Satu nama yang membuatku dan Vio senang bukan main. Spontan kami melakukan high five andalan. Bagaimana tidak, orang yang kami cari sudah didepan mata. Langsung saja ku sampaikan amanah dari Arsen, rahasia yang selama ini ku simpan rapat-rapat malah ikut terbongkar.
Satu pertanyaan yang belum bisa ku jawab, yakni penyebab Arsen meninggal. Dia tidak memberitahuku sama sekali. Aku dan Viola memutuskan untuk pulang, namun sebelum itu kami berjanji akan mengantar Ibu Nara ke makam anak semata wayangnya.
“Sumpah, kalau kasusnya begini doang mah gue mau bantuin mereka,” ungkapku memecah keheningan.
Kami sedang dalam perjalanan pulang, jujur saja aku belum pernah merasakan arti kata pulang yang sesungguhnya, semenjak ayah dan ibuku pergi. Merasakan pelukan seorang ibu setelah sekian lama, cukup mendamaikan.
“Ka, jangan ngelamun woy. Gue gamau mati muda ya!” pekik Vio.
“Kuping gue sakit tau, lagian gue juga belum siap. Mana kita masih ada janji sama ibunya si Arsen.”
***
Aku kembali menginjakkan kaki disini, dengan senja yang sama. Vio dan Ibu Nara berada di sampingku. Kami menuju pohon yang rimbun, dimana tepat dibawahnya Arsen disemayamkan. Ku lihat air mata deras keluar. Aku hanya bisa mengelus lembut pundak seorang ibu yang kehilangan separuh hidupnya.
Aku pernah diposisi Bu Nara, ditinggalkan selamanya. Aku mendongak menatap Viola, namun dia hanya tertegun.
“Bu, lebih baik kita pulang, hari mulai gelap.”
“Benar kata Vanka, kita bisa kembali kapanpun ibu mau kok,” ucap Vio.