Judul: Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia)
Penulis: Dr. H. Moh. Muhibbin, S.H., M.Hum. &Â Dr. H. Abdul Wahid, S.H., M. Ag.
Penerbit: Sinar Grafika
Terbit: 2017
Cetakan : Cetakan Pertama, edisi revisi
 Buku ini membahas mengenai hukum waris yang sesuai dengan syariat islam. Mulai dari pengertian, siapa saja yang berhak menerima waris, berapa bagian masing-masingnnya dan cara menghitung waris juga dimuat dalam buku ini. Bagian paling awal buku menjelaskan tentang pengertian Hukum kewarisan atau fiqih mawaris, adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan tentang bagaimana proses pemindahan Siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.Â
Fikih mawaris kadang disebut juga dengan istilah al faraid dalam istilah mawaris dikhususkan kepada suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Menurut para ulama mempelajari ilmu faraid adalah fardhu kifayah. Tujuannya Adalah agar kita dapat menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, sampai ada yang dirugikan dan termakan bagiannya oleh ahli waris yang lain.
 Dasar dan sumber hukum kewarisan Islam yang pertama adalah ayat-ayat Alquran yaitu pada Surah Annisa ayat 7 sampai 14. Juga terdapat pada surat an-nisa ayat 176. Kedua Al Hadits, Ada beberapa hadis Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan. Contohnya hadis dari Jabir Ibnu Abdullah berkata janda sa'ad datang kepada rasul Allah bersama dua orang anak perempuannya. Yang ketiga ijtihad para ulama. Meski sudah dijelaskan pada Alquran dan hadis namun dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam Alquran maupun hadis.Â
 Asas hukum kewarisan Islam. Pertama asas ijbari yang berarti bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut Ketetapan Allah. Yang kedua asas bilateral artinya bahwa harta waris beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah atau dua belah pihak yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat harus keturunan perempuan.Â
Yang ketiga asas Individual, harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.Yang keempat Asas keadilan berimbang, antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Yang kelima asas semata akibat kematian, harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama pewaris lama yang mempunyai harta masih hidup.
Tradisi pembagian harta waris pada zaman Jahiliyah berpegang teguh pada tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Sebab-sebab mereka berhak menerima harta warisan. Pertama, Karena hubungan kerabat, antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kedua, Karena janji setia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Ketiga, Pengangkatan anak. Bila anak angkat sudah dewasa dan Bapak angkatnya meninggal maka yang mempusakai harta peninggalan bapaknya adalah anak angkatnya.
 Pembagian waris pada awal Islam menuju kesempurnaan terjadi karena Pengangkatan anak, Hijrah dari Mekah ke Madinah, Persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar untuk memperteguh dan mengabadikan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar Rasulullah menjadikan ikatan persaudaraan sebagai salah satu sebab untuk saling mempusakai.
 Hukum kewarisan di Indonesia. 1. Bagi orang Indonesia asli berlaku hukum adat. Yang terjadi di berbagai daerah terdapat berbagai sifat kekeluargaan yang dimasukkan dalam tiga golongan yaitu sifat kebapakan sifat keibuan dan sifat ke bapak ibuan. 2. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam ada pengaruh nyata dari peraturan waris dalam hukum Islam. 3. Bagi orang-orang Arab umumnya berlaku seluruh hukum Islam. 4. Bagi orang-orang Tionghoa dan Eropa berlaku hukum waris dari burgelijk werboek
 Hak-hak yang dapat dikeluarkan sebelum harta waris dibagikan kepada ahli waris. Pertama, Tajhiz biaya penyelenggaraan jenazah dari wafatnya sampai kepada penguburannya. Kedua, Melunasi hutang, hutang merupakan suatu yang harus dibayar oleh orang yang meninggal. Utang-utang itu dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hutang kepada Allah dan hutang kepada sesama manusia.
 Rukun mewarisi. 1. Harta peninggalanIyalah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit yang akan di pusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan melunasi hutang dan melaksanakan wasiat. 2. Orang yang meninggalkan harta waris. Yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris. Bagi muwaris berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggal miliknya dengan sempurna. 3. Ahli waris atau waris. Adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si muwaris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi.
 Syarat-syarat mewarisi. Syarat pertama yakni meninggalnya muwaris atau orang yang mewariskan. Kematian muaris menurut ulama dibedakan menjadi tiga. a. mati haqiq (iyalah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berwujud padanya). b. mati hukmy (berdasarkan keputusan hakim, baik seseorang itu benar-benar masih hidup maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati). c. mati taqdiry (menurut dugaan misalnya kematian bayi yang baru lahir akibat terjadi pemukulan terhadap perut ibunya). Syarat kedua yaitu hidupnya pewaris atau orang-orang yang mewarisi di saat kematian muwaris.Â
 Penggolongan ahli waris. 1. Ashabul Furudh adalah orang-orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan oleh Alquran sunnah dan ijma. 2. Ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta setelah dibagikan kepada ahli waris. 3. Dzawil Arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil furudh dan bukan pula ashabah. Mereka dianggap kerabat yang jauh pertalian nasabnya. Agar dzawil arham menerima harta peninggalan harus sudah tidak ada Ashabul furudÂ
 Dalam literatur hukum Islam ada empat Hubungan seseorang dapat menerima harta warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia yaitu Pertama karena hubungan kekerabatan atau nasab yang disebabkan oleh kelahiran. Digolongkan menjadi tiga yaitu a. furu' ialah anak turun b. ushul ialah leluhur c. hawasyi yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal dunia melalui garis menyimpang seperti Paman bibi dan anak turunnya
 Kedua, hubungan perkawinan. Dengan artian suami menjadi ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri menjadi ahli waris bagi suami yang meninggal. Dengan syarat sebagai Perkawinan itu sah menurut syariat Islam dan perkawinan masih utuh. Ketiga, Hubungan sebab al wala', yaitu karena kekerabata yang timbul karena membebaskan budak. Keempat, Hubungan sesama Islam, jika seseorang meninggal dunia tetapi tidak memiliki ahli waris maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul Mal yang akan digunakan untuk umat Islam.
 Halangan mewarisi atau hilangnya hak waris mewarisi. Pertama, Perbudakan, Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris karena dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya. Kedua, Pembunuhan, tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta pewaris yang dibunuhnya.
Ketiga, Berlainan agama, demikian juga orang murtad mempunyai kedudukan yang sama yaitu tidak mewarisi harta peninggalan keluarganya. Keempat, Berlainan negara. Adalah memiliki kepala negara sendiri, memiliki angkatan bersenjata, dan memiliki kedaulatan sendiri. Berlainan negara Ada tiga kategori yaitu berlainan menurut hukumnya, menurut hakikatnya dan menurut hakikat sekaligus hukumnya
 Hijab dan mahjub. Hijab adalah terhalangnya seseorang dari sebagian atau semua harta warisannya karena adanya ahli waris lain. Mahjub adalah ahli waris yang ditutup pusakanya karena adanya ahli waris yang lebih utama. hijab dibedakan menjadi dua macam yaitu:Â
a. hijab nuqsan yaitu bergesernya hak seseorang ahli waris dari bagian yang besar menjadi bagian yang kecil karena adanya ahli waris lain yang mempengaruhinya. Seperti ketika suami jika istrinya meninggal dunia dan memiliki anak maka hak suami dari menjadi harta warisan. Istri jika suaminya meninggal dunia dengan meninggalkan anak maka hak istri dari menjadi 1/8 harta warisan. Ibu jika suami(anaknya) meninggalkan anak atau dua saudara haknya dari 1/3 menjadi 1/6 harta warisan. Cucu perempuan jika yang meninggal dunia seorang anak perempuan haknya menjadi 1/6. Saudara perempuan jika memiliki saudara perempuan kandung bergeser haknya dari menjadi 1/6
 b. hijab hirman yaitu tertutupnya hak seorang ahli waris untuk seluruhnya karena ada ahli waris yang lebih utama, seperti saudara dari orang yang meninggal dunia tertutup haknya jika yang meninggal dunia itu meninggalkan anak atau cucu.Â
 Macam-macam furudhul muqadarah Syariat Islam menetapkan jumlah bagian-bagian yang sudah ditentukan ada 6 macam yaitu 2/3, 1/3, 1/6, , , 1/8. Selain itu masih terdapat satu hasil ijtihad para jumhur fuqaha yaitu sepertiga sisa harta peninggalan. Ahli waris yang memiliki furudhul muqaddaroh berdasarkan surah an-nisa ayat 11 12 dan 176 ialah Ahli waris yang memperoleh 2/3 ada 4 orang yaitu dua anak perempuan atau lebih, dua cucu perempuan pacar laki-laki atau lebih, dua orang saudari sekandung atau lebih, dua orang saudari seayah atau lebih.Â
 Ahli waris yang memiliki bagian 1/3 ada dua orang yaitu ibu dan anak-anak ibu (saudara Seibu atau saudara tiri bagi si mayit). Ahli waris yang mendapat bagian 1/6 ada 7 orang yaitu ayah, ibu, kakek sohih, nenek sohih, seorang saudara seibu, cucu perempuan pancar laki-laki seorang atau lebih, seorang saudari seAyah atau lebih.Â
 Ahli waris yang mendapat bagian1/2 Ada Lima orang yaitu seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan pacar laki-laki, suami, seorang saudari sekandung, seorang saudari seayah. Ahli waris yang mendapat bagian 1/4 ada dua orang yaitu suami dan istri. Ahli waris yang mendapat bagian 1/8 ada satu orang yaitu istri. Adapun bagian 1/3 ada dua orang yaitu ibu dan saudara Seibu (saudara tiri) lebih dari seorang.
 Sebelum perhitungan waris dimulai harus diperhatikan isbatul furudnya ketentuan bagian masing-masing ahli waris yaitu sebagai berikut: 1. Menentukan siapa yang berhak menerima dari ahli waris yang ada. Untuk itu harus dilihat Siapa saja yang tidak tertutup atau terhalang. 2. Menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris dan siapa-siapa yang akan menjadi ashabah. Dengan demikian sebelum ditetapkan bagian harta warisan masing-masing terlebih dahulu harus diperiksa di antara mereka Siapa yang mahjub dan siapa yang menjadi ashobah
 Asal masalah dan cara menghitungnya. Untuk menghitung dan menetapkan penerima ahli waris dapat ditempuh dengan cara sistem asal masalah setelah diketahui bagian masing-masing ahli waris. Asal masalah adalah kelipatan persekutuan bilangan yang terkecil yang dapat dibagi oleh setiap penyebut bagian (fardh) para ahli waris. Asal masalah KPK atau KPT di dalam fawid hanya ada 7 macam yaitu Masalah 2, Masalah 3, Masalah 4, Masalah 6, Masalah 8, Masalah 12, Masalah 24.
 Apabila angka-angka penyebut bagian para ahli waris sama besarnya dinamakan tamatsul. Apabila angka penyebut bagian ahli waris tidak sama tetapi bisa dibagi bilangan penyebut terkecil, angka-angka penyebut tersebut dinamakan tadahul. Apabila angka penyebut bagian ahli waris tidak sama dan tidak bisa dibagi penyebut terkecil tetapi masing-masing masih bisa dibagi oleh angka yang sama maka dinamakan tawafuq. Apabila angka penyebut bagian ahli waris tidak sama dan tidak bisa dibagi oleh penyebut terkecil, juga tidak bisa dibagi oleh angka yang sama selain angka 1 maka angka-angka penyebut tersebut dinamakan tabayyun.Â
Aul, secara terminologi istilah Aul adalah bertambahnya saham dhawil furudh dan berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka atau bertambahnya jumlah bagian yang ditentukan dan berkurangnya bagian masing-masing ahli waris. Cara pemecahan masalah aul Adalah dengan mengetahui pokok yakni yang menimbulkan masalah dan mengetahui saham setiap Ashabul huruf kemudian dengan mengabaikan pokoknya. Kemudian bagian-bagian mereka dikumpulkan dan dijadikan sebagai pokok lalu harta warisan dibagi atas dasar itu. Dengan demikian akan terjadi kekurangan bagi setiap orang sesuai dengan sahamnya dalam masalah ini tidak ada kezaliman dan kecurangan.
