"Tentu. Abang belum siap nikah, Dek. Kau lihat kan, Abang belum punya kerjaan. Abang khawatir, gak bisa kasih Adek makan."
Nasi sudah menjadi bubur. Ranti sejak awal, sudah menyesal memberikan satu-satunya yang dia miliki pada Arlan, tapi karena takut ditinggal, dia selalu melayani nafsu pria itu walau hatinya berontak. Ranti tak berdaya.
"Ayo, Abang antar pulang. Rapikan bajumu," ujar Arlan.
Sepanjang jalan, Ranti hanya diam. Biasanya dia bercerita banyak hal, jika sudah di samping pria yang sudah tujuh bulan jadi pacarnya. Dia sejak awal, terpesona akan ketampanan Arlan dan ketika pria itu menyatakan cinta, dia langsung menerimanya.
Mereka bertemu tiga kali seminggu. Awalnya, hanya pegang-pegangan tangan, lalu mulai cium pipi. Bentuk kasih sayang, kata Arlan. Ranti pun percaya begitu saja dan semakin mencintai pria pujaannya.
Bosan hanya sekedar cium pipi, Arlan mencoba hal yang lebih jauh. Bisikan-bisikan jahat sudah memenuhi hatinya. Bodohnya Ranti mau saja melayani nafsu Arlan hanya dengan kata-kata cinta. Mereka melakukan hal yang lebih jauh.
Arlan pun ingin merasakan hal yang lebih. Dia sudah bosan dengan apa yang didapatnya selama ini dari Ranti. Suatu malam, di sebuah bangunan kosong, Arlan memberanikan diri melakukan keinginan terbesarnya pada Ranti. Hati dan pikirannya sudah dipenuhi nafsu yang ingin segera tertuntaskan.
"Jangan, Bang," tolak Ranti.
"Kenapa, Dek?"
"Kita udah terlalu jauh."
"Gak apa-apalah. Kita kan saling mencintai. Adek gak cinta ya sama Abang?"