Tidak. Sudah cukup! Ketika ia membaca surat itu, ia dapat mendengarkan suara Anisa yang serak. Bahkan dari lembaran itu Humaira dapat melihat bekas cairan yang jatuh ketika Anisa menulis surat itu. Oh Allah, seperti ada pecahan beling yang menancap di tenggorokannya. Suara itu memekik. Ya Rabb, Humaira mengakui jika dia sangat mencintai pria yang berdiri dengan tatapan kosong di depan itu. Namun, ia tidak akan pernah sanggup. Bagaimana bisa ia menikah dengan calon suami sahabatnya sendiri. Akan terlihat egois jika ia menerima permintaan sahabatnya itu. Sementara Anisa di ruangan yang penuh dengan alat medis sedang bertaruh nyawa, berjuang demi mengembalikan kesadarannya. Ilahi, sejak lama Anisa memimpikan menjadi istri dari Arya, apakah benar tulisan surat itu?
Tidak ya Allah. Humaira tidak mungkin bisa melakukannya. Sungguh, ini sangatlah menyayat hati, menyakitkan.
***
Malam yang kelabu membuat Humaira semakin terjaga. Semilir angin yang bertiup menyapu kulit wajahnya membuat gadis itu berulang kali mengeratkan sweater yang dikenakannya. Humaira pernah mendengar bahwa angin malam tidak baik untuk kesehatan. Namun, ia tidak peduli. Humaira terduduk lemas di teras masjid sesudah menunaikan dua rakaat malam. Seluruh sendi tubuhnya seolah tak lagi berfungsi. Hatinya bergemuruh, setumpuk sesak gadis itu rasakan membuat napasnya seperti berat.
Anisa. Hanya gadis itulah yang malam ini menjadi langitan doanya. Humaira hanya menginginkan kesembuhan sahabatnya, tidak ada yang lain. Setidaknya, gadis itu malam ini sadar sehingga Arya tidak perlu menikahinya. Jika Anisa terbangun, Humaira tidak perlu menjadi pengganti.
"Humaira, apakah kamu bersedia menjadi pengantin pengganti Ansia?" Suara bariton itu membuatnya terkejut.
Air mata yang menganak di pelupuknya luruh. Secepat kilat gadis itu mengelas sekaligus menyeka beningnya seraya memalingkan wajah. Tidak. Bukan di sini tempat yang tepat untuknya menangis. Perlahan setelah suasana hatinya mulai normal, ia mendongak, menatap sosok yang entah sejak kapan berdiri de hadapannya. Tidak ada badai maupun petir, pria itu mengatakannya. Bahkan sebelumnya pria itu tidak sedikitpun berkata.
Kata pengantin pengganti terdengar terus berpekik, begitu memekakkan telinga. Dua kata, tapi terus terngiang, membuat Humaira terasa jatuh berkali-kali dihempaskan ke dalam sungai yang deras.
Bagaimanapun juga Humaira tidak bisa mengelak. Gadis itu memang menginginkan menikah dengan pria yang dia cintai. Namun, bukan pernikahan seperti ini yang ia inginkan. Sungguh, bukan dengan merebut calon mempelai pria dari sahabatnya. Sejahat apapun Gendhis, ia masih mempunyai hati. Percayalah bahwa ia tidak setega itu untuk melakukannya. Akan terdengar munafik memang, tapi sungguh tidak dengan seperti ini juga caranya.
"Saya janji--setelah Anisa membaik, kita bisa mengakhiri ini semua." Humaira membeku. Netranya membulat sempurna. Pun hatinya mencelos kencang. Apa yang dikatakan oleh Arya benar-benar tidak bisa dipercaya. Humaira masih tidak kunjung bergeming. Tubuhnya mematung tanpa mengindahkan perkataan Arya. Gadis itu bangkit dengan tatapan tajam bagaikan pedang yang siap menghunus musuh di hadapannya.
"Perlu kamu ketahui, Mas. Pernikahan bukanlah sebuah permainan!" Gadis itu tidak bisa lagi menyembunyikan kemarahannya. Ah, tidak. Lebih tepatnya rasa kecewa yang menumpuk. Namun, untuk alasan ala? Apakah karena perkataan pria itu atau takdir yang seolah tengah mempermainkannya?