Yap, ini pasti gara-gara si Ferdi, ia memang agak keterlaluan, bahkan ia sudah diingatkan oleh pambakal alias kepala desa agar tidak macam-macam.
Kemudian kesadaran itu datang, atau sebenarnya ini adalah kesalahanmu? Toh ... bukankah hanya kau yang terkena teror.
Kau merinding, angin dingin dari puncak Meratus itu memagutmu, pegunungan yang berbaris memanjang dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, hingga Kalimantan Timur itu.
Barangkali ini memang salahmu, dua minggu ini kau selalu berusaha untuk selalu dekat dengan Kartika, perempuan yang diam-diam kau sukai itu. Puncaknya kemarin di air terjun Haratai, ketika kalian hanya berdua saja, dan kau ingin menyatakan perasaanmu tapi gagal, karena akhirnya ditegur warga lokal di sana untuk segera pulang.
Jangan-jangan memang ini salahmu? Jangan-jangan Kartika juga akan mendapat teror.
Setelah lelahmu memudar, setelah beristirahat sejenak, serta tak mendapati sosok yang mengikutimu. Kau bergegas menuju ke Aruh Adat, bukan hanya sekadar untuk menepati janjimu dengan Kartika, tapi memperingatkannya.
Kau berlari sekuat tenaga menaiki bukit, meski ngilu di dadamu terasa ditusuk bilah es batu.
Lalu di bawah malam berkabut sehabis hujan, serta bulan yang terlambat muncul di atas sana. Di hadapanmu berdiri sosok itu, bayangan dengan sepasang mata merah saga.
**
Awalnya adalah janji--tentu saja. Kedua adalah kau ingin memanfaatkan momen Aruh alias pesta panen Suku Dayak di Meratus itu untuk menyatakan perasaan cintamu kepada Kartika, ketiga kau harus memperingatkannya.
Kau berlari lurus, mengabaikan ngilu di dada, serta menembusi bayangan hitam bermata merah saga yang seolah siap menerkammu.
Terus, kau terus berlari, dadamu semakin terasa ditekan-tekan. Sesak. Udara yang kau hirup seolah memampat dan tak sampai ke paru-paru.