Pada ketahanan pangan transisi, pangan kemungkinan tidak tersedia pada suatu periode waktu tertentu. Bencana alam dan kekeringan mampu menyebabkan kegagalan panen dan mempengaruhi ketersediaan pangan pada tingkat produksi. Konflik sipil juga dapat mempengaruhi akses kepada bahan pangan. Ketidakstabilan di pasar menyebabkan peningkatan harga pangan sehingga juga menyebabkan kerawanan pangan.
 Faktor lain misalnya hilangnya tenaga kerja atau produktivitas yang disebabkan oleh wabah penyakit. Musim tanam mempengaruhi stabilitas secara musiman karena bahan pangan hanya ada pada musim tertentu saja.Â
Kerawanan pangan permanen atau kronis bersifat jangka panjang dan persisten. Stabilitas pangan merupakan taraf tertinggi dari tingkatan kepemilikan atau penguasaan pangan. Urutan tingkatan yang dimaksud mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah pertama: ketahanan pangan, kedua: kemandirian pangan, dan ketiga: ketangguhan atau stabilitas pangan.
e. Ayat dan Hadits Ketahanan Pangan
Secara eksplisit ada beberapa ayat al-Qur’an yang memuat pesan tentang ketahanan pangan, di antaranya, yaitu: QS. 12 (Yusuf) Ayat 47, QS. 16 (An-Nahl) Ayat 6 dan 14, QS. 6 (Al-An’am) Ayat 141- 142, QS. 4 (An-Nisa’) Ayat 29, QS. 9 (At-Taubah) Ayat 60, QS. 2 (AlBaqarah) Ayat 267, QS. 7 (Al-A’raf) Ayat 31, dan QS. 2 (Al-Baqarah) ayat 168. Secara kontekstual, ayat-ayat tersebut mengidikasikan program peningkatan ketahanan pangan secara Qur’ani.Â
Adapun yang menjadi titik perbedaan dengan konsep ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah adalah dalam al-Qur’an memuat pesan halal sejak proses produksi hingga konsumsi, sehingga pangan yang dikonsumsi dapat bermanfaat bagi kebutuhan dan kecukupan manusia, bukan saja aspek jasmani material tetapi juga aspek rohani spiritual.
Allah Swt. mengisahkan dalam Al-Qur’an cerita Nabi Yusuf As. sebagai pelopor sekaligus konseptor dalam membuat strategi ketahanan pangan yang kuat. Pelajaran dari Nabi Yusuf ini tertuang dalam surah Yusuf ayat 46-49.Â
Pelajaran penting yang dapat dipetik dari kisah Nabi Yusuf As. dalam menghadapi krisis pangan, bermula saat sang raja bermimpi yang berkaitan dengan masa depan negaranya, lalu tidak ada satu pun para penasehat dapat menakwilkan mimpi raja tersebut. Hingga akhirnya salah seorang pelayan memberi usul agar raja mengutusnya untuk menemui orang ang pandai dalam menakwilkan mimpi, yaitu Yusuf.
Suatu hari raja Mesir, Ar-Rayyan bin Al-Walid bermimpi tentang tujuh ekor sapi betina gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina kurus-kurus, dan tujuh bulir (gandum) hijau, serta tujuh bulir yang lain kering.Â
Mimpi (ar-ru’ya) itu pun diceritakan kepada Al-Mala’ supaya ditafsirkan. Al-Mala’ justru menganggap mimpi itu adalah adgas ahlam. Mimpi tersebut telah menimbulkan beban psikis berat bagi raja Ar-Rayyan bin Al-Walid. Tindakan raja meminta pendapat atau nasehat kepada para penasehat istana juga menunjukkan beban psikis yang dialaminya berat.Â
Mimpi ini menjadi simbol realitas yang akan terjadi dengan masa depan negara yang dipimpinnya. Oleh karena mimpi ini dialami oleh seorang raja, maka mimpi ini merupakan mimpi besar dan penting. Oleh sebab itu, mimpi ini sulit ditafsirkan dan membuat raja sangat gelisah, dan raja pun meminta nasehat kepada para penasehatnya untuk mena’wilkan mimpi tersebut.Â