Mohon tunggu...
Silla Agustin
Silla Agustin Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Penulis/Juara lomba cerpen/SMA Negeri 1 Pandaan

Aku tidak sebaik kamu, pun dengan tulisanku. "Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu." _Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Lentera Humaira

11 Februari 2024   16:35 Diperbarui: 11 Februari 2024   16:41 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Humaira mencoba untuk memberanikan diri menatap manik tegas di depannya, tanpa rasa takut dan ragu pastinya. Amarah itu cukup menggebu-gebu. Sakit. Dengan mudahnya pria itu mengatakannya. Apakah ia tidak berpikir bagaimana kedepannya? Pernikahan seperti apa yang akan mereka jalani. Pria itu sudah terlebih dahulu menceraikannya sebelum mereka menikah, bahkan ijab qabul saja belum terucap dari bibirnya. Selucu itukah? Hatinya hancur bagaikan pecahan gelas.

Pernikahan bukan sekedar ikatan benang merah saja. Lagipula, Humaira bukanlah barang. Ketika sang tuan bosan sewaktu-waktu akan dicampakkan begitu saja. Semurah itukah harga dirinya? Humaira benar-benar tidak menyangka pria itu dengan mudah berkata sedemikian rupa.

"Tidak, Humaira. Dengarkanlah. Bukan seperti itu maksud saya. Kamu tidak mencintai saya, begitu juga sebaliknya dengan saya. Demi Allah, saya hanya ingin membuat semuanya menjadi mudah." Sekali lagi Humaira menatapnya. Entah untuk yang keberapa kalinya ia menatap wajah tampan itu. Duhai Allah, bagaimana bisa pria itu tidak mengerti.

Tunggu-tunggu. Mudah katanya? Bukan berarti karena tidak mencintai, ia bisa mengakhiri semua itu dengan mudah. Pernikahan itu ibadah, pernikahan adalah ikatan seumur hidup. Jika bukan karena cinta, setidaknya ikatan ini dapat menyatukan dua keluarga. Dapat mempererat hubungan silaturahmi dua pihak yang asing.

Air mata Humaira kembali menetes. Namun, secepat kilat gadis itu berbalik seraya mengelas beningnya, tidak ingin pria di hadapannya mengetahui ia meneteskan air mata. Humaira tidak mengerti. Mengapa takdir seolah sedang menarik ulur hatinya. Ah, seperti layang-layang saja. Setelah perjuangannya untuk mengikhlaskan, garis takdir yang ditetapkan oleh-Nya seolah ingin ia terikat kembali dalam pusaran yang lebih rumit.

Astagfirullahalazim. Mengapa ia bisa jadi seperti ini. Tidak seharusnya Humaira menyalahkan takdir. Sejatinya bukan takdir yang salah, tapi hatinya. Hati yang dengan mudah mencintai bahkan sebelum adanya ikatan yang suci.

"Humaira, saya tidak bermaksud apapun. Saya hanya tidak ingin membuat kamu terbebani dengan semua ini. Bukankah kamu tidak mencintai saya?" Kalimat itu bagaikan tamparan keras yang mendarat di pipinya. Apakah mencintai adalah sebuah kesalahan?

"Kita tidak saling mencintai. Seterusnya akan seperti itu bukan?" Telak. Gadis itu membelalak. Hatinya berkali-kali mencelos, seperti dihempaskan ke dalam jurang yang dalam.

"Hanya satu tahun saja, Humaira. Setelah Anisa benar-benar pulih, saya akan melepaskanmu." Allahu akbar. Humaira tidak bisa lagi membendung kesedihannya. Seperti ada pecahan beling di tenggorokannya. Perih. Apakah kalian pernah berada di posisi itu dan merasakan suara yang tercekat di tenggorokan?

"Ini bukan perihal mencintai, Mas." Sekuat tenaga Humaira berusaha menjawab perkataan Arya. Matanya memerah karena menahan agar cairan itu tidak menetes.

"Saya hanya ingin membuat semua menjadi mudah. Apakah kamu bersedia menjadi pengantin pengganti Anisa?" Ia bertanya untuk yang kedua kalinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun