Mohon tunggu...
Silla Agustin
Silla Agustin Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Penulis/Juara lomba cerpen/SMA Negeri 1 Pandaan

Aku tidak sebaik kamu, pun dengan tulisanku. "Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu." _Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Lentera Humaira

11 Februari 2024   16:35 Diperbarui: 11 Februari 2024   16:41 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Tapak kaki terdengar ganjil, saling beradu menyerang lantai yang ditapakinya. Gadis dengan gamis biru laut semata kaki berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Ya, setelah mendapatkan kabar mengenai kondisi sahabatnya, tanpa berpikir lama ia memutuskan untuk menyusul sosok pria yang lebih dulu sampai di tempat yang seolah tak pernah sepi dari pengunjung. Ia tak peduli walau banyak sepasang mata yang menatapnya dengan tatapan aneh. Ia hanya ingin memastikan keadaan sahabatnya baik-baik saja. Sungguh, hatinya benar-benar tidak tenang. Berbagai kemungkinan muncul di benaknya.

Langkahnya terhenti tepat di ambang pintu. Tubuhnya mendadak lemah. Di sana, sesosok gadis tengah terbaring tak berdaya. Matanya masih terpejam bahkan tak terusik sedikitpun dengan kabel dan selang infus yang menempel di tangannya. Bunyi monitor yang menampilkan grafik jantungnya pun tidak membuat Anisa mengerjap. Kini gadis itu asik dengan mimpi indahnya.

"Astagfirullahalazim. Anisa, Umi. Kenapa musibah harus menimpanya disaat pernikahan benar-benar berada di depan mata?" Humaira berhambur ke pelukan uminya. Di detik yang sama pula ia mendongak dan menatap lekat manik wanita yang datang bersamanya. Umi Malikah yang tak lain adalah rahim kehidupan Humaira memegang tangan putrinya yang mulai mendingin sekaligus meyakinkan.

"Jangan menangis, air mata ini tidak akan membuat Anisa kembali seperti sedia kala. Masuklah, temani dia. Saat ini yang Nak Anisa butuhkan hanyalah dirimu." Ia mengatakan sesaat setelah mengusap tangis putri semata wayangnya. Humaira mengangguk bersama dengan isak pilunya. Apa yang dikatakan Umi Malikah benar. Tangisnya tidak akan membawa Anisa kembali seperti sedia kala. Air matanya menggenang, menganak pinak di pelupuk, hanya dengan sekali kedipan air mata itu akan terjatuh."

Nak Humaira." Humaira mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara, bersama dengan itu bening yang tak dapat lagi dibendung luruh. Semenit kemudian, langkahnya terasa begitu berat. Seketika Humaira ditimpa segudang sesak. Namun, sekuat tenaga gadis itu mencoba untuk berlari dan berhambur memeluk wanita paruh baya yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Dadanya terasa begitu sesak, oksigen di sekitar seolah hirap membuatnya tak kuasa menumpahkan air mata.

"Assalamualaikum, Umi Zahra." Wanita itu terlihat tegar walau bening di pelupuknya sudah tak dapat dibendung lagi. Penglihatannya buram akibat cairan yang menganak itu. Di dalam pelukan Humaira, kesedihan itu tidak dapat disembunyikan lagi olehnya. Ia tergugu dalam beberapa menit.

"Bi idznillah ya, Umi. In syaa Allah, Anisa akan baik-baik saja. Dia itu gadis yang kuat dan cerita. Mustahil jika dia akan menyerah begitu saja." Ia melerai pelukan itu, menghapus jejak tangis dengan lembut. Gadis itu mencoba untuk menguatkan Umi Zahra meski dia sendiri tengah rapuh.

"Anisa, Nak. Kenapa harus Anisa yang mengalami ini semua?" Suaranya begitu parau, tercekat di tenggorokan membuat Humaira semakin tidak bisa untuk menyembunyikan kesedihannya. Humaira benar-benar tidak menyangka jika semua ini akan menimpa sahabatnya, bahkan sebelum pernikahan. Padahal, beberapa jam yang lalu ia masih mendengar suara tawa dari balik gawainya.

