Mohon tunggu...
Wan Muhammad Yunizar
Wan Muhammad Yunizar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Baru 2024 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang prodi perbankan syariah fakultas ekonomi

Bermain alat musik seperti gitar dan bermain games

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menguak Problematikayang Sedang Ramai di Media Sosial pada Saat Ini

8 Oktober 2024   04:15 Diperbarui: 8 Oktober 2024   04:15 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baik, mari kita bahas beberapa problematika konstitusi yang sedang ramai dibicarakan, dengan penjelasan lebih mendalam untuk masing-masing isu.

Memperebutkan kekuasaan di ruang digital

Mobilisasi digital yang terjadi melalui gerakan "Peringatan Darurat" memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat diperebutkan di ruang digital.

Dengan mengacu pada teori kekuasaan oleh ahli sejarah dan filsuf Prancis, Michel Foucault, gerakan ini bisa dipandang sebagai bentuk resistensi terhadap otoritas negara yang berusaha mengontrol narasi politik. Ratusan mahasiswa yang turun ke jalan adalah hasil dari mobilisasi daring. Ini menegaskan bahwa media sosial memiliki kekuatan besar untuk menggerakkan massa dan memengaruhi proses politik secara langsung.

Dalam konteks ini, media sosial berfungsi sebagai medan pertempuran baru di mana kontrol atas narasi politik menjadi sangat penting. Foucault mengungkapkan bahwa kekuasaan tidak selalu berjalan dari atas ke bawah, tetapi bisa juga muncul dari bawah melalui resistensi yang menantang otoritas yang ada. Gerakan "Peringatan Darurat" adalah contoh konkret bagaimana kekuatan ini diekspresikan melalui platform digital.

Lebih jauh lagi, gerakan "Peringatan Darurat" juga menggambarkan konsep Foucault tentang 'disiplin' dan 'pengawasan' dalam era digital. Media sosial memungkinkan pemerintah untuk lebih mudah memantau aktivitas kolektif yang muncul secara daring, sehingga dapat mendeteksi pola komunikasi dan strategi yang digunakan oleh para aktivis.

Hal ini memberi pemerintah peluang untuk mengidentifikasi, mengantisipasi, dan bahkan mengintervensi mobilisasi massa sebelum aksi nyata terjadi, dengan tujuan meredam potensi ancaman terhadap stabilitas politik.

Solidaritas digital

Dari sudut pandang sosiolog Prancis, mile Durkheim, gerakan "Peringatan Darurat" ini mencerminkan solidaritas mekanis---individu-individu bersatu berdasarkan kesamaan nilai dan tujuan.

Solidaritas mekanis, yang biasanya ditemukan dalam masyarakat yang lebih sederhana, diadaptasi dalam konteks digital modern. Ini memungkinkan terciptanya ikatan yang kuat di antara kelompok-kelompok dengan tujuan yang sama, meskipun mereka tidak pernah bertemu secara fisik karena adanya keterhubungan virtual.

Media sosial bertindak sebagai katalisator yang memperkuat ikatan sosial di antara para peserta gerakan, menciptakan rasa kebersamaan meskipun mereka berada di lokasi yang berbeda.

Lebih jauh, media sosial mempercepat penyebaran informasi dan memungkinkan berbagai individu untuk berpartisipasi dalam dialog yang memperkuat solidaritas.

Dalam ruang digital, narasi bersama dapat dibentuk lebih cepat dan lebih luas daripada melalui media tradisional, memungkinkan partisipan gerakan untuk mengkonsolidasikan identitas kolektif mereka.

Ini sejalan dengan pemikiran Durkheim tentang pentingnya nilai dan norma bersama dalam menciptakan solidaritas sosial. Dengan kata lain, media sosial menjadi platform utama untuk artikulasi dan penguatan nilai-nilai ini.

Selain itu, figur publik dan influencer di media sosial berperan krusial sebagai "aktor" yang memperkuat kohesi kelompok dengan membangun narasi kuat yang kemudian memicu aksi nyata, seperti demonstrasi di depan Gedung DPR RI.

Ancaman disinformasi

Meskipun media sosial dapat memperkuat partisipasi politik, ia juga membawa tantangan yang signifikan, seperti polarisasi dan disinformasi, yang dapat mengancam stabilitas politik dan demokrasi.

Disinformasi, manipulasi opini publik, dan polarisasi adalah beberapa dampak negatif yang muncul dari penggunaan media sosial sebagai ruang publik. Dalam konteks ini, penting untuk menyadari bahwa meskipun media sosial membuka peluang baru untuk partisipasi demokratis, ia juga dapat menjadi arena konflik dan ketidakstabilan jika tidak dikelola dengan bijak.

Dalam konteks gerakan "Peringatan Darurat", media sosial telah berperan seperti api yang menyalakan semangat perlawanan di tengah krisis demokrasi di Indonesia dengan menggerakkan massa dalam era digital. Ini menunjukkan pentingnya peran media sosial sebagai ruang publik baru.

Namun, api tersebut juga membawa risiko, yakni polarisasi, disinformasi, dan pengawasan mengintai, yang siap merusak fondasi demokrasi. Mitigasi atas risiko-risiko ini yang akan menentukan apakah ia menjadi alat pembangun demokrasi atau justru penyebab kehancurannya.

Baik, mari kita bahas beberapa problematika konstitusi yang sedang ramai dibicarakan, dengan penjelasan lebih mendalam untuk masing-masing isu.

  • Pergeseran Kekuasaan

Mahkamah Konstitusi memegang peranan penting dalam negara yang mengusung tema demokrasi. Ketat dengan perspektif perimbangan kekuasaan (check and balances), lembaga ini dibentuk untuk menafsirkan konstitusi. Di Indonesia, kehadirannya mempunyai makna penting bagi munculnya konsep pergeseran kekuasaan. Pasca bergesernya kekuasaan dari eksekutif ke legislatif, ternyata bukan lembaga yudikatif yang memainkan perannya, melainkan Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, lembaga ini mampu memberikan interpretasi yuridis atas keberadaan undang-undang yang dianggap masyarakat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Kata kunci: Mahkamah Konstitusi, perimbangan kekuasaan, pergeseran kekuasaan, interprestasi yuridis.

  • Ham (hak asasi manusia)

Berikut ini ada beberapa macam macam HAM menurut Piagam PBB tentang deklarasi universal of human right 1948:

1. Hak Memperoleh Kebebasan dan Kesetaraan

Setiap orang berhak untuk terbebas dari penindasan dan diskriminasi serta memiliki kesetaraan di mata hukum dan masyarakat.

2. Hak Memperoleh Semua Bentuk HAM

Setiap orang berhak mengakses dan menikmati semua hak asasi manusia tanpa pengecualian.

3. Hak untuk Hidup, Kebebasan, dan Keselamatan

Berdasarkan HAM PBB, semua orang berhak hidup secara bebas dan aman dari ancaman terhadap kehidupan dan kebebasan.

4. Hak Bebas dari Perbudakan

Semua orang punya hak untuk tidak diperbudak atau diperlakukan sebagai milik orang lain.

5. Hak Bebas dari Perlakuan Kejam dan Tidak Manusiawi

Menurut HAM PBB, setiap manusia berhak untuk tidak mengalami perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.

6. Hak atas Kesetaraan di Mata Hukum

Berdasarkan HAM PBB, setiap orang berhak diperlakukan setara di mata hukum, tanpa diskriminasi.

7. Hak Mendapat Perlindungan Hukum tanpa Diskriminasi

Merujuk pada HAM PBB, semua orang berhak mendapatkan perlindungan hukum yang sama tanpa didiskriminasi.

  • Isi Perubahan Revisi UU ITE Terbaru

Tim Panitia Kerja (Panja) DPR untuk RUU ITE memutuskan beberapa perubahan dan tambahan pasal dalam UU ITE baru. Dikutip dari rilis Kominfo, UU ITE terbaru memuat perubahan pada 14 pasal eksisting dan penambahan 5 pasal.

"Beberapa poin pokok yang dihasilkan, yaitu perubahan norma meliputi alat bukti elektronik, sertifikasi elektronik, transaksi elektronik, segel elektronik dan autentikasi situs web serta identitas digital," jelas Budi Arie.

Salah satu perubahan yang ditetapkan dalam UU ITE baru adalah Pasal 27. Pasal ini kerap disebut sebagai 'pasal karet' lantaran dapat menjerat siapa saja karena tidak memiliki tolak ukur yang jelas.

Selain itu, ada juga tambahan pasal soal perlindungan anak dan perubahan pasal soal ancaman kekerasan via platform elektronik. Berikut ini daftar perubahan dan tambahan UU ITE terbaru:

1. Pasal 13 tentang sertifikasi elektronik asing

Pasal 13 mengalami perubahan dalam UU ITE terbaru yang disahkan. Perubahan di pasal ini menghilangkan klausul penyelenggara sertifikasi elektronik asing.

2. Pasal 16A dan 16B tentang perlindungan anak

UU ITE yang baru juga menambahkan satu pasal tentang perlindungan anak dalam mengakses layanan elektronik. Perlindungan tersebut tertuang dalam pasal 16A dan 16B. Kedua pasal mengatur soal batasan usia minimum anak dan mekanisme verifikasi pengguna anak.

3. Pasal 27 tentang penghinaan dan pencemaran nama baik

Pasal 27 UU ITE yang disebut sebagai pasal karet juga diubah substansinya. Perubahan ini berupa penghapusan muatan penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, dan pengancaman.

Pasal tersebut juga ditambahkan dua ayat, yaitu Pasal 27 A dan 27 B. Pasal 27 A mengatur soal fitnah dan tuduhan bohong yang dilakukan secara sengaja untuk menyerang orang lain. Sementara itu Pasal B mengatur soal pemaksaan dengan ancaman.

4. Pasal 28 tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA

Pasal 28 UU ITE yang baru ditambahkan satu ayat, yaitu ayat 3. Ayat 3 Pasal 28 UU ITE mengatur soal larangan menyebarkan informasi bohong secara elektronik yang menimbulkan kerusuhan.

5. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan

Pasal 29 UU ITE awalnya memuat larangan soal ancaman kekerasan yang dikirimkan secara pribadi. Namun, dikutip dari RRI, pada UU ITE yang baru, frasa pribadi dihilangkan.

6. Pasal 30 tentang akses ilegal

Pasal 30 dalam UU ITE sebelumnya memuat aturan soal akses ilegal. Namun, dalam UU ITE yang baru aturan tentang akses ilegal itu dihapus.

7. Pasal 36 tentang pemberatan hukuman pelaku

Pasal 36 UU ITE sebelumnya mengatur bahwa pelaku pelanggaran UU ITE bisa dikenai hukuman yang lebih berat karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain. Merujuk UU ITE yang baru pasal tersebut ditiadakan.

8. Pasal 40A tentang intervensi pemerintah ke sistem elektronik

Perubahan UU ITE yang baru juga menambahkan pasal tambahan, yaitu pasal 40A. Tambahan pasal ini untuk mengatur intervensi pemerintah ke sistem elektronik agar bisa menciptakan ekosistem digital yang aman, adil, akuntabel, dan inovatif.

9. Pasal 43 tentang penutupan akun medsos oleh penyidik

Pasal 43 UU ITE terbaru diubah agar penyidik bisa melakukan intervensi berupa penutupan akun media sosial (medsos) pihak yang disidik. Selain akun medsos, intervensi juga berlaku untuk rekening bank, uang elektronik, dan aset digital.

10. Pasal 45 tentang pidana pelaku kesusilaan dan pencemaran nama baik

Pasal 45 UU ITE sebelumnya mengatur tentang hukuman pidana bagi pelaku kesusilaan dan pencemaran nama baik. Pasal ini mendapat perubahan bahwa pelaku bisa tidak dikenai pidana apabila memenuhi syarat tertentu, termasuk saat membela diri atau untuk kepentingan umum.

  • Pengertian Otonomi Daerah

Evy Pajriani dalam Hubungan Struktural dan Fungsional Pemerintahan Pusat dan Daerah PPKn Kelas X (2020:10) menyebutkan, kata otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autonomia atau autonomos dengan auto yang berarti "sendiri". Sementara nomos berarti "aturan atau undang-undang".

Jadi, autonomia diartikan sebagai hak untuk mengatur dan memerintah sendiri atas inisiatif sendiri dan kemampuan sendiri.

Sedangkan menurut C.J. Franseen, otonomi daerah sebagai hak untuk mengatur urusan-urusan daerah dan menyesuaikan dengan peraturan yang sudah dibuat dengannya.

Tujuan Otonomi Daerah

Adapun tujuan dari otonomi daerah adalah:

  • Pendidikan politik.
  • Menciptakan stabilitas politik.
  • Mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah.
  • Membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal.
  • Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan masyarakatnya.
  • Pemerintah daerah akan lebih banyak mengetahui berbagai masalah yang dihadapi masyarakatnya.
  • Prinsip Otonomi Daerah
  • Kebijakan otonomi daerah muncul selepas era reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Hal ini kemudian mendorong dilaksanakanya Sidang Istimewa MPR yang berimbas kepada penetapan TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah.
  • Selain itu, TAP MPR tersebut juga mencakup beberapa hal lain seperti pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI.
  • Kemudian, pelaksanaan otonomi daerah semakin sempurna ketika pemerintah dan DPR RI sepakat mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

 

 

  • Pemilu dan demokratisasi

Para peneliti telah meyakini bahwa pemilu secara berkala dapat menopang demokratisasi. Sebab, perhelatan pemilu turut mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, keterbukaan, dan persamaan. Adanya pemilu juga telah menyadarkan masyarakat terhadap hak-hak politiknya.

Namun, sebagian ahli justru memandang pesimis relasi pemilu dan demokratisasi. Mereka berargumen pemilu bukan menjadi pembuka keran demokratisasi, tetapi malah menjadi instrumen rezim untuk memperkuat kekuasaannya melalui mobilisasi perangkat negara guna memenuhi kepentingan elektoralnya.

Fenomena dinasti politik yang sedang hangat menjadi perbincangan publik belakangan ini merupakan contoh bagaimana rezim penguasa menggunakan prosedur pemilu untuk melanggengkan kekuasaannya.

Di negara demokrasi mapan sekalipun, seperti Amerika Serikat (AS), pemilu bahkan memfasilitasi munculnya politikus-politikus populis dan menciptakan polarisasi pemilih dengan sentimen partisan ekstrem. Dialog konstruktif untuk mengatasi persoalan negara bersama-sama pun kerap menemui jalan buntu karena masyarakat lebih mementingkan afiliasi ideologi politiknya. Konsekuensinya, kualitas demokrasi mengalami kemunduran.

Ini semua bisa terjadi karena pemilu sebagai pendorong demokratisasi tentunya tidak berdiri sendiri. Terdapat variabel-variabel lain untuk menyokongnya, termasuk soliditas oposisi, koherensi masyarakat sipil, media massa yang kritis dan independen, budaya masyarakat egaliter, serta peran aktif kaum intelektual dalam mengoreksi kebijakan.

Kombinasi komponen-komponen tersebut tentunya menjadi kekuatan pendorong demokratisasi sekaligus penguatan demokrasi.

Demokrasi elektoral Indonesia

Transformasi sistem politik Indonesia ke sistem demokrasi telah membuka ruang partisipasi yang lebih luas dan kompetitif. Pada level akar rumput, masyarakat jadi memiliki banyak pilihan calon pemimpin. Mereka juga bisa lebih aktif menuntut kepedulian dan tanggung jawab politikus yang terpilih dalam pemilu.

Dengan kata lain, sistem demokrasi yang salah satunya diwujudkan dalam pemilu berkala sebenarnya dimaksudkan untuk membuat masyarakat lebih berdaulat dalam menentukan figur yang mereka anggap kompeten untuk memperbaiki situasi nasional.

Pada tataran elit, sistem demokrasi juga membuka peluang hadirnya elit-elit politik baru di berbagai level kekuasaan. Distribusi kekuasaan tersebar ke spektrum yang lebih luas, tidak hanya terpusat pada satu orang sebagai patron utamanya.

Sayangnya, demokrasi elektoral Indonesia juga menghasilkan kondisi paradoks. Pemilu yang membawa semangat kompetisi, keterbukaan, kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas belum sepenuhnya berdampak pada tata kelola pemerintahan berbasis meritokrasi (berdasarkan prestasi dan kompetensi).

Praktik politik kekerabatan yang kemudian membentuk dinasti justru tumbuh dengan subur. Politik uang sebagai benih korupsi juga menjadi intens dalam setiap perhelatan pemilu.

Hal yang lebih disayangkan, partai politik yang seharusnya menjadi institusi penggerak demokrasi kini justru turut berkontribusi pada anomali tersebut. Partai terjebak dalam budaya politik feodalisme, termasuk dalam dinasti politik, sehingga gagal menumbuhkan semangat egalitarian dalam tata kelola organisasinya.

  • Pemilih sebagai penentu masa depan demokrasi

Terlepas dari segala kekurangannya, demokrasi Indonesia tentunya masih lebih baik dibandingkan negara-negara demokrasi baru yang mengalami pembalikan ke rezim otoriter. Konsolidasi demokrasi merupakan proses panjang. Memperkuat kesepakatan bersama terkait demokrasi sebagai aturan main politik kita menjadi hal mendesak.

Mengingat demokrasi menempatkan rakyat sebagai kerangka utama konseptualnya, kesadaran pemilih menjadi titik awal untuk mendorong penguatan demokrasi kita.

Mengharapkan elit politik tentunya lebih sulit karena persilangan kepentingan di antara mereka telah berakibat pada stagnasi dan penurunan kualitas demokrasi.

Sementara itu, partai politik memang memiliki posisi krusial dalam demokrasi Indonesia. Namun tanpa dukungan pemilih, jalan parpol menuju kekuasaan juga akan menghadapi hambatan serius berupa rendahnya legitimasi.

Pemilu 2024 menghadirkan komposisi pemilih muda yang jauh lebih besar dibandingkan pemilih usia tua.

Pergeseran generasi pemilih ini akan berdampak pada perubahan pola perilaku pemilih. Pemilih muda tentunya lebih rasional dalam memutuskan pilihan politik mengingat mereka menikmati pendidikan lebih tinggi, kecakapan memanfaatkan teknologi, akses informasi lebih beragam, serta berpartisipasi dalam perdebatan publik seputar wacana politik dan kebijakan di media sosial.

Namun, publik harus tetap menjadi pemilih rasional, yang menempatkan tawaran program kebijakan maupun rekam jejak kandidat sebagai pertimbangan utamanya. Pemilih perlu aktif menagih rencana aksi gagasan kebijakan kandidat sekaligus menilai apakah programnya logis dan realistis atau hanya retorika populis.

Kehadiran pemilih kritis merupakan indikator penting untuk peningkatan kualitas demokrasi. Pemilih menjadi filter agar kandidat terpilih merupakan figur dengan kapasitas terbaik dan integritas tinggi.

Singkatnya, pemilih memiliki kuasa dalam menentukan konfigurasi kekuatan politik melalui pemilu.

Nah berikut ini adalah sebuah ringkasan yang simple sesimple nya agar mudah di pahami baik mari kita pahami Bersama

1. Pergeseran Kekuasaan

Pergeseran kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjadi topik hangat. Dalam beberapa kasus, ada kekhawatiran bahwa kekuasaan eksekutif semakin dominan, yang dapat mengancam prinsip checks and balances. Misalnya, tindakan eksekutif yang tidak terkontrol bisa menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan. Di media sosial, banyak yang mempertanyakan apakah lembaga-lembaga negara lainnya masih memiliki independensi atau tidak.

2. Hak Asasi Manusia (HAM)

Pelanggaran HAM seringkali menjadi sorotan, terutama terkait kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan hak berkumpul. Beberapa tindakan pemerintah yang dianggap represif terhadap demonstrasi atau kritik di media sosial menimbulkan protes dari aktivis dan masyarakat. Diskusi mengenai perlunya perlindungan lebih terhadap HAM dalam konstitusi juga mengemuka, dengan penekanan pada pentingnya akuntabilitas negara terhadap pelanggaran yang terjadi.

3. Revisi Undang-Undang

Proses revisi undang-undang, seperti RUU Omnibus Law, menciptakan kontroversi karena dianggap mengabaikan partisipasi publik. Banyak yang merasa bahwa proses legislasi yang cepat tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan. Isu-isu yang diangkat sering berkaitan dengan dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan yang diusulkan, serta bagaimana hal ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip konstitusi yang lebih luas.

4. Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Desentralisasi adalah prinsip penting dalam konstitusi, namun pelaksanaannya sering kali tidak sesuai harapan. Banyak daerah mengeluh tentang kurangnya dana dan dukungan dari pemerintah pusat untuk melaksanakan otonomi secara efektif. Diskusi di media sosial seringkali berkisar pada bagaimana otonomi daerah dapat diperkuat agar lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat lokal.

5. Pemilu dan Sistem Demokrasi

Isu mengenai keadilan pemilu dan sistem pemilihan umum juga sering menjadi sorotan. Ada kekhawatiran tentang kecurangan pemilu, manipulasi suara, dan representasi politik yang tidak adil. Banyak yang mengadvokasi untuk reformasi dalam sistem pemilu, seperti penguatan pengawasan independen dan transparansi dalam proses pemilu untuk memastikan bahwa prinsip demokrasi konstitusi terjaga.

Kesimpulan

Isu-isu konstitusi ini mencerminkan dinamika masyarakat yang terus berkembang dan tantangan yang dihadapi dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi. Media sosial menjadi platform penting bagi masyarakat untuk mengungkapkan pandangan, menyebarkan informasi, dan mengorganisir gerakan untuk perubahan. Memahami berbagai perspektif ini sangat penting untuk menciptakan dialog konstruktif dan solusi yang berkelanjutan.

dan hanya ini saja yang bisa saya jelaskan semoga bermanfaat buat kalian semua selamat membaca teman teman jika ada salah kata atau semacamnya tolong di maafkan karna saya masih dalam tahap pembelajaran sekian dari saya terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun