Aku belum percaya dengan informasi yang disampaikan sekumpulan ibu-ibu di tukang sayur itu. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku pun sengaja mendatangi rumah Den Tejo untuk membuktikan kebenaran cerita tersebut.
Betapa terkejutnya hatiku, ternyata apa yang disampaikan ibu-ibu tadi benar. Aku pun menangis sejadi-jadinya di depan tuan rumah. Rasa malu dan rasa-rasa lain begitu memenuhi hatiku saat itu. Den Tejo mempersilakan aku masuk dengan begitu sopan.
"Ya Allah, Mas, kok teganya kau melakukan ini semua. Aku malu sekali, Mas, pada semua orang. Mau ditaruh di mana mukaku."
Mas Ishak pun tergugu di depan tuan rumah. Den Tejo rupanya memang membiarkan pencuri merasakan hal yang di luar dugaan. Mas Ishak tidak tahu jalan pulang dan menjadi bisu saat itu juga. Entah apa maksud dari tuan rumah menghukum pencuri hingga mengalami perubahan semacam itu. Aku pun sangat syok melihat perubahan pada diri Mas Ishak.
Aku dipersilakan duduk di kursi kuno yang indah. Diajak bicara baik-baik oleh Den Tejo. Tangisku pun belum mereda, saat itu. Dari pembicaraan dengan Den Tejo, kuketahui bahwa semua barang yang ada di rumahnya tidak bisa diambil dengan sengaja tanpa seizin tuan rumah.
Mas Ishak pun tidak dapat pulih seperti semula. Suamiku menjadi bisu dan tangannya sedikit berubah menjadi sulit digerakkan. Aku memohon maaf pada Den Tejo atas kesalahan suamiku. Namun, nasi telah menjadi bubur.
Perbuatan suamiku dan temannya memang sudah dimaafkan oleh Den Tejo. Namun, kondisi Mas Ishak tetap tidak dapat pulih seperti sedia kala. Kini, suamiku menjadi laki-laki bisu dan tangannya agak cacat. Kang Amar yang mengajak mencuri juga sama kondisinya, bahkan lebih berat. Kaki kirinya menjadi agak cacat, jika berjalan harus diseret.
-selesai-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H