"Ada apa dengan Anisa, Umi? Kenapa Anisa bisa seperti ini?" Sekali lagi, Humaira menatap gadis yang saat ini tidak sadarkan diri itu seraya mendengarkan Umi Zahra menceritakan kronologi hingga Anisa bisa sampai seperti ini.

Humaira semakin tidak bisa menahan tangisnya ketika Umi Zahra melihat putri semata wayangnya itu tergeletak di bawah tangga dengan darah yang menganak dari kepala dan hidungnya. Sungguh, ibu mana yang tidak hancur ketika melihat anaknya mengalami kejadian mengenaskan tepat di depan matanya. Wanita paruh baya itu tidak mengetahui secara pasti mengapa putrinya bisa jatuh dari tangga. Saat itu yang Umi Zahra pikirkan hanya keselamatan putrinya.

Humaira semakin dibuat tidak mengerti oleh semua ini. Mengapa Anisa bisa terjatuh dari tangga? Ya Rabb, mungkinkah semua ini salahnya? Jika saja Humaira mengindahkan permintaan sahabatnya untuk menginap di malam sebelum hari bahagianya, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Humaira masih bisa melihat senyum yang terukir di wajah sahabatnya. Jika saja waktu itu Humaira bersama Anisa, mungkin saja malam ini sahabatnya tidak akan mengalami kecelakaan.

"Umi, Humaira minta maaf. Semua ini salah Humaira. Jika saja tadi Humaira tidak--" Semakin diperjelas desir perih luruh membuat cairannya menetes. Seperti ada pecahan beling yang menancap di tenggorokannya. Sungguh, Humaira tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia benar-benar merasa bersalah. Semua ini terjadi karena dirinya.

"Tidak, Sayang. Semua ini bukan salahmu, tapi umi." 

"Tidak Umi." Gadis itu menjawab sembari menggelengkan kepala secepat kilat. Sungguh, jika di antara orang yang harus disalahkan, itu adalah dirinya bukan yang lainnya. Humaira kembali berhambur memeluk Umi Zahra. Ia tergugu. Namun, Humaira memilih membungkam mulutnya dengan satu tangan agar suara isak itu tidak terdengar oleh yang lain. Rasa sakit itu melebihi rasa sakit ketika ia berusaha mengikhlaskan pria itu untuk sahabatnya. Ilahi, sungguh ia sangat ikhlas melepas pria itu jika Anisa kembali pulih dan ceria seperti sedia kala.

Jika saja cinta ini tidak pernah hadir, maka banyak orang tidak akan terluka karena dirinya. Sungguh, ia sangat menyesal karena telah jatuh cinta. Jika saja ia tidak melabuhkan hatinya kepada yang lain selain Allah, mungkin kejadiannya tidak akan serumit ini. Gadis itu juga tidak akan pernah terbaring di ruangan dengan bau khas obat-obatan ini. Namun, cinta ini bukanlah kesalahan. Cinta adalah anugerah. Bukan tanpa alasan Allah menggerakkan hati untuk mencintai seseorang bukan?

"Umi hanya takut, Nak. Setiap umi melihat Anusa, hal buruk selalu menghantui umi. Mengapa musibah ini menimpanya, kenapa tidak umi saja?" Humaira menggeleng kuat. Perkataan Umi Zahra membuatnya berkali-kali lipat hancur. Rasa bersalahnya semakin menggunung.

"Tidak, Umi. Tidak  ... jangan berkata seperti itu." Semakin Umi Zahra menangis, hati Humaira terasa semakin sesak. Tangisan itu berasal dari seorang ibu. Humaira dapat melihat wajah uminya dalam diri Umi Zahra. Mungkin jika semua terjadi kepada dirinya, Umi Malikah juga akan sama terlukanya seperti ini. Humaira tidak tega melihatnya.

"Sudah, Mbak Zahra. Tidak ada yang harus disalahkan. Musibah ini semua datangnya dari Allah. Saya yakin Nak Anisa akan baik-baik saja. In syaa Allah." Umi Malikah mendekat, di detik yang sama pula wanita itu menepuk-nepuk pelan pundak wanita paruh baya di sampingnya. Umi Zahra berhambur ke pelukan uminya.

