Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjanjian Keramat

9 Mei 2021   22:23 Diperbarui: 9 Mei 2021   22:24 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku sudah bosan menjadi orang melarat yang setiap hari mendapat cibiran masyarakat. Aku pun bertekad menjadi orang sukses. Akan kubuktikan pada masyarakat bahwa aku yang orang desa, anak buruh tani pun dapat sukses dengan harta melimpah.

Akhirnya kuputuskan hijrah ke kota lain untuk mengadu nasib. Ternyata  hidup di kota tersebut tidak semudah yang kubayangkan. Lagi pula aku tidak memiliki saudara yang dapat kujadikan tempat curhat dan mengadu.

Nasib. Namun apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Aku pun harus mempertahankan tekadku kuat-kuat. Dengan segenap semangat dan tekad yang kini makin membara, aku berjuang keras di kota yang tidak pernah ramah itu.

Waktu  pun terus berjalan tanpa kompromi. Dua tahun aku mengadu nasib, tetapi belum memperlihatkan hasil yang dapat dibanggakan. Aku mulai goyah dengan keyakinanku sendiri. Saat aku termenung sendiri, seorang lelaki berkumis tebal mendekatiku.

"Mas, kulihat kau tampak kebingungan. Apa yang kau pikirkan?" tanya seorang lelaki setengah tua, dengan wajah berwibawa. Lelaki yang belum pernah kukenal itu seakan menghipnotisku. Segala kata-katanya seakan menjadi obat yang manjur bagi hidupku.

"Gimana, kau setuju tidak dengan penawaranku?"

Aku hanya mengangguk bagai kerbau dicocok hidungnya.

Waktu yang ditentukan pun disepakati. Lelaki yang kini kukenal namanya Mbah Yasa itu mengajakku ke suatu tempat yang belum pernah kukunjungi.

Suasana magis sangat terasa di tempat itu. Tekadku sudah bulat untuk menjadi orang yang cukup terpandang, kaya secara materi dan hidup nyaman. Jika nanti kembali ke desa orang tidak akan lagi menganggapku remeh sebagai anak buruh tani.

Pulang dari tempat yang ditunjukkan Mbah Yasa itu, hatiku makin mantap, karena sebentar lagi aku akan menjadi orang kaya. Tidak perlu bersusah payah mencari uang, cukup terlihat bekerja saja, pundi-pundi  uang akan segera mengalir.

Benar saja, sekitar sebulan kemudian, aku seakan merasa tidak percaya. Uang begitu mudah kudapatkan. Perlahan aku mulai mengubah penampilan. Tempat tinggalku pun sekarang sudah di wilayah perumahan  yang cukup elit. Susan, perempuan yang aku kenal beberapa waktu lalu, kini mau menjadi istriku. Mulanya Susan begitu merasa jijik denganku, tetapi sekarang, karena kekayaanku sudah melimpah, tanpa banyak menemui kesulitan, Susan sudah  di pelukanku.

Susan yang penampilannya cukup aduhai memang sangat menarik bagiku. Wajah cantik, kulit putih  mulus, tinggi semampai, dan body aduhai pasti menjadi incaran semua lelaki.

"Mas, ngantor pukul berapa?" tanya Susan sambil membetulkan letak kerah bajuku.

"Biasalah, sebelum pukul delapan. Memang ada apa, mau dibelikan apa? Nanti pulang kerja aku carikan."

"Nggak, Mas. Aku mau arisan dengan teman-teman nanti siang. Mungkin agak sore pulangnya."

"Oh begitu, ya hati-hati, saja. Uangnya masih cukup?"

"Nanti jika kurang saya telpon saja, Mas."

Susan menggelayut di pundakku dengan manja.

***

Siang yang cukup panas. Tiba-tiba aku teringat Susan, untuk segera memberikan pesan singkat  padanya lewat aplikasi WhatsApp.

[Sayang, aku harus keluar kota beberapa hari, ada urusan kantor. Jaga diri baik-baik ya.]

Susan pun membaca dan menjawab pesanku.

[Ok, sayang, hati-hati juga, ya.]

Sore hari, menjelang magrib, sesosok bayangan muncul. Bayangan itu mirip sekali dengan penampilanku, membawa tas seakan pulang kerja.

Wajah Susan pun tampak sedikit berubah,  mungkin sedikit kaget dengan kehadiran sosok yang sangat mirip denganku.

"Lo, Mas, katanya keluar kota beberapa hari. Kok sekarang sudah di rumah?"

Lelaki gadungan  itu hanya tersenyum. Pandangan lelaki itu terlihat nakal.  Lalu menggandeng lengan istriku dan mengajaknya duduk di ruang depan.

"Aku tolak, ajakan atasanku. Mana mungkin aku tega meninggalkanmu yang cantik sendirian di rumah. Takut kena godaan laki-laki lain," ucap lelaki itu.

Lelaki itu pun memeluk Susan__istriku dengan nafsu. Lelaki gadungan itu memberikan isyarat  dan mengajak Susan ke kamar.

Susan_istriku pun seakan tidak lagi menaruh curiga pada lelaki gadungan  yang sangat mirip sekali  denganku.

Tiga hari pun berlalu. Aku kembali tanpa memberi kabar  sebelumnya kepada  Susan_ istriku,   agar menjadi kejutan saja.

Sampai di depan rumah,  Susan kupanggil.  Tiga hari tidak bertemu dengan istri tercinta, rasa kangen pun makin menumpuk.  Susan keluar rumah, tetapi wajahnya tampak keheranan. Di belakangnya tampak lelaki gadungan yang mirip sekali denganku sedang menggandeng lengan istriku dengan manja.

"Lo, kok...." tanya Susan yang  tidak  makin terlihat resah.

Kalimat Susan tidak dilanjutkan. Dari wajah Susan,  tampak kebingungan.

Lelaki gadungan itu pun tampak marah melihat kedatanganku di rumah.

"Hai manusia serakah! Mana janjimu, katanya jika kau sudah kaya, istrimu akan menjadi milikku. Mana janjimu? Janjimu tidak pernah kau tepati. Sekarang istrimu sudah menjadi milikku. Pergi kau, manusia tidak tahu diri, atau siap dengan nyawamu!"

Bersamaan dengan kemarahan lelaki gadungan itu, pintu rumah pun ditutup dengan keras.

Susan ditarik ke dalam rumah meski  dalam kondisi yang masih kebingungan.

Kini, aku tinggal sendiri dan menyesali diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun