"Nah, gini kan, lebih enak, saling kenal, jadi nggak sungkan lagi untuk menyapa. Boleh ya kita temanan. Aku kesepian, nggak punya teman. Mahasiswa lain kulihat lalu-lalang, tapi nggak paham diriku."
"Hm ... ya jelas mereka nggak ngerti karena nggak paham duniamu," kataku sambil tersenyum.
"Win, boleh ya aku ikut jam kuliahmu. Sekalian bisa menatap wajah manismu," rayunya mulai dilancarkan.
Mataku terbelalak mendengar permintaannya. Aneh. Meski terlihat biasa, tapi lama-kelamaan pasti akan mengganggu aktivitasku di kampus ini.
"Duh, boleh nggak, ya? Nggak usahlah, nanti dikira aku orang gila, sering ngomong sendiri gara-gara kamu nggak terlihat," kilahku untuk menolaknya dengan halus.
Wajah lelaki itu tampak murung, mungkin ada sedikit rasa kecewa gara-gara kalimatku.
"Kok murung? Marah, ya?" pancingku pada Fadli.
Fadli hanya diam membisu. Serasa ada sesuatu yang ingin diungkapkan, tapi ditahan kuat. Ditatapnya langit-langit ruang yang bercat putih untuk  mengalihkan rasa kecewanya.
Kami pun lama sama-sama terdiam dalam angan masing-masing.
"Ya udah jika keberatan, aku tunggu di bawah pohon flamboyan saja, ya."
Aku pun mengangguk perlahan. Ada rasa iba di hatiku saat mendengar permintaannya.