Kepala ini tiba-tiba pening, sontak saja tanganku memegang bagian yang terasa cenat-cenut, selalu saja jouska. Ditambah suara mereka sangat berisik.
“Iya, aku seperti yang kau katakan,” sautku sembari menghela nafas. Responku pasti akan merepotkan nantinya. Namun, melihat mata sendu itu membuatku tidak tega untuk pergi.
“Aku Arsen, sebelum ku ceritakan bukankah lebih baik jika kita saling mengenal.”
Aku bingung dengan makhluk disampingku, jika makhluk lain bisa kulihat secara langsung mengapa dia tidak. Harus menunduk dan melihat danau, barulah keluar wujud aslinya itupun hanya pantulan air.
“Namaku Vanka, langsung saja apa yang bisa ku lakukan?”
“Baik, aku hanya ingin kau memberitahu ibuku, katakan padanya aku sudah tiada. Pusaraku tepat disana.” Arsen menunjuk ke arah Pohon Dedalu Tangis. Jujur saja aku belum melihat makam yang dia maksud, mungkin tertutup karena daunnya sangat lebat.
“Okay, kamu tinggal sebut alamat, semuanya beres.” Ku pikir ini sangat mudah sebelum Arsen berkata, “Aku tidak tahu dimana tepatnya ia sekarang.”
“Tapi aku masih ingat alamat rumah kami,” tambahnya.
Vanka kau berharap apa, didunia ini gak ada yang mudah. Tetapi, setidaknya Arsen mengatakan sebuah alamat sebelum aku benar-benar pulang.
Aku sudah memutuskan untuk membantu makhluk ini, tidak akan ada kata menyerah sebelum bertemu dengan Ibu Nara, nama orang yang harus kucari.
“Jangan terlalu berharap, aku akan menolongmu semampuku. Selebihnya serahkan pada Tuhan,” ujarku padanya.