 Sebagai contoh seorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri atas suami dan dua orang saudara perempuan sekandung harta yang ditinggalkan setelah dipotong untuk biaya Pemakaman dan lain-lain masih sisa 42 juta maka penyelesaiannya. Bagian suami adalah 1/2, bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Jumlah asal masalah adalah 6 kemudian dihaulkan menjadi 7 sehingga uang 42 juta dibagi 7 = 6 juta. Maka bagian suami 6/2=3. 3*6 juta = 18 juta dan bagian dua saudara perempuan sekandung 6/3=2, karena dua saudara maka 2*2=4. 4*6 juta = 24.
Radd secara istilah adalah mengembalikan apa yang tersisa dari bagian dawil furud nasabiyah kepada mereka Sesuai dengan besar kecilnya. Radd merupakan kebalikan dari aul, apabila harta peninggalan masih mempunyai kelebihan setelah dibagikan kepada seluruh ahli waris kelebihan harta tersebut dikembalikan kepada ahli waris yang ada menurut pembagiannya masing-masing. Rukun radd: 1. Adanya pemilik fardh (shahibul fardh). 2. Adanya sisa peninggalan. 3. Tidak adanya ahli waris asabah
 Menurut jumhur ulama radd diberikan kepada semua Ashabul furudh kecuali suami atau istri ayah dan kakek dengan demikian rad diberikan kepada 8 golongan: 1. Anak perempuan. 2. Anak perempuan dari anak laki-laki. 3. Saudara perempuan sekandung. 4. Saudara perempuan seayah. 5. Ibu. 6. Nenek. 7. saudara laki-laki Seibu. 8. saudara perempuan Seibu
 Cara memecahkan masalah. Apabila persamaan Ashabul furud ditetapkan ahli waris yang tidak mendapatkan bagian berupa salah seorang suami atau istri maka salah seorang suami atau istri mengambil bagiannya dari harta pokok peninggalan. Sisa sesudah bagian ini untuk Ashabul furud sesuai dengan jumlah mereka apabila terdiri atas satu golongan. Apabila bersama Ashabul furud tidak didapatkan salah seorang suami istri maka sisa harta peninggalan sesudah bagian mereka dikembalikan sesuai dengan jumlah mereka apabila mereka terdiri atas satu golongan.
 Contohnya seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari suami anak perempuan dan ibu harta yang ditinggalkan setelah dipotong biaya Pemakaman dan keperluan lain tersisa 72 juta. bagian suami 1/4 anak perempuan 1/2 dan ibu 1/6. Jumlah asal masalah semula 12 kemudian diiradkan menjadi 11 sehingga uang 72 juta dibagi 12 (asal masalah asli) yaitu 6. Maka bagian suami 12 / 4 = 3. 3 * 6 juta = 18 juta. Bagian anak perempuan 12 / 2 = 6. 6 * 6 juta = 36 juta.Bagian ibu 12 / 6 = 2. 2 * 6 juta = 12 juta
 Ada sisa uang sebanyak 6 juta maka bagian anak perempuan 1/2 dan bagian ibu 1/6. Penyebut keduanya ditambahkan menjadi 8. Jadi bagian anak perempuan 6/8 * 6 sama dengan 4,5 juta sementara bagian Ibu 2/8 * 6 = 1,5 juta. Maka hasil akhirnya anak perempuan mendapatkan harta waris murni sebanyak 36 juta + 4,5 juta dari Rat maka bagiannya 40,5 juta. Sedangkan ibu bagian waris murninya adalah 12 ditambah 1,5 dari Rad maka bagiannya 13,5 juta. Dan untuk suami bagiannya yaitu 18 juta.
Kompilasi problematika hukum waris Islam, Kewarisan anak dalam kandungan hamlu. Ada dua syarat bagi anak yang masih dalam kandungan untuk dapat memperoleh harta peninggalan yaitu sebagai berikut: 1. Janin dalam kandungan harus sudah positif keberadaannya dalam perut ibu pada waktu pewaris meninggal dunia. 2. pada saat lahir harus dalam keadaan hidup. Hukumnya dalam pewarisan anak yang masih dalam kandungan Ibu termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan harta warisan sebagaimana ahli waris lainnya, Batas waktu maksimal dan minimal bagi kandungan. Batas waktu minimal terbentuknya janin dan dilahirkan dalam keadaan hidup adalah 6 bulan
 Hunsa / pewarisan waria. Adalah orang yang diragukan dan tidak diketahui Apakah ia laki-laki atau perempuan. Apabila tidak diketahuinya Hal tersebut karena tidak muncul tanda-tanda atau muncul tetapi bertentangan ia dinamakan hunsa yang muskil. Jumlah ahli waris hunsamuskil : a. jihat bunuwah garis anak, yaitu anak dan cucu. b. jihat ukhuwah garis saudara, yaitu saudara dan anak saudara (keponakan). c. jihat 'umumah garis paman, yaitu paman dan anak paman (sepupu). d. jihat wala' perwalian buda, yaitu tuan yang telah memerdekakan budaknya
 Cara menghitung kadar bagian hunsa musykil. Hal tersebut tidak terlepas dari lima keadaan sebagai berikut: a. Baik dikira laki-laki atau perempuan si hunsa sama Bagian yang sama besarnya. b. Perkiraan laki-laki lebih banyak penerimaannya daripada perkiraan perempuan. c. Penerimaan atas perkiraan perempuan lebih banyak daripada penerimaan perkiraan laki-laki. d. Hanya dapat menerima warisan kalau diperkirakan laki-laki saja sedangkan kalau diperkirakan perempuan tidak dapat menerima warisan. e. Hal yang dapat menerima warisan kalau diperkirakan perempuan saja sedangkan kalau diperkirakan laki-laki ia tidak dapat menerima warisan
 Wasiat. Menurut hukum kewarisan islam wasiat merupakan penghibahan harta dari seorang kepada orang lain atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang tersebut. Dasar hukum wasiat yakni Alquran surat al-baqarah ayat 180 dan surat Al Maidah ayat 106.Â
Pengertian warisan menurut KUH perdata tercantum dalam pasal 875 yakni surat wasiat atau statement adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut kembali. Para ulama sepakat orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh memberikan wasiat lebih dari sepertiga hartanya. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi ahli waris supaya mereka tidak dalam keadaan miskin setelah ditinggalkan tinggalkan pewaris.
 Wasiat wajibah. Sebagian ulama berpendapat kebebasan untuk membuat wasiat atau tidak hanya berlaku jika orang-orang yang bukan kerabat dekat. Untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan atau bukan ahli waris maka seseorang wajib membuatkan wasiat untuknya. Namun ulama berbeda pendapat dalam menentukan kewajiban berwasiat tersebut.
 Menurut undang-undang wasiat Mesir nomor 71 tahun 1946 ditegaskan bahwa besarnya wasiat wajibah adalah sebesar yang seharusnya diterima oleh orang tua seandainya ia masih hidup dengan ketentuan tidak lebih dari sepertiga warisan, juga dengan syarat Cucu itu bukan termasuk ahli waris yang menerima warisan dan Pewaris hanya boleh memberikan kepadanya seperti yang telah ditentukan.
 Mafqud. Adalah orang hilang atau seseorang yang pergi dan terputus kabar beritanya tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal sedangkan Hakim telah menetapkan kematiannya. Batas waktu untuk menetapkan kematian menurut imam Malik adalah 4 tahun. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan masa tunggunya tidak adanya ketentuan batas waktu. Dalam undang-undang kewarisan Mesir mengambil pendapat Imam Ahmad ditetapkan batas waktunya 4 tahun. Jika berpergiannya ke tempat yang memungkinkan ia selamat urusannya diserahkan kepada hakim.
 Pembagian harta kewarisan mafqud adakalanya orang yang hilang tersebut sebagai orang yang mewariskan dan Adakalanya sebagai pewaris. Pertama Jika dia sebagai orang yang mewariskan hartanya tetap menjadi miliknya dan tidak dibagikan sampai nyata kematiannya atau sampai Hakim menetapkan kematiannya. Apabila ia masih hidup ia mengambil hartanya dan apabila ia sudah mati atau Hakim menetapkan kematiannya hartanya diwariskan kepada orang yang menjadi pewarisnya.Â
Apabila dia sebagai pewaris dari orang lain bagian dari harta peninggalan orang yang mewariskan itu ditahan sampai jelas persoalannya. apabila dia dalam keadaan hidup ia berhak mengambilnya dan jika ditetapkan kematiannya hartanya itu dikembalikan kepada ahli waris berhak
 Selain itu didalam buku ini dijabarkan juga mengenai pewaris pengganti. Ada yang mengatakan bahwa pewaris pengganti memanglah dikehendaki dalam Alquran ada juga yang berpendapat bahwa hanya cucu dari garis anak laki-laki yang mungkin mewaris.Â
Di sini disebutkan kata mungkin karena cucu dari anak laki-laki tidak akan mendapatkan waris jika anak laki-laki masih ada. Sementara masalah keponakan juga terjadi perbedaan pendapat. Dalam Alquran yang diatur bagian warisnya hanyalah saudara sementara untuk keponakan tidak diatur. Golongan ahlussunnah hanya membahas keponakan dari karya laki-laki saja yaitu keponakan dari saudara kandung dan sebapak. Sementara mengenai bagian ahli waris kakek ahlussunnah beranggapan bahwa kakek sejati mewaris sebab dalam banyak hal ia dianalogikan sebagai ahli waris Bapak Adapun kakek tidak sejati mungkin mewaris apabila tidak ada ahli waris dzul faraid maupun ashabah.Â
 Buku kewarisan islam ini didalamnya juga memuat tentang pengadilan agama dan kompilasi hukum Islam, pada masa penjajahan pemerintah Hindia Belanda meresmikan berdirinya peradilan agama, Selanjutnya 1 tahun setelah Indonesia merdeka pembinaan peradilan agama diserahkan kepada kementerian agama melalui peraturan pemerintah nomor 5/SD/1946.Â
Kemudian dengan undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 peradilan agama dimasukkan ke peradilan umum. Di sisi lain tidak mempunyai hukum materiil untuk mengatasinya. Akhirnya lahirlah Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 pada pokok berisi instruksi kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan kompilasi hukum Islam yang terdiri atas buku 1 tentang hukum perkawinan buku 2 tentang hukum kewarisan buku 3 tentang perwakafan.Â
 Selanjutnya hukum kewarisan dalam kompilasi hukum Islam, berdasarkan pasal 49 dan penjelasan undang-undang nomor 7 tahun 1987 yang kemudian diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 disebutkan bahwa orang Islam yang akan membagi warisan tidak harus tunduk pada ketentuan kewarisan menurut hukum kewarisan Islam. Di dalam penjelasan pasal 49 huruf b ditegaskan bahwa bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris penentuan harta peninggalan penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut.Â
 Khi adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis, pasal berjumlah 229 terdiri atas tiga kelompok materi hukum yaitu hukum perkawinan 170 pasal hukum kewarisan termasuk wasiat dan hibah 44 pasal dan hukum perwakafan 14 pasal ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut.
 Dari tahun ke tahun sampai sekarang naskah khi dan bahan-bahan penyelundupannya lainnya terus dicetak dan digandakan sesuai kebutuhan dan dana yang tersedia. Bahan-bahan khi yang ada dibagikan kepada yang memerlukan dan kepada peserta penyuluhan, pesan masyarakat tertentu penyuluhan dilakukan dengan metode seminar. Khi dapat dikatakan merupakan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis sebagai hukum terapan peradilan agama. KHi bukan bentuk peraturan perundang-undangan dan dalam praktiknya penyelesaian perkara di pengadilan agama dan pengadilan agama terdapat perbedaan dalam penggunaan khi.Â
 Usaha menjadikan khi sebagai undang-undang. Idealnya ketika terjadi perubahan undang-undang tentang Peradilan Agama tentu hukum material juga harus ada ketentuan hukum yang baku dan saat ini khi belum berbentuk undang-undang. Oleh karena itu khi memang disusun pasal demi pasal yang terdiri dari tiga buku dimaksudkan untuk dijadikan undang-undang yang sangat diperlukan khususnya oleh lingkungan peradilan agama. Usaha terus dilakukan namun selalu menemui kegagalan. Yang diharapkan adalah dukungan dari segenap lapisan umat Islam agar khi dapat segera terwujud menjadi sebuah undang-undang sebab umat Islam sudah sejak lama mendambakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H