"Kau saja yang bodoh. Aku tak berniat menikah dengan wanita murahan sepertimu."
Hati Ranti terlalu sakit. Dia tak tahan lagi mendengar hinaan Arlan. Dia meninggalkan pria itu dengan penyesalan yang dalam.
Berhari-hari Ranti tidak keluar rumah. Makan tak enak, tidurnya juga tak nyenyak. Hanya penyesalan yang terus menghantuinya. Sedangkan Arlan, sudah memutus kontak dengan Ranti.
Tak ingin seperti itu terus, Ranti menceritakan semuanya pada tetangganya yang bisa dipercaya. Berharap wanita itu memberi solusi. Ranti tak berani bercerita langsung pada Orangtuanya.
"Itulah kelemahan kita wanita ini, dikasih rayuan dikit saja, sudah percaya," ujar tetangganya itu.
"Bilangnya pula, dia mencintaiku dan mau tanggung jawab," jawab Ranti dengan berurai air mata.
"Satu hal yang seharusnya kau pahami, jika Arlan memang mencintaimu, pria itu tak mungkin merusakmu. Cinta sejatinya menjaga bukan merusak. Sedangkan yang diberikan Arlan hanya janji semu demi nafsunya."
Ranti terus menangis meratapi nasibnya. Gadis tapi tak perawan.
"Terimalah nasibmu. Sekolah kau sampai tercapai cita-citamu. Kelak mungkin ada pria yang mau menerimamu apa adanya."
"Gak mau aku, Kak. Sakit kali hatiku."
"Ya mau gimana lagi. Dia gak mau menikahimu. Gak hamil pula kau kan. Gak ada buktinya."