Humaira kembali menatap netra yang masih terpejam di ruangan yang bertuliskan ICU, tangan dinginnya terlihat seputih kapas. Seperti sebuah porselen yang rapuh bahkan hanya untuk tersentuh. Ia semakin menggenggam erat tangan Anisa, berharap gadis itu dapat merasakan sentuhannya.

Aku mohon. Bangun, Nis. Buka matamu. Bukankah besok adalah hari yang selama ini kamu tunggu? Pernikahanmu dengan Mas Arya. 

Netranya tidak dapat berhenti meneteskan air mata, sedangkan hatinya tak henti berucap. Humaira berharap sahabatnya bisa segera membuka mata dan kembali memeluk erat tubuhnya. Sungguh, ia akan ikhlas jika Humaira bisa melihat Anisa menikah dengan pria yang dicintainya.

Ah, iya. Mengapa Humaira melupakan seseorang yang semenjak kedatangannya ke ruangan ini tidak bereaksi sedikitpun. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari bibir manisnya. Pria itu diam seribu bahasa, hanya tatapan kosong yang tersisa. Ia tak tahu apa yang sebenarnya pria itu pikirkan, tapi Humaira yakin betapa terlukanya sosok itu.

"Dokter, bagaimana dengan kondisi Anisa?" Suara itu membuat lamunannya terputus. Humaira menoleh menatap pria berjas putih dan Umi Zahra di belakangnya.

"Benturan keras di kepalanya membuat pasien belum juga sadarkan diri. Kemungkinan besar pasien harus mendapatkan tangan medis dengan operasi, tapi sebelum itu kami membutuhkan persetujuan dari keluarga pasien." 

"Suami saya sebentar lagi datang, Dokter. Saya mohon, tolong selamatkan anak saya." Suara wanita itu terdengar begitu parau dan pilu. Ia menangkupkan tangan di dada sembari terus meneteskan air mata.

"Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Berdoa saja dan meminta kepada Yang Maha Kuasa. Satu lagi, pasien ...." Kalimat pria berjas putih itu terhenti. Dokter itu mengambil sesuatu dari dalam saku jasnya. Sebelum akhirnya ia memberikan sebuah amplop yang berisikan surat kepada Umi Zahra.

"Pasien menulis surat ini sebelum benar-benar tidak sadarkan diri." Umi Zahra membacanya dan beberapa detik setelah itu, tatapannya berubah.

Humaira mendekat, tapi ketika jaraknya hanya terpaut beberapa senti, atensi semua orang tertuju kepadanya. Sebenarnya apa yang terjadi? Ia tidak paham mengenai tatapan itu, ada sesuatu yang tidak bisa diartikan. Umi Zahra memberikan surat itu kepada pria yang sejak tadi hanya diam. Setelah mengetahui isi surat tersebut, apakah kalian bisa menebak bagaimana reaksinya? Mengapa semua mendadak bungkam? Di detik yang sama pula pria itu menatapnya. Tatapan elang ciri khas darinya yang begitu dalam serta menakutkan.

Humaira semakin tidak mengerti dengan semua ini. Sebenarnya apa yang Anisa tulis dalam surat itu? Mengapa semua mendadak membisu tanpa memberitahunya. Namun, di detik yang sama Humaira mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, disaat ia membaca surat itu.

Mematung. Gadis itu membatu di tempat. Aliran darahnya mendadak membeku, bahkan denyut nadinya seolah berhenti berdenyut. Air mata itu sontak luruh bersama dengan perasaan hatinya yang seketika hancur lebur. Apa yang Anisa maksud? Mulutnya sedikit terbuka dan di detik selanjutnya surat itu terjatuh.

Humaira membalas tatapan pria itu. Binar mata yang dipenuhi dengan cairan bening membuat penglihatannya sedikit buram. Sungguh, hanya dengan satu kali kedipan bening itu akan runtuh.

Mas Arya. Di sini Anisa akan berjuang untuk kembali pulih seperti sedia kala, tapi Ninis mohon ... berjanjilah untuk menikah dengan Humai sebagai gantinya.

Ninis mohon, jangan buat semua orang kecewa dan malu karena pernikahan kita yang batal. Berjanjilah untukku. Sungguh, Ninis sangat ikhlas, Mas. Demi Allah ana uhibbuka fillah, Mas Arya.

Tidak. Sudah cukup! Ketika ia membaca surat itu, ia dapat mendengarkan suara Anisa yang serak. Bahkan dari lembaran itu Humaira dapat melihat bekas cairan yang jatuh ketika Anisa menulis surat itu. Oh Allah, seperti ada pecahan beling yang menancap di tenggorokannya. Suara itu memekik. Ya Rabb, Humaira mengakui jika dia sangat mencintai pria yang berdiri dengan tatapan kosong di depan itu. Namun, ia tidak akan pernah sanggup. Bagaimana bisa ia menikah dengan calon suami sahabatnya sendiri. Akan terlihat egois jika ia menerima permintaan sahabatnya itu. Sementara Anisa di ruangan yang penuh dengan alat medis sedang bertaruh nyawa, berjuang demi mengembalikan kesadarannya. Ilahi, sejak lama Anisa memimpikan menjadi istri dari Arya, apakah benar tulisan surat itu?

Tidak ya Allah. Humaira tidak mungkin bisa melakukannya. Sungguh, ini sangatlah menyayat hati, menyakitkan.

***

Malam yang kelabu membuat Humaira semakin terjaga. Semilir angin yang bertiup menyapu kulit wajahnya membuat gadis itu berulang kali mengeratkan sweater yang dikenakannya. Humaira pernah mendengar bahwa angin malam tidak baik untuk kesehatan. Namun, ia tidak peduli. Humaira terduduk lemas di teras masjid sesudah menunaikan dua rakaat malam. Seluruh sendi tubuhnya seolah tak lagi berfungsi. Hatinya bergemuruh, setumpuk sesak gadis itu rasakan membuat napasnya seperti berat.

Anisa. Hanya gadis itulah yang malam ini menjadi langitan doanya. Humaira hanya menginginkan kesembuhan sahabatnya, tidak ada yang lain. Setidaknya, gadis itu malam ini sadar sehingga Arya tidak perlu menikahinya. Jika Anisa terbangun, Humaira tidak perlu menjadi pengganti.

"Humaira, apakah kamu bersedia menjadi pengantin pengganti Ansia?" Suara bariton itu membuatnya terkejut.

Air mata yang menganak di pelupuknya luruh. Secepat kilat gadis itu mengelas sekaligus menyeka beningnya seraya memalingkan wajah. Tidak. Bukan di sini tempat yang tepat untuknya menangis. Perlahan setelah suasana hatinya mulai normal, ia mendongak, menatap sosok yang entah sejak kapan berdiri de hadapannya. Tidak ada badai maupun petir, pria itu mengatakannya. Bahkan sebelumnya pria itu tidak sedikitpun berkata.

Kata pengantin pengganti terdengar terus berpekik, begitu memekakkan telinga. Dua kata, tapi terus terngiang, membuat Humaira terasa jatuh berkali-kali dihempaskan ke dalam sungai yang deras.

Bagaimanapun juga Humaira tidak bisa mengelak. Gadis itu memang menginginkan menikah dengan pria yang dia cintai. Namun, bukan pernikahan seperti ini yang ia inginkan. Sungguh, bukan dengan merebut calon mempelai pria dari sahabatnya. Sejahat apapun Gendhis, ia masih mempunyai hati. Percayalah bahwa ia tidak setega itu untuk melakukannya. Akan terdengar munafik memang, tapi sungguh tidak dengan seperti ini juga caranya.

"Saya janji--setelah Anisa membaik, kita bisa mengakhiri ini semua." Humaira membeku. Netranya membulat sempurna. Pun hatinya mencelos kencang. Apa yang dikatakan oleh Arya benar-benar tidak bisa dipercaya. Humaira masih tidak kunjung bergeming. Tubuhnya mematung tanpa mengindahkan perkataan Arya. Gadis itu bangkit dengan tatapan tajam bagaikan pedang yang siap menghunus musuh di hadapannya.

"Perlu kamu ketahui, Mas. Pernikahan bukanlah sebuah permainan!" Gadis itu tidak bisa lagi menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa yang menumpuk. Namun, untuk alasan ala? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seolah tengah mempermainkannya?

Humaira mencoba untuk memberanikan diri menatap manik tegas di depannya, tanpa rasa takut dan ragu pastinya. Amarah itu cukup menggebu-gebu. Sakit. Dengan mudahnya pria itu mengatakannya. Apakah ia tidak berpikir bagaimana kedepannya? Pernikahan seperti apa yang akan mereka jalani. Pria itu sudah terlebih dahulu menceraikannya sebelum mereka menikah, bahkan ijab qabul saja belum terucap dari bibirnya. Selucu itukah? Hatinya hancur bagaikan pecahan gelas.

Pernikahan bukan sekedar ikatan benang merah saja. Lagipula, Humaira bukanlah barang. Ketika sang tuan bosan sewaktu-waktu akan dicampakkan begitu saja. Semurah itukah harga dirinya? Humaira benar-benar tidak menyangka pria itu dengan mudah berkata sedemikian rupa.

"Tidak, Humaira. Dengarkanlah. Bukan seperti itu maksud saya. Kamu tidak mencintai saya, begitu juga sebaliknya dengan saya. Demi Allah, saya hanya ingin membuat semuanya menjadi mudah." Sekali lagi Humaira menatapnya. Entah untuk yang keberapa kalinya ia menatap wajah tampan itu. Duhai Allah, bagaimana bisa pria itu tidak mengerti.

Tunggu-tunggu. Mudah katanya? Bukan berarti karena tidak mencintai, ia bisa mengakhiri semua itu dengan mudah. Pernikahan itu ibadah, pernikahan adalah ikatan seumur hidup. Jika bukan karena cinta, setidaknya ikatan ini dapat menyatukan dua keluarga. Dapat mempererat hubungan silaturahmi dua pihak yang asing.

Air mata Humaira kembali menetes. Namun, secepat kilat gadis itu berbalik seraya mengelas beningnya, tidak ingin pria di hadapannya mengetahui ia meneteskan air mata. Humaira tidak mengerti. Mengapa takdir seolah sedang menarik ulur hatinya. Ah, seperti layang-layang saja. Setelah perjuangannya untuk mengikhlaskan, garis takdir yang ditetapkan oleh-Nya seolah ingin ia terikat kembali dalam pusaran yang lebih rumit.

Astagfirullahalazim. Mengapa ia bisa jadi seperti ini. Tidak seharusnya Humaira menyalahkan takdir. Sejatinya bukan takdir yang salah, tapi hatinya. Hati yang dengan mudah mencintai bahkan sebelum adanya ikatan yang suci.

"Humaira, saya tidak bermaksud apapun. Saya hanya tidak ingin membuat kamu terbebani dengan semua ini. Bukankah kamu tidak mencintai saya?" Kalimat itu bagaikan tamparan keras yang mendarat di pipinya. Apakah mencintai adalah sebuah kesalahan?

"Kita tidak saling mencintai. Seterusnya akan seperti itu bukan?" Telak. Gadis itu membelalak. Hatinya berkali-kali mencelos, seperti dihempaskan ke dalam jurang yang dalam.

"Hanya satu tahun saja, Humaira. Setelah Anisa benar-benar pulih, saya akan melepaskanmu." Allahu akbar. Humaira tidak bisa lagi membendung kesedihannya. Seperti ada pecahan beling di tenggorokannya. Perih. Apakah kalian pernah berada di posisi itu dan merasakan suara yang tercekat di tenggorokan?

"Ini bukan perihal mencintai, Mas." Sekuat tenaga Humaira berusaha menjawab perkataan Arya. Matanya memerah karena menahan agar cairan itu tidak menetes.

"Saya hanya ingin membuat semua menjadi mudah. Apakah kamu bersedia menjadi pengantin pengganti Anisa?" Ia bertanya untuk yang kedua kalinya.

Humaira memalingkan wajah dan menyeka air matanya. Gadis itu menutup mulutnya dengan telapak tangannya, tidak ingin isak pilu terdengar kentara.

Sebenarnya kamulah pria yang namanya selalu kusebut dalam doa, Mas. 

Bersambung .... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun