Mohon tunggu...
Aqib Maulana
Aqib Maulana Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Tadris biologi di IAIN Kudus

Mahasiswa Tadris Biologi di IAIN Kudus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berpikir Cerdas dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Demi Kemaslahatan Umat

4 Juni 2020   12:29 Diperbarui: 4 Juni 2020   17:44 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar: https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2020/04/15/a4cbe21b-2558-42bd-a914-c6bc06ec0a00_169.jpeg?w=600&q=90)

Konsep ini dapat menjelaskan mengapa masyarakat Indonesia tetap saja tidak takut untuk melakukan aktifitas yang dihadapkan pada orang banyak, liburan contohnya, dikarenakan mereka terlalu percaya diri bahwa corona tidak seberbahaya itu, ini dikarenakan tipikal orang Indonesia yang santai menghadapi kondisi apapun, maupun meyakini bahwa Tuhan akan melindungi negara Indonesia (Dana Riksa Buana., Ibid).

Konsep kognitif bias lainnya adalah emotional bias. Bias emosional ini merupakan distorsi dalam kognisi dan pengambilan keputusan karena faktor emosional. Misalnya, seseorang mungkin cenderung untuk menghubungkan penilaian negatif dengan peristiwa atau objek netral; mempercayai sesuatu yang memiliki efek emosional positif, yang memberikan perasaan menyenangkan, bahkan jika ada bukti yang bertentangan; atau enggan menerima fakta nyata yang tidak menyenangkan dan memberikan penderitaan mental.

Dari penjelasan ini maka jelas kognisi masyarakat Indonesia tidak ingin menerima fakta negatif yaitu virus corona jelas membahayakan, tetapi malah mereka mencari sesuatu hal yang memberikan perasaan yang menyenangkan misalnya liburan dan jalan-jalan untuk makin menghindari emosi negatif yang berasal dari pandemi ini.

Yang ketiga, dikarenangan tingkat kesadaran masyarakat masih rendah terhadap masalah kesehatan dibandingkan aktivitas dan kebiasaan sosial masyarakat yang sudah menjamur dimasyarakat sejak dahulu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Masdar Hilmi yang menjadi guru besar dan rektor di UIN Sunan Ampel Surabaya beliu mengatakan terkadang beredar pemikiran non ilmiah yang beredar dimasyarakat khususnya pada masa pandemi ini kutip dari (Masdar Hilmi, Sikap Ilmiah Menghadapi Pandemi Covid-19, 2020, diakses pada tanngal 4 April 2020).

Pemikiran tersebut bukan malah mecegah dan menghentiukannya justru malah memperburuk persebaran pandemi.

Menurut beliau ada dua anakronisme perspektif anakronisme yang sangat kuat dalam masa pandemi ioni. Yang dimaksud anakronisme perspektif di sini adalah cara pandang yang kurang tepat dalam menyikapi dan merespons persebaran virus ini. Pertama, anakronisme sosial-budaya.  Pertama anakronisme sosial budaya Sebagaimana yang diketahui masyarakat indonesia sudah turun temurun melakukan aktivitas yang dianggap mereka merupakan suatu kebaikan. Seperti bersalaman, berpelukan, cium pipi dan lain-lain.

Menghentikan setidaknya untuk sementara pada masa pandemi ini mungkin sangat sulit dikarenakan kegiatan sudah terbiuasa dilakukan. Namun apabila kegiatan tersebut dilakukan juga pada masa pandemi ini yang akan terjadi malah memperburuk kondisi dan penyebaran yang amat cepat. Kuatnya masyarakat akan budaya dan adat istiadat tersebut membuat masyarakat enggan untuk menerima larangan. Maka dari itu banyak masyarakat yang enggan mematuhi himbauan dari pemerintah karena kuatnya budaya yang melekat pada masyarakat sejak zaman dahulu.

Anakronisme kedua adalah konstruksi pemahaman keagamaan masyarakat kita yang berlawanan dengan protokol pencegahan Covid-19. Di antara narasi keagamaan yang cukup populer di masyarakat adalah menyangkut teologi kematian sebagai hak prerogatif Tuhan, pandemi Covid-19 sebagai adzab (hukuman) Tuhan atas dosa-dosa manusia, tidak perlu takut kepada siapapun termasuk kepada Covid-19 kecuali hanya kepada Tuhan, social distancing merupakan strategi mendangkalkan iman, dan seterusnya.

Anakronisme pemahaman keagamaan yang kontraproduktif dengan protokol medis pencegahan Covid-19 menjadi batu sandungan serius di tengah kerja keras semua pihak terutama tim medis sebagai garda depan paling beresiko dalam menjinakkan dan menghentikan persebaran Covid-19. Padahal, masyarakat yang memiliki perspektif anakronistik tersebut pada ujungnya akan menjadi kelompok rentan terpapar terhadap virus ini jika mereka tetap melakukan pembangkangan. Ketika mereka menjadi mata rantai penularan, maka efek domino persebarannya jelas akan merepotkan tim satgas penanganan Covid-19 dan pemerintah.

Dari konsep yang telah diterangkan diatas maka masyarakat Indonesia yang tidak mengindahkan himbauan pemerintah, memiliki bias kognitif ini, dimana mereka merasa lebih tau atau merasa lebih mengerti kondisi pandemic virus ini, padahal pada kenyataannya itu adalah kesalahan. Contohnya mereka merasa dapat menjaga diri dengan baik walaupun berada di luar rumah atau di keramaian, jadi mereka akan merasa pintar atas dasar persepsi mereka sendiri. Fenomena ini dapat terjadi disebabkan rendahnya kemampuan literasi maupun  masih banyak orang yang tidak memiliki akses pada media-media informasi sehingga mereka memiliki minim pengetahuan atas merebaknya wabah Covid-19 ini.

Kurangnya pemahaman agama mengakibatkan masyarakat menghiraukan akan perihal pentingnya ketaatanya terhadap pemerintah. Padahal agama Islam mewajibkan perihal taat kepada pemerintah sebagaimana yang sudah dijelasakan di dalam pendahuluan. Mereka kebanyakan mengabaikan kewajiban tersebut di atas kepentingan pribadi dan dan buta akan dogmatisasi alam beragama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun