"Bu, cari duit sekarang ini susahnya bukan main! Dagang juga sepi, pasar hanya banyak orang, jarang yang beli daganganku. Kamu harus sabar dan nrima, ya, Bu. Gara-gara corona, semua jadi kena imbasnya!" keluh Mas Ishak, suamiku, pagi itu sambil membereskan beberapa barang dagangannya yang agak berantakan.
Aku melihat wajah suamiku begitu mendung. Beban hidup yang makin terasa setelah corona melanda seluruh negeri, membuatnya makin terlihat lebih tua. Rambut putih tampak makin merata di seluruh kepalanya.
Aku membantu membereskan beberapa barang dagangannya yang sebentar lagi akan dibawa ke pasar.
Sebagai istri, aku harus dapat menenangkan suamiku yang selalu galau dan kurang bersyukur atas rezeki dari Allah. Sebenarnya, aku pun sudah muak mendengar semua keluhannya setiap hari. Entah masalah pasar, barang dagangan, atau kejadian-kejadian selama dia bekerja. Namun, telinga dan hatiku masih muat untuk mendengarkan semua keluh kesahnya. Mungkin dengan mendengar semua keluhan akan sedikit meringankan beban yang ada di pundaknya.
"Yang sabar, Mas. Mungkin besok Allah akan berikan rezeki yang lebih banyak. Aku juga berusaha sabar dan nrima, kok. Hm ... sebenarnya kita juga sudah diberi rezeki yang tidak terkira, lho, Mas. Hanya saja kadang terlupakan. Rezeki toh bukan hanya uang, materi, ya, 'kan, Mas? Kita sehat, tidak sakit itu kan juga rezeki yang tidak terkira, tapi sering dilupakan."
Mas Ishak menatapku tajam. Mata yang dahulu terlihat teduh, kini seakan sirna ditelan pergolakan hidup.
"Hah, sok bijak!" protes Mas Ishak seakan tidak mau mendengarkan pernyataanku sambil mengeloyor pergi.
"Jangan begitulah, Mas. Nanti jika banyak mengeluh, Allah akan mencabut nikmat yang telah diberikan, lho."
Suamiku memang tipe lelaki yang selalu tergiur omongan teman-temannya. Pergaulannya pun selalu memilih komunitas orang kaya. Jadi pantas saja jika selalu membandingkan apa yang didapatnya dengan kenikmatan pada orang lain.
Sepuluh tahun yang lalu, Mas Ishak menikahiku. Aku kenal dengannya karena dahulu indekos di rumah saat masih bujang. Kedekatanku mulai tampak setelah melihat Mas Ishak berkepribadian cukup baik, sederhana, dan bertanggung jawab. Dia berdagang barang seken dan antik di pasar. Selain itu, sering ngobyek lain, apa saja asal menjadi uang. Pernikahanku dengan Mas Ishak sudah dikaruniai seorang anak laki-laki, masih kelas tiga sekolah dasar.
Aku dan Mas Ishak menempati rumah warisan orang tuaku, dekat dengan indekosnya dahulu. Memang orang tuaku memiliki beberapa tanah yang dibangun rumah dan sengaja disewakan karena melihat peluang cukup bagus. Apalagi, harga tanah tidak pernah turun, bahkan selalu melambung.
Setiap pagi setelah salat Duha, Mas Ishak pergi ke pasar. Barang apa pun ada di lapak suamiku, meski seken. Kadang jika hari pasaran seperti Kliwon atau Wage, pasar pun ramai pengunjung. Namun, kebanyakan mereka hanya berkunjung tidak membeli barang dagangan suamiku. Pendapatan suamiku pun tidak menentu.
Dapat aku tebak jika wajahnya tampak murung, pasti pendapatannya sedikit. Sebaliknya, jika wajahnya sedikit cerah, ada tanda-tanda penghasilan lumayan. Sejauh ini pun, aku jarang menuntut pada suami.
Sore ini sepulang dari pasar, Mas Ishak mendekatiku. Rupanya dia ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting. Diajaknya aku menuju ruang tengah agar pembicaraan tidak dikuping anak.
"Serius sekali, Mas? Memang mau ngomongin apa?" tanyaku tidak sabar.
"Sst ... ini hanya kita saja yang tahu. Aku sudah jenuh dengan kondisi pasar dan keuangan kita yang saban hari tidak kunjung membaik. Aku punya usul jika kita minta pertolongan orang pintar saja, gimana menurutmu?" kata Mas Ishak berbisik di telingaku.
"Hah, apa, Mas? Gila, ya! Edan! Nggak ... nggak, Mas! Sekali-kali, jangan kau gadaikan imanmu, Mas. Aku mohon jangan lakukan itu, Mas. Ingat ada kehidupan lain setelah di dunia ini," kataku penuh dengan emosi setelah mendengar keinginan suamiku yang sangat tidak masuk akal.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Mas Ishak tidak mau menegurku, mungkin ada rasa kecewa di hatinya. Raut mukanya terlihat sinis setiap menatap wajahku. Dunia serasa gersang setelah tidak pernah disapa Mas Ishak. Kuakui, aku mungkin juga bersalah pada Mas Ishak saat memberi jawaban dengan sedikit ledakan atas usulnya.
Saat Mas Ishak duduk santai di depan TV, aku mencoba mendekatinya. Kubawa segelas kopi hitam kesukaan Mas Ishak, lalu aku taruh di meja tepat di depannya. Kikuk rasanya aku memulai percakapan sore itu, tetapi harus kulakukan untuk mencairkan suasana rumah yang tidak nyaman lagi.
"Mas, maafkan aku, ya, atas peristiwa kemarin. Aku kan hanya mengingatkanmu agar lebih berhati-hati," rayuku seraya menggenggam kedua tangannya.
Laki-laki itu hanya diam, tetapi sebentar kemudian raut mukanya mulai terlihat memerah, mungkin menahan rasa marah.
"Hm ... nggak ada yang perlu dimaafkan. Aku tuh suntuk sekali, banyak yang harus kupikirkan," kata Mas Ishak mulai meledak-ledak.
"Ya ... ya ... Mas, maafkan aku," kataku sekali lagi dan mencium kedua tangannya.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu dari arah luar. Mas Ishak pun segera meninggalkanku sendiri di ruang tengah itu.
Seorang laki-laki yang belum kukenal datang ke rumah. Mungkin dia kenalan Mas Ishak. Keduanya pun terlibat percakapan serius. Aku ke belakang dan membuatkan segelas teh hangat untuk tamu. Segera kuhidangkan dan mempersilakan tamu itu untuk menikmatinya.
Mas Ishak memberi isyarat padaku agar segera berlalu dari ruang tamu.
Sekitar setengah jam kemudian, tamu pun pulang. Setelah tamu pergi, tampak Mas Ishak mencari-cari sarung tangan kain yang biasa digunakan saat kerja bakti, dan penutup kepala seperti ninja. Dia tampak sibuk mengobrak-abrik isi lemari.
"Cari apa, sih, Mas? Bisa kubantu?"
"Nggak usah, ini urusan lelaki! Sudah kamu pergi sana, malah ganggu nanti," jawab suamiku agak ketus.
Sejak sore, hujan mengguyur desa hingga sungai penuh dengan air, bahkan membludak. Menjelang pukul sembilan malam, hujan baru reda. Suasana sangat sepi dan dingin. Rasa kantuk pun mengajakku segera memeluk bantal. Mas Ishak masih setia menunggu acara TV malam itu.
Menjelang tengah malam, aku pun terbangun. Mas Ishak tidak ada di sampingku. Aku berusaha mencarinya ke kamar mandi, barangkali sedang buang hajat. Namun, dirinya tidak kutemui juga. Hatiku mulai resah. Aku masuk ke kamar Anam, anakku, barangkali Mas Ishak ada di sana, tetapi nihil.
Seingatku, dia tidak akan bepergian malam hari. Aku terduduk di kamar depan sambil menunggunya. Mungkin sedang berada di luar untuk mencari udara segar. Resahku pun makin menjadi, setelah pagi hari Mas Ishak tidak aku jumpai juga.
Saat membeli di tukang sayur, kudengar bisik-bisik beberapa ibu yang membicarakan pencuri di rumah Den Tejo, tetangga desa. Rumah kuno dan mewah milik Den Tejo yang penuh dengan barang antik telah dimasuki pencuri. Namun, dari berita yang masih simpang siur itu, aku pun menjadi kaget karena ternyata pencuri barang antik itu salah satunya adalah Mas Ishak.
Aku belum percaya dengan informasi yang disampaikan sekumpulan ibu-ibu di tukang sayur itu. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku pun sengaja mendatangi rumah Den Tejo untuk membuktikan kebenaran cerita tersebut.
Betapa terkejutnya hatiku, ternyata apa yang disampaikan ibu-ibu tadi benar. Aku pun menangis sejadi-jadinya di depan tuan rumah. Rasa malu dan rasa-rasa lain begitu memenuhi hatiku saat itu. Den Tejo mempersilakan aku masuk dengan begitu sopan.
"Ya Allah, Mas, kok teganya kau melakukan ini semua. Aku malu sekali, Mas, pada semua orang. Mau ditaruh di mana mukaku."
Mas Ishak pun tergugu di depan tuan rumah. Den Tejo rupanya memang membiarkan pencuri merasakan hal yang di luar dugaan. Mas Ishak tidak tahu jalan pulang dan menjadi bisu saat itu juga. Entah apa maksud dari tuan rumah menghukum pencuri hingga mengalami perubahan semacam itu. Aku pun sangat syok melihat perubahan pada diri Mas Ishak.
Aku dipersilakan duduk di kursi kuno yang indah. Diajak bicara baik-baik oleh Den Tejo. Tangisku pun belum mereda, saat itu. Dari pembicaraan dengan Den Tejo, kuketahui bahwa semua barang yang ada di rumahnya tidak bisa diambil dengan sengaja tanpa seizin tuan rumah.
Mas Ishak pun tidak dapat pulih seperti semula. Suamiku menjadi bisu dan tangannya sedikit berubah menjadi sulit digerakkan. Aku memohon maaf pada Den Tejo atas kesalahan suamiku. Namun, nasi telah menjadi bubur.
Perbuatan suamiku dan temannya memang sudah dimaafkan oleh Den Tejo. Namun, kondisi Mas Ishak tetap tidak dapat pulih seperti sedia kala. Kini, suamiku menjadi laki-laki bisu dan tangannya agak cacat. Kang Amar yang mengajak mencuri juga sama kondisinya, bahkan lebih berat. Kaki kirinya menjadi agak cacat, jika berjalan harus diseret.
-selesai-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI