Sebagai mahasiswa baru, tentu belum semua sudut kampus kupahami, meskipun sudah ada kegiatan OSPEK. Di kampus ini, tidak banyak mahasiswa yang kukenal. Memang ada beberapa teman SMA-ku dulu yang juga belajar di sini, tetapi beda fakultas. Jadi  kecil kemungkinan  dapat bertemu. Jika ada peluang pun, mungkin saat di perpustakaan saja.
Benar-benar aku merasa sendiri, teman juga belum banyak yang kukenal. Awal menjadi mahasiswa baru terasa menyiksaku. Namun, karena fakultas ini menjadi pilihan, meski merasa sebagai orang asing, semua kuanggap sebagai latihan kemandirian.
Aku Wina, perempuan berusia sembilan belas tahun yang jarang berpisah dari orang tua. Namun, karena kampusku cukup jauh dari rumah, maka kuputuskan untuk indekos. Ya, hitung-hitung sebagai latihan kemandirian saat jauh dari rumah. Siapa tahu, nanti aku dapat melanjutkan kuliah di luar negeri, homesick pun akan lebih mudah diatasi.
Sejak satu minggu terakhir, kurasakan aura aneh setiap kali melintasi tangga lantai dua tempat kelasku untuk kuliah. Rasa penasaran pun selalu mengusik. Entah, teman-temanku apakah merasakan juga aura aneh ini.
Sejak SD aku memiliki kemampuan yang jarang dimiliki orang lain. Mulanya tidak kuketahui, bahkan kedua orang tuaku juga tidak memahami. Namun, beberapa kali saat diajak keluar rumah, banyak kejadian yang menunjukkan bahwa diriku tampak berbeda.
Kadang aku pun merasa aneh dan kesal terhadap kondisi seperti ini. Ingin menghilangkan atau menutup, tetapi kemampuan itu masih tetap menempel di tubuhku. Kemampuan indigo ini, kata ibuku menurun dari nenekku.
Setiap kali menapaki tangga menuju lantai dua, seakan ada suara laki-laki yang memanggilku. Aku berhenti sejenak dan membiarkan orang lain lewat, hingga tinggal diriku di tangga tersebut. Kucoba menoleh ke belakang, tapi tidak ada siapa pun. Rasa penasaran pun kembali mengusik untuk menyelidiki suara lelaki itu.
Kelasku pagi ini dimulai tepat pukul 08.00. Sebelum mata kuliah dimulai, sengaja kuamati tangga misterius itu. Kali ini kembali suara seorang lelaki memanggilku.
 "Win ... Wina, sini dong, kita ngobrol sebentar."
Kok tahu namaku? batinku kebingungan.
Dengan kemampuanku, di bawah tangga, terlihat bayangan seorang lelaki berpostur tinggi, rambut ikal, hidung mancung, kulit putih, dengan pakaian casual, Â dan menenteng tas punggung. Dia mengisyaratkan dengan tangan mengajakku duduk santai di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga.
Aku mengacuhkannya karena belum kenal. Lagi pula aku sebagai seorang perempuan juga harus pintar menjaga diri. Namun, lelaki misterius itu tetap kukuh mengajakku ngobrol. Kujawab singkat ajakannya karena saat ini waktunya kurang tepat.
"Ntar, aku kuliah dulu, nanti jika ada waktu luang, aku sempatkan, ya."
Lelaki itu kutinggalkan dengan cepat, sampai terengah-engah napas ini menaiki tangga lantai dua.
Konsentrasiku kuliah pagi itu menjadi buyar karena bayangan lelaki berhidung mancung. Saat jam kuliah usai, kakiku terasa berat melangkah. Kembali suara dan bayangan lelaki itu hadir di pikiranku.
Tiba-tiba lelaki itu sudah duduk tepat di sampingku. Dia menduduki kursi yang tadi digunakan Harsya teman satu indekos. Kebetulan dia pulang lebih awal karena badan kurang sehat.
      Saat ini, dosen dan teman-teman lain sudah meninggalkan ruangan. Tinggallah aku dan lelaki misterius itu.
Mataku tidak ingin menatapnya, tapi dia dengan cepat memegang lenganku yang pura-pura membereskan beberapa buku referensi dan catatan kuliah.
"Heh, kenapa nggak mau jawab, sih? Kenalan, ya? Namaku Fadli, mahasiswa sini juga, semester empat, dua tahun yang lalu," kata lelaki misterius itu sambil mengulurkan tangan mengajakku berkenalan.
Aku merasa tersudut, tidak kuasa menolak uluran tangannya.
Tangan yang cukup dingin kurasakan. Wajahnya juga sedikit pucat, tapi senyumnya selalu mengembang.
"Wina," kataku lirih.
"Nah, gini kan, lebih enak, saling kenal, jadi nggak sungkan lagi untuk menyapa. Boleh ya kita temanan. Aku kesepian, nggak punya teman. Mahasiswa lain kulihat lalu-lalang, tapi nggak paham diriku."
