“Ka, lu sadar gak sih alamat yang kita cari tuh pasti ada di google maps,” celetuk Vio sembari menopang dagu.
“Bener juga, ngapain susah-susah tanya orang.” Otak kami memang rada lemot, itu sebabnya baru menyadari sesuatu yang bahkan penting.
Kami melanjutkan perjalanan. Ternyata tempat yang kami tuju berada di sebuah desa dekat perbatasan. Memasuki kawasan yang asri, memunculkan senyum sumringah dua anak remaja. Standar motor matic perlahan ku turunkan, kami berdiri tepat di depan rumah bernuansa klasik.
“Permisi.”
Vio menggoyangkan tanganku sembari berucap, “Ka, tugas kita cuma ngasih tau Bu Nara kalau anaknya udah mampus gitu?”
“Hush, mulut lu. Sopanan dikit kek!” tegasku.
Samar terdengar suara pintu berderit, membuat pandangan kami teralih. Tak lama sosok wanita paruh baya muncul. Kami berdiri cukup lama, hingga wanita ini memelukku tanpa permisi. Ia menangis sambil berkata sesuatu, isak tangis dominan terdengar ditelingaku.
“Maaf, ibu. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” tuturku seraya melepas pelukannya.
“Anak saya telah lama hilang, saat melihatmu saya langsung teringat padanya.”
“Kalau boleh tau nama anak ibu siapa ya?” celetuk Vio mewakili rasa penasaranku.
“Arsenio.”