Ibu Nara hanya menganggukkan kepala dan berlalu mengikutiku. Sebelum kami benar-benar pergi, sekilas Arsen Nampak melambaikan tangan dan mengucapkan terima kasih. Sayang, hanya aku yang dapat melihatnya. Namun sepertinya ia tidak mau aku memberitahu sang ibu akan keberadaannya.
***
Aku membawa Ibu Nara pulang ke rumah. Ia terlihat lelah karena terlalu lama menangis. Hanya teh hangat yang bisa kuhidangkan.
“Nak, boleh ibu tanya sesuatu?”
“Boleh, selama saya bisa menjawab,” ujarku.
“Wanita yang ada difoto itu siapa?” ia menunjuk kearah bingkai foto yang menempel ditembok ruang tamu.
“Itu almarhumah bunda saya, namanya Kinanti.”
Kejadian sebelumnya terulang, Ia memelukku bahkan lebih erat. Aku sedikit kebingungan, namun dengan cepat ia melepas pelukan seraya berkata, “Zilva anakku”. Sudah lama tidak kudengar nama itu, hanya bunda yang sering menyebutnya.
Zilvanka terlalu Panjang untuk sekali ucap, jadi aku meminta semua orang memanggilku Vanka. Caranya mengucap namaku seperti seorang ibu yang merindukan anaknya.
“Kinanti adalah sahabat ibu, dulu dia memohon agar ibu memberikanmu padanya. Dia harus menerima kenyataan bahwa rahimnya tidak berfungsi dengan baik, bundamu bahkan hampir bunuh diri karena depresi,”
“dengan berat hati, ibu mengabulkan permintaan itu. Sejak saat itu Arsen adalah harta satu-satunya yang Ibu punya. Tuhan mengambil Arsen, namun Ia mengembalikanmu,” lanjutnya.