Mohon tunggu...
Della Anna
Della Anna Mohon Tunggu... Blogger,Photographer,Kolumnis -

Indonesia tanah air beta. Domisili Belanda. Blogger,Photographer, Kolumnis. Berbagi dalam bentuk tulisan dan foto.

Selanjutnya

Tutup

Drama Pilihan

[Drama] Ilusi Cinta

28 Mei 2017   14:31 Diperbarui: 28 Mei 2017   15:59 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover ''Ilusi Cinta'' foto ©DellaAnna

Berapakali aku mengunggulimu?

Tak jadi soal, 

apakah aku tertawa atau menangis

Kucari, pada tiap siku perasaan

Adakah cintamu untukku?

Acap bayang cinta yang kukejar,

saudagar semata

Menutupi pupil mataku,

bagai kelambu,

Durjana cinta pada hati yang merana

Dalam diri,

hati

Godverdamme!

----

Dihempasnya tas, sepatu dan jas ke lantai.

Prang! 

Suara piring terinjak kaki hewan berkaki empat, Kato, kucing Siam.

‘’Ah, Kato’’, keluh Vera.

Dielusnya kepala kucing, sementara Kato menyerudukan kepalanya, seakan memohon Vera berbuat lebih banyak untuknya.

Bulu kucing yang halus menghadirkan perasaan tenang yang damai. Dan dengkur suara Kato yang bergema di seluruh tubuhnya terdengar menyampaikan sinyal lewat sentuhan elusan tangan.

Memeluk kato lama seperti itu, bisa membuat Vera jatuh pulas, tertidur.

Jam dinding berdentang duabelas kali, mengejutkan kedua makhluk yang tertidur. Vera sadar, rupanya ia tertidur begitu saja pada bangku ruang tamu dengan Kato yang masih dalam pelukannya.

Diliriknya telepon genggam di bawah lantai dekat bangku, terlihat ada berita message untuknya;

‘’Hari Selasa, jam?’’ teks yang pendek.

Vera melayangkan pandangan matanya sejenak, di atas mebel terlihat bingkai foto, dirinya. Di sebelah, bingkai foto keluarga. Ada ibunya, kakak lelaki satu-satunya, hanya itu. Selama hidup belum pernah Vera lihat yang mana foto ayahnya. 

‘’Minggat!’’ pendek ucap ibunya.

Belakangan kisah, Vera mengetahui bahwa ibunya sendiri tidak pernah tau dimana tempat tinggal ayahnya.

‘’O, … lelaki pelaut itu, dia datang hanya untuk menanam benih, pergi seperti angin,’’ kata ibunya.

Vera terbiasa dengan kehidupan ini. Dilahirkan, tumbuh, kerja keras dan mencoba dari waktu ke waktu memahami apa sebenarnya hidup ini.Tak banyak sebenarnya, jalankan saja seperti air yang mengalir mengikuti kemana muara, tak jadi soal muara itu berkubang kotor, lautan atau sungai yang jernih. 

‘’Gak usah menagih hidup dengan janji, nanti kau kecewa,’’ pesan ibunya. 

Hari minggu, Vera menyempatkan diri datang ke tempat Yvone. Mereka berteman sejak duduk di bangku sekolah es de. Bertemu kembali ketika usia menginjak duapuluh lima tahun. Yvone, yang karyawati sebuah Bank swasta dan memiliki tiga anak dari perkawinan yang keduanya ini tetap menyediakan ruang persahabatan dengan Vera. Yang sering berkeluh kesah hanya Yvone, Vera jarang untuk bercurhat. Dirinya terbiasa kena tempa kerasnya kehidupan.  

‘’Hei Ver, kalau datang bawa salad, kita barbecue-an,’’ suara Yvone di telepon.

Blus warna putih dengan renda halus di pinggir leher serta celana panjang jeans, dan bersandal sepatu warna merah. Vera memeluk Yvone sambil menyerahkan salad yang dipesan. 

‘’Wah, banyak banget!’’ tanya Yvone.

‘’Ya udah, kalau lebih simpan di freezer,’’ timpal Vera.

Hari yang cerah. Ketiga anak Yvone asyik dengan mainan game Nintendo. Gasper, suami Yvone sibuk melayani minuman untuk para tamu, mereka melarang Vera untuk membantu.

Tiba-tiba Gasper, suami Yvone berjalan bersama dengan seseorang menuju ke tempat di mana Vera duduk. 

‘’Ver, ini kenalkan temanku.’’

‘’Frank,’’ lelaki itu mengulurkan tangannya.

Vera menyambut uluran tangan itu sambil berdiri dan mengenalkan dirinya sendiri. Sementara Yvone di dekat meja barbecue mengedipkan mata ke arah Vera.

Frank, kolega Gasper. Ia bekerja baru masuk tahun kedua di perusahaan penerbangan di mana Gasper bekerja. Hanya saja bagian keduanya berbeda, Gasper bekerja dengan shift pada bagian pengatur lalu lintas pesawat pada menara. Sedangkan Frank bekerja pada bagian marketing. Hampir setiap bulan Frank melakukan perjalanan ke luar negeri terkait bidang pekerjaanya. Setiap pelosok di seluruh dunia ini pernah ia kunjungi. Promosi jabatan yang akan datang sebagai direktur bagian marketing telah menunggunya.

Mata Vera lurus menatap beberapa anak rambut pada kening Frank, tiga warna keemasan menghiasi kepalanya.

Warna pirus bola mata Frank sangat mencuri perhatian Vera. Warnanya hampir sama dengan warna tepian pantai lautan. Ada keteduhan di sana. Beberapakali beradu pandang mata, membuat mereka salah tingkah sendiri. 

‘’Tinggal dimana?’’ basa basi Frank membuka perkenalan.

Vera merasa Frank duduk di sampingnya begitu dekat. Vera merasa, sesekali lutut dan paha Frank menyentuh samping kiri kakinya.

‘’Enam kilometer dari sini.’’ 

Sekali lagi tak sengaja warna pirus mata Frank menatapnya tajam, bahkan Vera merasa seakan menggetarkan aliran darahnya. Tiba-tiba wajahnya terasa panas. Malu kepergok kalau pipinya menjadi merah, cepat Vera mengalihkan mukanya ke arah lain. Namun, Frank lagi-lagi bertanya.

‘’Gimana, ada klien yang bandel?’’ 

Mereka tertawa berdua. Tiba-tiba Frank menangkap tawa Vera sangat menawan, baris gigi yang putih, rapih dan terawat membuat mata Frank tak putus-putusnya memandang senyum dan tawa Vera. Dan, tiba-tiba saja Frank merasa nyaman dengan harum sejuk wangi pakaian Vera. Angin perlahan mengirim hembus aroma ini ke hidung Frank. 

Selama tiga jam keduanya bercakap dengan tema yang sederhana. Sesekali Gasper dan Yvone menghampiri mereka.

Ketika akan berpisah, tak kuasa Frank menahan diri untuk tidak bertanya pada Vera, kapan lagi mereka bisa bertemu. Penampilan sederhana Vera telah mempesona mata pirus Frank.

----

Pertemuan tak terhitung lagi antara Vera dan Frank. Di tengah kesibukan menjalankan tugasnya ke luar negeri, Frank selalu berusaha untuk bertemu dengan Vera. Cinta mereka bersemi, bertebaran hampir di pelosok dunia. Frank yang pertama menyatakan cintanya, ini kali ia tak kuasa untuk menahannya. Rantai status yang mengikat kakinya, berkali-kali ia langgar.

‘’Apakah kau tak mau bertanya siapakah aku ini Ver?’’ tanya Frank suatu hari ketika mereka ada di Malta.

Vera memandang mata pirus sambil bersandar pada bidang bahu Frank. Di carinya warna pirus yang lain pada mata Frank, tetapi pirus tak berubah.

‘’Untuk apa?’’ tanya Vera rileks.

‘’Kalau kau bercerita tentangmu, apakah kau berani tinggalkan mereka untukku?’’ suara Vera seakan palu hakim. 

Mata pirus Frank terhenyak, terdiam. Lurus dipandangnya tepian pantai laut Malta. Warna biru laut dan busa ombak yang bergulung, berlomba memukul tepian pantai ikut serta menghakiminya. Digelengkan kepalanya perlahan, seraya pirus pupil matanya jauh menerawang luasnya laut. 

‘’Mm … sudah kuduga,’’ sahut Vera pendek tak berbeban.

‘’Aku tak tega menyakiti mereka Vera. Tapi, aku juga tak mau kehilangan dirimu,’’ bisik Frank.

‘’Tapi, kau sanggup menyakiti aku,’’ jawaban Vera tajam menusuk kalbu Frank.

Vera tersenyum, dipandangnya horizon antara laut dan langit. Kilauan mentari pada permukaannya bagai berlian. Vera terbiasa tak memburu. Hidup tak usah dikejar dengan janji, pesan ibunya selalu mengiang di telinganya.

‘’Aku ingin kau membenciku Ver. Menampar atau memukulku, atau mengusirku. Supaya kita tak bertemu lagi.’’ Frank menekan suaranya seakan takut Vera segara meninggalkannya.

Dipeluknya Vera, seakan tak mau melepaskan. Namun, kehidupan nyata Frank tak memungkinkan ia memiliki Vera, terlarang!

Frank, tetap egois ingin memiliki Vera. Sementara Vera merasa ia bukanlah seseorang dengan harga mati. Biarlah kehidupan ini mengalir kemana arah muara, bagai burung terbang dari utara ke selatan ketika musim berganti.

----

Seperti biasanya malam ini, sama dengan malam sebelumnya. Bahkan, tak berbeda dengan malam ketika Vera mengenal Frank untuk pertamakalinya. 

Ruangan itu sangat khusus. Warna dan dekorasinya dipilih dengan selera tingkat tinggi. Untuk hal ini, Vera sangat ahli. 

Lukisan bunga Magnolia dalam ukuran besar dengan megahnya menghias dinding, tepat di atas tempat tidur. Dua buah lampu sorot dengan warna khas menerangi lukisan, menambah suasana ruangan demikian magis dan romantis.

Tempat tidur dengan ukuran yang besar dan super luxe memiliki banyak bantal warna-warni. Alas tempat tidur sama seperti lukisan pada dinding, bermotif bunga Magnolia dalam ukuran besar.

Di sebelah kiri terdapat lemari terbuka, aneka kostum aneh tergantung komplet dengan aksesorisnya.

Tak pernah ada orang yang masuk ke dalam ruangan ini, bahkan Kato kucingpun tak pernah. Hanya Vera. 

Pada meja di seberang tempat tidur, terdapat tiga layar monitor komputer dengan ukuran besar. Masing-masing monitor memiliki Webcam. Alat ini siap menjalankan tugasnya, sama seperti tugas rutin pada malam sebelumnya.

Monitor bekerja tanpa batas. Tak jadi soal hari libur atau hari raya, hari kematian atau hari kelahiran, hari keceriaan karena jatuh cinta atau patah hati nelangsa merana.

Satukali layar monitor menyala, maka dunia di luar sana tertutup. Yang ada hanyalah monitor dengan profil misterius. Tak ada wajah, yang terdengar hanyalah suara, memohon!

‘’Sedikit buka, … yah … oh, lihat, iya … ah … ke bawah sedikit,  ‘’ desah suara tak sabar lewat layar Webcam.

Dengan suara yang manja Vera mengulur waktu, membuat desah suara semakin meninggi. 

Sepintas Vera melihat cincin pada jari kelingking pemiliknya. Gerakannya teratur. Klimaks yang dibuatnya membuat perut Vera mual, ingin muntah. Cincin itu sangat dikenalnya, bahkan pemakainya menjeratnya dengan cinta yang beraroma nafsu frustasi, Frank.

Namun, Vera cepat sadar. Secepat komet terbang dari timur ke selatan, ia tau, bahwa Vera bukanlah tipe si terpuruk. 

Desah-desah cinta itu kini berserakan. Muncrat, membasahi dinding klimaks kepuasan para pemesan.

Tak jadi soal, apakah suara itu milik Frank, Gasper, direktur tempat Vera bekerja atau siapapun dia. 

Rekening malam ini, mengalir seperti biasanya. Tak perlu tangisan itu, persetan dengan cinta sejati. Ini malam, Vera adalah tuan cinta. 

Webcam layar monitor kedua menyala, desah pemesan merayu menggoda,

‘’Dekatkan, …yah, … dekatkan, … iyah…yah,’’ desah itu mengiba memohon.

Vera terbiasa. Malam dengan pesanan secara online adalah rutin dalam kehidupan malamnya. Tak perlu kartu anggota club malam yang V.I.P. Tak perlu taksi khusus. Tak perlu temu wajah. Suara dan tombol menekan rekening ‘’pay’’ terbayar adalah penting. 

Cinta! tak pernah serius Vera pikirkan. 

Inilah kenyataan hidup, bercinta dalam kenyataan atau bercinta dalam khayalan. 

Pria-pria dengan egoisme dan libido yang tinggi. Setengah ada yang melarikan diri karena frustasi, setengah royal membelanjakan isi dompetnya demi kepuasaan seks. Beberapa diantaranya korban problem rumah tangga. Sesekali perjaka tulen mengorbankan uang rokoknya, hanya sekedar untuk mencoba, gimana sih seks online?

Webcam layar monitor ketiga menyala. Terdengar suara serak dan berat seorang lelaki. 

Tebak, berapa usianya, delapanpuluh satu!

---o0o--

(da280517nl)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun