Belum sampai tangga terakhir dirinya sudah terguling, dan nyawanya tidak tertolong. Spontan kejadian itu membuat seluruh kampus tegang dan histeris. Berita kematian Fadli pun pun masuk dalam berita koran daerah.
Aku menyimak cerita Fadli dengan saksama. Tidak terasa, bulir bening pun mengalir di pipiku.
"Win, aku tidak pernah mau bercerita pada siapa pun. Hanya kepadamulah aku beranikan diri. Kamu tahu, mengapa? Karena aku telah jatuh cinta sejak pertama kali melihatmu. Kamu adalah Aryatiku, yang kini telah menikah dengan Hans. Wajahmu mirip sekali dengan Aryati, Win. Aku pun yakin hatimu pasti semanis senyummu."
"Fadli ... tapi kita beda dunia, 'kan? Sadar nggak kamu? Nggak mungkinlah aku mencintaimu."
Tidak terasa tangisku pun makin sulit ditahan. Entah tangis bahagia atau sebaliknya.
"Aku yakin, kamu pun merasakan hal yang sama. Jangan bohongi dirimu. Sekarang terserah padamu, Â yang penting aku sudah menyampaikan isi hatiku."
"Jangan Fad, jangan teruskan perasaanmu. Cobalah berpikir rasional," kataku masih sesenggukan.
Tak kuasa menahan luapan rasa yang terasa aneh. Secepat kilat aku berlari menjauh dari Fadli, meski tanganku ditahannya.
Maafkan aku, Fad, jika harus membohongi perasaanku sendiri.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H