuat penulis untuk menganalisa lebih jauh tentang sebenarnya apa yang mereka fikirkan sedangkan hal tersebut terjadi di saat kondisi negara sedang dalam keadaan yang darurat Covid-19 dan bagaimana solusinya agar masyarakat berfikir secara cerdas dalam menghadapi masalah pandemi ini.
Selain itu penulis juga akan memaparkan teori-teori psikologi cara berfikir masyarakat yang keliru yang dimana kondisi bukan malah mencegah penyebaran virus melainkan akan menyebabkan meluasnya wilayah yang terkena virus ini dan kekeliruan berfikir masyarakat yang akan menyebabkan kesalah pahaman terhadap pemerintah.
Masalah ini bukan hanya untuk personalitas namun untuk kelangsungan hidup masyarakat Indonesia secara univeral. Karena virus ini termasuk pandemi yang seharusnya cara berfikir setiap indivdu itu di fokuskan terhadap manusia secara umum. Namun dengan kekeliruan dan kebodohan dalam berikir, masyarakat banyak yang mementingkan diri masing-masing namun tidak memikirkan kemaslahatan umum. Yang dimana itu merupakan suatu keharusan karena kita hidup di Indonesia yang banyak penghuninya. Oleh karenanya yang mendorong penulis untuk mengungkap seberapa pentinya kemaslahatan umat menurut islam  dan bagaimana dampaknya . selain itu juga peneliti akan memaparkan teori bersikap cerdas itu seperti apa menurut beberapa tokoh psikologi, dan menurut islam. Sehingga penulis nantinya akan menyimpulkan mana yang terbaik untuk masyarakat dalam pandemi ini dengan sikap yang cerdas.
Jadi ada beberapa kekeliruan masyarakat menurut penulis untuk penting dibahas  dalam masalah menghadapi pandemi covid-19 ini. Pertama,  Menurut Dana Raksa Buana dalam jurnalnya mengakatakan bahwa konsep yang dapat diangkat untuk menjelaskan perilaku masyarakat Indonesia dalam menghadapi wabah virus Covid-19 ini adalah bias kognitif. Bias kognitif adalah kesalahan sistematis dalam berpikir yang secara otomatis akan memengaruhi keputusan dan penilaian yang dibuat seseorang. Beberapa bias ini terkait dengan memori.
Cara seseorang mengingat suatu peristiwa dapat menjadi bias karena sejumlah alasan tertentu, dan pada gilirannya dapat menyebabkan pemikiran dan pengambilan keputusan yang bias. Bias kognitif lainnya mungkin terkait dengan masalah perhatian. Karena perhatian adalah sumber daya yang terbatas, maka seseorang harus selektif tentang apa yang mereka perhatikan di dunia sekitar mereka. Karena itu, bias-bias halus yang tidak disadari dapat merayap masuk dan memengaruhi cara manusia memandang dan berpikir tentang dunia dikutip dari (Dana Riksa Buana, Analisis Perilaku Masyarakat Inonesia dalam Mengahadapi Pandemi Virus Corona (Covid-19) dan Kiat Menjaga Kesejahteraan Jiwa, 2020).
Bias kognitif ini dibagi menjadi beberapa jenis. Namun, menurut Dana Raksa Buana yang cocok untuk menggambarkan perilaku masyarakat pada masa pandemi ini bias yang pertama adalah optimism bias. Bias optimisme adalah bias kognitif yang membuat seseorang percaya bahwa mereka sendiri cenderung tidak mengalami peristiwa negatif. Ini juga dikenal sebagai optimisme tidak realistis atau optimisme komparatif.
Konsep ini dapat menjelaskan mengapa masyarakat Indonesia tetap saja tidak takut untuk melakukan aktifitas yang dihadapkan pada orang banyak, liburan contohnya, dikarenakan mereka terlalu percaya diri bahwa corona tidak seberbahaya itu, ini dikarenakan tipikal orang Indonesia yang santai menghadapi kondisi apapun, maupun meyakini bahwa Tuhan akan melindungi negara Indonesia (Dana Riksa Buana., Ibid).
Konsep kognitif bias lainnya adalah emotional bias. Bias emosional ini merupakan distorsi dalam kognisi dan pengambilan keputusan karena faktor emosional. Misalnya, seseorang mungkin cenderung untuk menghubungkan penilaian negatif dengan peristiwa atau objek netral; mempercayai sesuatu yang memiliki efek emosional positif, yang memberikan perasaan menyenangkan, bahkan jika ada bukti yang bertentangan; atau enggan menerima fakta nyata yang tidak menyenangkan dan memberikan penderitaan mental.
Dari penjelasan ini maka jelas kognisi masyarakat Indonesia tidak ingin menerima fakta negatif yaitu virus corona jelas membahayakan, tetapi malah mereka mencari sesuatu hal yang memberikan perasaan yang menyenangkan misalnya liburan dan jalan-jalan untuk makin menghindari emosi negatif yang berasal dari pandemi ini.
Yang ketiga, dikarenangan tingkat kesadaran masyarakat masih rendah terhadap masalah kesehatan dibandingkan aktivitas dan kebiasaan sosial masyarakat yang sudah menjamur dimasyarakat sejak dahulu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Masdar Hilmi yang menjadi guru besar dan rektor di UIN Sunan Ampel Surabaya beliu mengatakan terkadang beredar pemikiran non ilmiah yang beredar dimasyarakat khususnya pada masa pandemi ini kutip dari (Masdar Hilmi, Sikap Ilmiah Menghadapi Pandemi Covid-19, 2020, diakses pada tanngal 4 April 2020).
Pemikiran tersebut bukan malah mecegah dan menghentiukannya justru malah memperburuk persebaran pandemi.
Menurut beliau ada dua anakronisme perspektif anakronisme yang sangat kuat dalam masa pandemi ioni. Yang dimaksud anakronisme perspektif di sini adalah cara pandang yang kurang tepat dalam menyikapi dan merespons persebaran virus ini. Pertama, anakronisme sosial-budaya. Â Pertama anakronisme sosial budaya Sebagaimana yang diketahui masyarakat indonesia sudah turun temurun melakukan aktivitas yang dianggap mereka merupakan suatu kebaikan. Seperti bersalaman, berpelukan, cium pipi dan lain-lain.
Menghentikan setidaknya untuk sementara pada masa pandemi ini mungkin sangat sulit dikarenakan kegiatan sudah terbiuasa dilakukan. Namun apabila kegiatan tersebut dilakukan juga pada masa pandemi ini yang akan terjadi malah memperburuk kondisi dan penyebaran yang amat cepat. Kuatnya masyarakat akan budaya dan adat istiadat tersebut membuat masyarakat enggan untuk menerima larangan. Maka dari itu banyak masyarakat yang enggan mematuhi himbauan dari pemerintah karena kuatnya budaya yang melekat pada masyarakat sejak zaman dahulu.
Anakronisme kedua adalah konstruksi pemahaman keagamaan masyarakat kita yang berlawanan dengan protokol pencegahan Covid-19. Di antara narasi keagamaan yang cukup populer di masyarakat adalah menyangkut teologi kematian sebagai hak prerogatif Tuhan, pandemi Covid-19 sebagai adzab (hukuman) Tuhan atas dosa-dosa manusia, tidak perlu takut kepada siapapun termasuk kepada Covid-19 kecuali hanya kepada Tuhan, social distancing merupakan strategi mendangkalkan iman, dan seterusnya.
Anakronisme pemahaman keagamaan yang kontraproduktif dengan protokol medis pencegahan Covid-19 menjadi batu sandungan serius di tengah kerja keras semua pihak terutama tim medis sebagai garda depan paling beresiko dalam menjinakkan dan menghentikan persebaran Covid-19. Padahal, masyarakat yang memiliki perspektif anakronistik tersebut pada ujungnya akan menjadi kelompok rentan terpapar terhadap virus ini jika mereka tetap melakukan pembangkangan. Ketika mereka menjadi mata rantai penularan, maka efek domino persebarannya jelas akan merepotkan tim satgas penanganan Covid-19 dan pemerintah.
Dari konsep yang telah diterangkan diatas maka masyarakat Indonesia yang tidak mengindahkan himbauan pemerintah, memiliki bias kognitif ini, dimana mereka merasa lebih tau atau merasa lebih mengerti kondisi pandemic virus ini, padahal pada kenyataannya itu adalah kesalahan. Contohnya mereka merasa dapat menjaga diri dengan baik walaupun berada di luar rumah atau di keramaian, jadi mereka akan merasa pintar atas dasar persepsi mereka sendiri. Fenomena ini dapat terjadi disebabkan rendahnya kemampuan literasi maupun  masih banyak orang yang tidak memiliki akses pada media-media informasi sehingga mereka memiliki minim pengetahuan atas merebaknya wabah Covid-19 ini.
Kurangnya pemahaman agama mengakibatkan masyarakat menghiraukan akan perihal pentingnya ketaatanya terhadap pemerintah. Padahal agama Islam mewajibkan perihal taat kepada pemerintah sebagaimana yang sudah dijelasakan di dalam pendahuluan. Mereka kebanyakan mengabaikan kewajiban tersebut di atas kepentingan pribadi dan dan buta akan dogmatisasi alam beragama.
Mereka percaya dengan keyakinan penuh bahwa doa dapat menyelamatkan mereka, dan mereka berpendapat harusnya kita takut kepada Tuhan bukan kepada virus corona. Situasi ini juga dapat dikatakan kognitif bias dalam beragama sehingga memunculkan dogmatisasi dalam beragama.
Penganut agama yang dogmatis dapat dikatakan sebagai seseorang yang menerima dengan mentah-mentah begitu saja sesuatu yang ditulis, disampaikan, dan diceritakan dari kitab suci tanpa mau menelaah dan berpikir lebih jauh apa makna yang sesungguhnya terkandung dalam Buku Suci tersebut. Para pemeluk agama yang dogmatis juga terkadang tidak sadar dengan menjadikan agama sebagai sebuah tujuan tetapi bukan sebagai alat untuk menuju tujuan yang sebenarnya yaitu kebenaran sejati dan Tuhan itu sendiri. Ini dapat ditandai dengan banyaknya umat beragama yang menyalahkan individu lainnya dan merasa paling benar.
Selain itu seseorang yang beragama secara dogmatis akan sulit untuk merubah paradigma yang telah dipercayainya, walaupun hal tersebut belum tentu merupakan kebenaran yang sejati dikutip dari (Dana Riksa Buana, op.cit,.) Ditambah lagi mereka gampang untuk menghakimi individu yang berbeda dengan pemahamannya dan dengan mudahnya memberikan pernyataan sesat ataupun rkafir.
Adapun solusi atau konsep menurut penulis yang dapat mengatasi stigma yang keliru dari masyarakat menhyimpang tersebut sebagai berikut.
Pertama, perlunya sikap kehati-hatian dalam bertindak. Mengambil keputusan haruslah dengan kehati-hatian dan kepala dingin agar menghasilkan keputusan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Kedua, berfikir dan berpendapat berdasarkan data dan fakta.
Dengan mengerti data-data ataupun fakta yang ada pada kondisi yang sedang dihadapi maka secara kognisi seseorang dapat melihatnya dalam kondisi yang lebih tajam dan luas, sehingga kesalahan dalam mengambil keputusan tidak terjadi. Ketiga, penalaran akan pentingnya kesehatan.
Banyak sekali masyarakat yang menghiraukan akan pentingnya kesehatan. Yang jelas jika tubuh tidak dalam keadaan sehat pastilah tidak akan bisa melakukan aktivitas yang mereka jalani. Dan pentingnya masyarakat mengetahui apa itu pandemi. Dikarenakan virus ini bersifat pandemi seharusnya masyarakat meminimalisir kegiatan diluar ruangan seperti berkerumun bersama orang banyak, bepergian tanpa ada kepentingan, memakai masker ketika bepergian keluar rumah, dan selalu cuci tangan sebelum atau sesudah makan.
Dalam hal ini, penalaran kesehatan dan sikap ilmiah dari pemerintah dan kesadaran masyarakat sendiri sangat penting. Agar masyarakat tidak membebani kerja dari pemerintah karena ketidak pahamannya akan pentignya kesehatan. Keempat, melakukan sesuatu berdasarkan sudut pandang agama yang maslahat.
Banyaknya kekeliruan masyarakat dalam berfikir untuk menghadapi masa pandemi ini. Maka perlunya pendekatan agama dalam mendalaminya sebagai petunjuk keputusan yang nantinya diambil oleh masyarakat demi kemaslahatan umum.yang dimaksud peneliti adalah agama islam yang mempunyai pedoman berupa kitab suci Al-Qur'an.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dijalankan tentang persepsi yang salah dikalangan masyarakat dalam menyikapi masa pandemi ini. Untuk mewujudkan sikap cerdas kepada masyarakat demi kemaslahatan umat pada masa pandemi ini Al-Quran telah menjawabnya semua problematika yang dialami masyarakat saat ini semua ilmu ada di dalam Al-Qur'an dikutip dari (Hibbi Farihin, SEMUA ILMU ADA DALAM AL-QUR'AN:Telaah Pemikiran al-Suythiy dalam al-Itqn f 'Ulmal-Qur'an, jurnal kontemplasi, Vol. 4(1), 2016, IAIN Tulungagung). Karenanya maka perlunya masyarakat mengerti kandungan ayat suci al-Quran karena al-Quran itu sebagai petunjuk bagi umatnya untuk menuju jalan yang benar. serta menenangkan hati. Itulah yang dinamakan rahmat dari Allah swt dikutip dari (Muhammad Thalib, Fungsi dan Fadhilah Membaca Al-Qur'an, ( Surakarta : Kaffah Media, 2005), hlm. 11-12).
Setelah peneliti melakukan survei terkait kekeliruan berfikir masyarakat dan melanggar peraturan atau himbauan dari pemerintah pada masa pandemi ini. Maka semua problematika yang ada di masyarakat bisa dijawab dengan isi kandungan Ak-Qur'an. seperti sebagian masyarakat khususnya ojek online dan para pedagang kaki lima. Mereka memikirkan bagaimana jika usahanya tutup pasti tidak akan mendapatkan penghasilan. Dan disini Al-Qur'anpun menjawab pada surah Al-"Ankabut ayat 60.
Makna ayat ini adalah dan di dunia terdapat banyak hewan yang tidak mampu memikul rezekinya atau menyimpan rezekinya karena ia sangat lemah, namun Allah-lah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepada kalian dari karunia-Nya. Lalu mengapa kalian tidak bertawakkal kepada Allah yang Maha Kuat dan Maha Kuasa dalam mencari penghidupan sebagaimana tawakkal hewan-hewan yang lemah itu kepada Allah.
Ayat ini mengandung peneguhan hati bagi orang yang hendak berhijrah yang masih ragu karena takut terhadap kemiskinan dikutip dari (Ibid,. Tafsir Al-Muyassar, Kementerian Agama Saudi Arabia) Jadi dalam ayat tersebut Allah menegaskan untuk tidak khawatir akan kemiskinan. Oleh sebab itu bertawakalah kepada-Nya maka akan diberi petunjuk yang terbaik. ayat tersebut bisa menjawab keresahan yang ada dimasyarakat terutama para pedagang keliling dan pekerja diluar ruangan.
Tak sedikit masyarakat Indonesia menghiraukan himbauan pemerintah dalam menghadapi masa pandemi covid-19 ini. Ketaatan kepada pemerintah pastilah akan membuat kinerja dari pemerintah semakin mudah. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pendahuluan QS. an-Nisa ayat 59 bahwa taat kepada pemerintah humumnya wajib selama tidak menyuruh untuk berbuat maksiat yang dilarang oleh Allah SWT. Pastilah akan mendapatkan pahala apabila menaati aturan dari pemerintah terkecuali menyesatkan.
Taatilah pemimpin bila memerintahkan taat kepada Allah, dan durhakailah dia bila memerintahkan durhaka kepada Allah SWT.  Sebagaimana yang dikatakan Quraish shihab  Apabila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak ada taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah dikutip dari (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah .Vol 10 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), Hlm. 215).
Karena bukan lain aturan dari pemerintah memebrikan kebaikan terhadap rakyatnya. Apalagi dalam keadaan tertimba musibah berupa wabah ini yang sklanya dunia. Pasti dari pemerintah berniat baik agar semuanya dapat teratasi dan dapat terselasikan.
Jadi salah satu pendorong kita agar bersikap cerdas dalam menghadapi masa pandemi ini adalah mulai dari kesadaran individu masyarakat masing-masing. Karena orang berilmu cenderung menaati apa yang telah diperintahkan pemerintah yang gunanya sangat baik bagi masyarakatnya sendiri. Namun orang awam yang minim akan kesadaran cenderung untuk menghiraukan himbauan dari pemerintah. Yang dimana bukan malah memperbaiki keadaan justru akan memperburuk keadaan dengan ketidak disiplinan mereka.
Seharusnya mereka belajar atau cari pengetahuan kepada orang lain bukan mementingkan egonya masing-masing. Sehingga wabah ini tidak akan terselesaikan sampfaai kapanpun jika masyarakatnya bandel akan himbauan dari pemerintah. Dan bersikap cerdas bukan berarti memiliki pendidikan yang tinggi, melainkan mereka yang sadar diri akan ketidakpahamannya lalu patuh kepada otoritas yang berwenang yang ahli dibidang masing-masing. Atau mereka yang mau belajar atas ketidakpahaman tersebut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H