"Hm ... ya jelas mereka nggak ngerti karena nggak paham duniamu," kataku sambil tersenyum.
"Win, boleh ya aku ikut jam kuliahmu. Sekalian bisa menatap wajah manismu," rayunya mulai dilancarkan.
Mataku terbelalak mendengar permintaannya. Aneh. Meski terlihat biasa, tapi lama-kelamaan pasti akan mengganggu aktivitasku di kampus ini.
"Duh, boleh nggak, ya? Nggak usahlah, nanti dikira aku orang gila, sering ngomong sendiri gara-gara kamu nggak terlihat," kilahku untuk menolaknya dengan halus.
Wajah lelaki itu tampak murung, mungkin ada sedikit rasa kecewa gara-gara kalimatku.
"Kok murung? Marah, ya?" pancingku pada Fadli.
Fadli hanya diam membisu. Serasa ada sesuatu yang ingin diungkapkan, tapi ditahan kuat. Ditatapnya langit-langit ruang yang bercat putih untuk  mengalihkan rasa kecewanya.
Kami pun lama sama-sama terdiam dalam angan masing-masing.
"Ya udah jika keberatan, aku tunggu di bawah pohon flamboyan saja, ya."
Aku pun mengangguk perlahan. Ada rasa iba di hatiku saat mendengar permintaannya.
Entah mengapa sejak mengenal Fadli, aku lebih semangat mengikuti setiap jam kuliah. Tidak peduli hujan atau panas, di bangku dekat pohon flamboyan pun menjadi tempat favoritku bertemu dengannya.
Kampus bagiku kini seolah menjadi tempat bermain yang menyenangkan. Nilai ujianku pun tidak mengecewakan.
Ah, kok tiba-tiba aku merasa bahagia jika di sampingnya?
Seperti biasa, Fadli telah menungguku di bawah pohon flamboyan seperti janjinya setiap hari. Bangku panjang di dekat pohon selalu menjadi saksi bisu percakapanku dengannya. Namun kali ini, wajahnya terlihat sedikit murung. Tidak tega aku melihatnya, aku pun tak sabar menyapa.
"Tumben  tiba-tiba ada mendung. Apakah titik air akan segera menyapa?"
Fadli seakan menarik napas panjang, seolah memendam perasaan berat yang ingin segera dimuntahkan.
"Boleh aku bercerita?" tanya Fadli mengawali percakapanku setelah jam kuliah usai. Dia membiarkanku menyimak ceritanya sambil menikmati kue yang tadi sempat kubawa dari indekos.
"Silakan, aku siap mendengarkan, kok."
Fadli pun dengan sangat lancar menceritakan kondisi fisiknya yang sedikit lemah. Sejak kecil sudah terkena asma. Pengobatan rutin pun selalu dilakukan tidak pernah absen. Memasuki masa kuliah, karena terlalu lelah menyelesaikan tugas, kondisi fisiknya pun menurun.
Fadli tidak pernah menganggap serius kelelahan raganya. Hingga saat jam kuliah mulai padat dan tugas menumpuk, dia pun menuju ruang kuliah dengan sedikit sempoyongan dan sulit bernapas.
Sekuat tenaga ditahannya agar tidak jatuh, sampai jam kuliah berakhir. Â Malang sekali, keseimbangannya mulai goyah, sesak napas, dan udara yang dingin saat itu menyebabkan Fadli melewati tangga dengan susah payah.
Belum sampai tangga terakhir dirinya sudah terguling, dan nyawanya tidak tertolong. Spontan kejadian itu membuat seluruh kampus tegang dan histeris. Berita kematian Fadli pun pun masuk dalam berita koran daerah.
Aku menyimak cerita Fadli dengan saksama. Tidak terasa, bulir bening pun mengalir di pipiku.
"Win, aku tidak pernah mau bercerita pada siapa pun. Hanya kepadamulah aku beranikan diri. Kamu tahu, mengapa? Karena aku telah jatuh cinta sejak pertama kali melihatmu. Kamu adalah Aryatiku, yang kini telah menikah dengan Hans. Wajahmu mirip sekali dengan Aryati, Win. Aku pun yakin hatimu pasti semanis senyummu."
"Fadli ... tapi kita beda dunia, 'kan? Sadar nggak kamu? Nggak mungkinlah aku mencintaimu."
Tidak terasa tangisku pun makin sulit ditahan. Entah tangis bahagia atau sebaliknya.
"Aku yakin, kamu pun merasakan hal yang sama. Jangan bohongi dirimu. Sekarang terserah padamu, Â yang penting aku sudah menyampaikan isi hatiku."
"Jangan Fad, jangan teruskan perasaanmu. Cobalah berpikir rasional," kataku masih sesenggukan.
Tak kuasa menahan luapan rasa yang terasa aneh. Secepat kilat aku berlari menjauh dari Fadli, meski tanganku ditahannya.
Maafkan aku, Fad, jika harus membohongi perasaanku sendiri.
Selesai
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI