Mafqud. Adalah orang hilang atau seseorang yang pergi dan terputus kabar beritanya tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal sedangkan Hakim telah menetapkan kematiannya. Batas waktu untuk menetapkan kematian menurut imam Malik adalah 4 tahun. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan masa tunggunya tidak adanya ketentuan batas waktu. Dalam undang-undang kewarisan Mesir mengambil pendapat Imam Ahmad ditetapkan batas waktunya 4 tahun. Jika berpergiannya ke tempat yang memungkinkan ia selamat urusannya diserahkan kepada hakim.
 Pembagian harta kewarisan mafqud adakalanya orang yang hilang tersebut sebagai orang yang mewariskan dan Adakalanya sebagai pewaris. Pertama Jika dia sebagai orang yang mewariskan hartanya tetap menjadi miliknya dan tidak dibagikan sampai nyata kematiannya atau sampai Hakim menetapkan kematiannya. Apabila ia masih hidup ia mengambil hartanya dan apabila ia sudah mati atau Hakim menetapkan kematiannya hartanya diwariskan kepada orang yang menjadi pewarisnya.Â
Apabila dia sebagai pewaris dari orang lain bagian dari harta peninggalan orang yang mewariskan itu ditahan sampai jelas persoalannya. apabila dia dalam keadaan hidup ia berhak mengambilnya dan jika ditetapkan kematiannya hartanya itu dikembalikan kepada ahli waris berhak
 Selain itu didalam buku ini dijabarkan juga mengenai pewaris pengganti. Ada yang mengatakan bahwa pewaris pengganti memanglah dikehendaki dalam Alquran ada juga yang berpendapat bahwa hanya cucu dari garis anak laki-laki yang mungkin mewaris.Â
Di sini disebutkan kata mungkin karena cucu dari anak laki-laki tidak akan mendapatkan waris jika anak laki-laki masih ada. Sementara masalah keponakan juga terjadi perbedaan pendapat. Dalam Alquran yang diatur bagian warisnya hanyalah saudara sementara untuk keponakan tidak diatur. Golongan ahlussunnah hanya membahas keponakan dari karya laki-laki saja yaitu keponakan dari saudara kandung dan sebapak. Sementara mengenai bagian ahli waris kakek ahlussunnah beranggapan bahwa kakek sejati mewaris sebab dalam banyak hal ia dianalogikan sebagai ahli waris Bapak Adapun kakek tidak sejati mungkin mewaris apabila tidak ada ahli waris dzul faraid maupun ashabah.Â
 Buku kewarisan islam ini didalamnya juga memuat tentang pengadilan agama dan kompilasi hukum Islam, pada masa penjajahan pemerintah Hindia Belanda meresmikan berdirinya peradilan agama, Selanjutnya 1 tahun setelah Indonesia merdeka pembinaan peradilan agama diserahkan kepada kementerian agama melalui peraturan pemerintah nomor 5/SD/1946.Â
Kemudian dengan undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 peradilan agama dimasukkan ke peradilan umum. Di sisi lain tidak mempunyai hukum materiil untuk mengatasinya. Akhirnya lahirlah Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 pada pokok berisi instruksi kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan kompilasi hukum Islam yang terdiri atas buku 1 tentang hukum perkawinan buku 2 tentang hukum kewarisan buku 3 tentang perwakafan.Â
 Selanjutnya hukum kewarisan dalam kompilasi hukum Islam, berdasarkan pasal 49 dan penjelasan undang-undang nomor 7 tahun 1987 yang kemudian diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 disebutkan bahwa orang Islam yang akan membagi warisan tidak harus tunduk pada ketentuan kewarisan menurut hukum kewarisan Islam. Di dalam penjelasan pasal 49 huruf b ditegaskan bahwa bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris penentuan harta peninggalan penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut.Â
 Khi adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis, pasal berjumlah 229 terdiri atas tiga kelompok materi hukum yaitu hukum perkawinan 170 pasal hukum kewarisan termasuk wasiat dan hibah 44 pasal dan hukum perwakafan 14 pasal ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut.
 Dari tahun ke tahun sampai sekarang naskah khi dan bahan-bahan penyelundupannya lainnya terus dicetak dan digandakan sesuai kebutuhan dan dana yang tersedia. Bahan-bahan khi yang ada dibagikan kepada yang memerlukan dan kepada peserta penyuluhan, pesan masyarakat tertentu penyuluhan dilakukan dengan metode seminar. Khi dapat dikatakan merupakan hukum tertulis dan hukum tidak tertulis sebagai hukum terapan peradilan agama. KHi bukan bentuk peraturan perundang-undangan dan dalam praktiknya penyelesaian perkara di pengadilan agama dan pengadilan agama terdapat perbedaan dalam penggunaan khi.Â
 Usaha menjadikan khi sebagai undang-undang. Idealnya ketika terjadi perubahan undang-undang tentang Peradilan Agama tentu hukum material juga harus ada ketentuan hukum yang baku dan saat ini khi belum berbentuk undang-undang. Oleh karena itu khi memang disusun pasal demi pasal yang terdiri dari tiga buku dimaksudkan untuk dijadikan undang-undang yang sangat diperlukan khususnya oleh lingkungan peradilan agama. Usaha terus dilakukan namun selalu menemui kegagalan. Yang diharapkan adalah dukungan dari segenap lapisan umat Islam agar khi dapat segera terwujud menjadi sebuah undang-undang sebab umat Islam sudah sejak lama mendambakannya.