Hanya selemparan batu lagi. Cahaya di kejauhan itu meski samar, memupuk lagi harapanmu. Seperti secangkir teh di sore hari, semarak dan riuh balai adat yang berupa rumah panjang itu kini menenangkan sarafmu.
Hening Meratus kini berganti dengan musik dan kidung. Langit malam dan rembulan yang terlambat datang karena hujan, kini menjadi syahdu karena Balian alias para saman suku Dayak tengah Bamamang alias mengucap mantra-mantra.
Di halaman balai adat kau berjalan menuju pintu, berniat untuk masuk, sebelum akhirnya enam orang yang kau kenal bergegas melewati pintu. Mereka begitu tergesa hingga kau tidak diacuhkan, meski kalian berpapasan.
"Hei," ucapmu setengah berteriak ketika si Ferdi tak sengaja menubruk bahumu di depan pintu. Ia hanya melirikmu sekilas.
"Woi, ada apa?" tanyamu kepada kawan KKN-mu. Namun, tanyamu hanya berjawab, "cepat, cepat, ayo cepat." Dan mereka pun bergegas naik sepeda motor yang terparkir di halaman.
"Jalan sedang longsor eh!" teriakmu. Namun, semua temanmu sudah memacu kendaraannya menjauh.
Mana Kartika? Kau tersadar dari keenam orang tadi tidak terlihat Kartika. Jangan-jangan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Mendadak kau merasa cemas dan ingin mengejar teman-temanmu tadi.
Tapi kau mengurungkan niatmu, bukankah Kartika janji menunggumu di balai adat untuk menyaksikan Aruh? Dengan gontai kau melewati pintu balai adat dengan cemas, suara hentakan kaki para balian yang tengah menari mengiringi kegelisahanmu.
Lalu matamu menatap sosoknya, di antara kerumunan orang, diam menatap layar hp, remang cahaya dari pelita menaunginya. Kartika, perempuan yang ingin kau temui ada di sana.
"Hei," ucapmu sembari menyentuh tangannya yang sedang memegang hp. Ia terkejut dan hampir saja hp-nya jatuh.
Matamu masuk ke matanya. Dalam. Dalam sekali.