Setiap pagi setelah salat Duha, Mas Ishak pergi ke pasar. Barang apa pun ada di lapak suamiku, meski seken. Kadang jika hari pasaran seperti Kliwon atau Wage, pasar pun ramai pengunjung. Namun, kebanyakan mereka hanya berkunjung tidak membeli barang dagangan suamiku. Pendapatan suamiku pun tidak menentu.
Dapat aku tebak jika wajahnya tampak murung, pasti pendapatannya sedikit. Sebaliknya, jika wajahnya sedikit cerah, ada tanda-tanda penghasilan lumayan. Sejauh ini pun, aku jarang menuntut pada suami.
Sore ini sepulang dari pasar, Mas Ishak mendekatiku. Rupanya dia ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting. Diajaknya aku menuju ruang tengah agar pembicaraan tidak dikuping anak.
"Serius sekali, Mas? Memang mau ngomongin apa?" tanyaku tidak sabar.
"Sst ... ini hanya kita saja yang tahu. Aku sudah jenuh dengan kondisi pasar dan keuangan kita yang saban hari tidak kunjung membaik. Aku punya usul jika kita minta pertolongan orang pintar saja, gimana menurutmu?" kata Mas Ishak berbisik di telingaku.
"Hah, apa, Mas? Gila, ya! Edan! Nggak ... nggak, Mas! Sekali-kali, jangan kau gadaikan imanmu, Mas. Aku mohon jangan lakukan itu, Mas. Ingat ada kehidupan lain setelah di dunia ini," kataku penuh dengan emosi setelah mendengar keinginan suamiku yang sangat tidak masuk akal.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Mas Ishak tidak mau menegurku, mungkin ada rasa kecewa di hatinya. Raut mukanya terlihat sinis setiap menatap wajahku. Dunia serasa gersang setelah tidak pernah disapa Mas Ishak. Kuakui, aku mungkin juga bersalah pada Mas Ishak saat memberi jawaban dengan sedikit ledakan atas usulnya.
Saat Mas Ishak duduk santai di depan TV, aku mencoba mendekatinya. Kubawa segelas kopi hitam kesukaan Mas Ishak, lalu aku taruh di meja tepat di depannya. Kikuk rasanya aku memulai percakapan sore itu, tetapi harus kulakukan untuk mencairkan suasana rumah yang tidak nyaman lagi.
"Mas, maafkan aku, ya, atas peristiwa kemarin. Aku kan hanya mengingatkanmu agar lebih berhati-hati," rayuku seraya menggenggam kedua tangannya.
Laki-laki itu hanya diam, tetapi sebentar kemudian raut mukanya mulai terlihat memerah, mungkin menahan rasa marah.
"Hm ... nggak ada yang perlu dimaafkan. Aku tuh suntuk sekali, banyak yang harus kupikirkan," kata Mas Ishak mulai meledak-ledak.