Mohon tunggu...
Zubaili
Zubaili Mohon Tunggu... Guru - Guru Honorer - Aceh. "Belajar Harus Berguru, Bukan Meniru"

Menulis adalah bagian dari belajar. Dengan belajar, kita bisa mengajar... Dengan mengajar, kita bisa belajar...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Catatan Terakhir Buku Kecil Harianku (2)

2 Juni 2024   08:42 Diperbarui: 2 Juni 2024   08:46 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen ini Sambungan dari Catatan Terakhir Buku Kecil Harianku (1)

Upacara pun usai, aku dan beberapa siswa lainnya diseret ke meja piket oleh Pak Radhi, dan didata dalam sebuah buku untuk dijadikan dokumen sekolah orang-orang berprestasi dibidang keonaran, yang nantinya disaat penjajakan nilai rapor akan dipromosikan di meja bundar sebagai nilai minus bagi siswa bersangkutan. 

***

"Andi .. kenapa kamu terlambat hari ini?" Tanya Pak Radhi yang ditemani beberapa guru-guru lain, seperti Bu Nurhayatun, Bu Hasrati, dan Bu Ermaini. 

Andi pun menjawab dengan santai, dan mencoba mencari alasan walaupun terkadang alasannya tidak masuk akal. Begitu juga dengan kawan-kawan yang lain, semua disidak satu persatu, dan alasan mereka kebanyakan sama, walaupun ada sebagian berbeda, alasan mereka ada yang masuk akal dan ada yang mencoba merekaya supaya terlepas dari imbalan negatif. 

Giliran ku pun tiba! 

"Muhammad... kenapa kamu terlambat! Tak biasanya kamu terlambat." Tanya Bu Nurhayatun mencoba mendahului Pak Radhi.

 "Maaaaa,,,,, Maaf, Bu." Sahutku dengan suara sedikit gagap. "Saya terlambat, karena telat bangun pagi ini, Bu." Lanjutku polos. 

  ***

 Akhirnya, kami diberikan hukuman. Hukuman pun berbeda-beda tergantung porsi kesalahannya masing-masing. Ada yang disuruh hormat bendera, ngutip sampah, dan bahkan ada yang disuruh membersihkan WC yang harum baunya. Aku beruntung, karena pelanggaranku adalah pelanggaran pertama selama sekolah disini, dan terhitung pelanggaran kecil, guru piket memberikan hukuman kepada ku mengutip sampah yang ada di pekarangan sekolah. 

Aku pun lekas meninggalkan meja piket dan beralih ke tugas baru ku menjadi seorang pemulung. Setelah misi yang kami jalankan selesai, kami pun dikumpulkan kembali oleh guru piket, tepatnya di depan tiang bendera, parahnya lagi harus menghadap ke arah matahari terbit. 

"Huuufff, Nasib... Nasib.." Gumamku dalam hati.

 "Sekarang coba dengar bapak baik-baik, dan tidak boleh ada yang ribut seorang pun." Ujar pak Radhi mengawali pembicaraannya, sambil menenteng dua toples kaca ukuran mini, satu toples berisi satu lalat yang sudah mati, dan satu toplesnya lagi berisi satu lalat yang masih hidup. Kami pun saling pandang-memandang melihat gelagat Pak Radhi yang aneh tersebut.

 "Hukuman apalagi yang akan diberikan Pak Radhi kepada kami, tidak seperti hari-hari yang lain , biasanya hanya ceramah sebentar setelah itu dipersilahkan masuk ke kelas masing-masing ,tidak pernah Pak Radhi memegang toples yang berisi lalat seperti yang dilakukan hari ini disaat menghukum siswanya yang bermasalah." Gumamku didalam hati. 

"Hari ini kalian telah melanggar peraturan yang berlaku disekolah ini, dengan porsi kesalahan yang berbeda-beda, ada yang porsinya kecil, sedang, bahkan ada yang porsinya berat. Dan kesalahan kalian telah kalian bayar dengan pengabdian kalian tadi. Belajarlah dari kesalahan ini! Dan ingatlah, jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama."

 "Iya, pak." Sahut kami semua. 

Kemudian Pak Radhi melanjutkan ocehannya;

 " Andi.. Zaki..Bakri" 

"iya, pak." Jawab mereka spontan.

 " kalian sudah berulang-ulang melakukan kesalahan yang sama, kesalahan yang kalian lakukan harus kalian akhiri dan hari ini adalah hari terakhir kalian melakukan kesalahan, dan tidak boleh lagi kalian mengulanginya dihari-hari berikutnya." Sambung Pak Radhi.

 "Iya, Pak" Jawab mereka. 

 "Muhammad.."

 "Iya, Pak" Sahutku

 "Hari ini, hari pertama kamu melakukan kesalahan ataupun pelanggaran, dan bapak berharap kamu juga tidak mengulanginya lagi, cukuplah hari ini hari pertama dan terakhir kamu melanggar peraturan sekolah." Ujar Pak Radhi. 

"Iya, pak". Jawabku singkat. 

"Sekarang, coba kalian semua perhatikan, apa yang ada ditangan bapak hari ini." 

"Lalat, Pak!" Jawab kami secara berjamaah.

 "Betul sekali, di tangan bapak sekarang ada dua toples, yang kedua toples ini berisi lalat dengan kondisi yang berbeda, satu sudah tidak bernafas, dan yang satunya lagi masih bisa menghirup udara segar. Mungkin diantara kalian ada yang bertanya kenapa yang satu mati dan yang satu lagi masih hidup?? Jawabannya adalah karena yang mati mengulangi kesalahan yang sama. Sedangkan yang hidup, sebaliknya. Lalat yang mati, dia terjebak didalam toples dan mencoba keluar dengan cara beterbangan kekiri, kekanan, depan dan belakang, tetapi tak kunjung berhasil karena terhalang oleh kaca. Dia terus berusaha sekuat tenaga untuk bisa terbebas dari 'penjara' tetapi kesalahan yang sama kembali dia lakukan, alhasil diapun kelelahan dan jatuh sekarat, dan akhirnya mati. Sedangkan lalat yang masih hidup ini..." sambil membuka tutup toplesnya, dan lalat pun mencoba keluar, dan berhasil keluar dengan selamat.

 Kami mendengar dengan penuh penghayatan sambil mengangguk-angguk kepala mengiyakan pencerahan dari Pak Radhi. 

Pak Radhi melanjutkan siraman rohaninya;

 "... dia juga terjebak di dalam toples, dan mencoba berusaha keluar dengan cara beterbangan kekiri, kanan, depan dan belakang, dan juga tak kunjung berhasil. Dia terus berusaha sekuat tenaga untuk terbebas dari 'penjara', dia mencari jalan alternatif yang lain yaitu keatas, dan dia berhasil. Akhirnya dia bebas dari 'penjara' dengan selamat. Keberhasilannya karena dia tidak mengulangi kesalahan yang sama, dan belajar dari kesalahan yang pertama. Kisah yang bapak sampaikan ini kalian renungkan, dan kalian jadikan sebagai batu loncatan untuk menjadi orang yang sukses dengan cara tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dan jadikanlah pengalaman sebagai guru terbaik, karena kita dapat memetik pelajaran berharga dari setiap kejadian yang pernah menimpa kita, bukan sebaliknya hanya sekedar mengalami, dan mengalaminya saja yang akhirnya kita terpuruk kedalam 'lembah kegagalan'. Dan InsyaAllah dengan mengikuti peutuah yang bapak sampaikan, kalian akan menjadi orang yang sukses kedepan. Aamiin."

 "Aamin.." Ucap kami secara berjamaah tanpa dikomandoi. 

"Kalian sudah mengerti?." Tanya pak Radhi. 

"Sudah, pak!"

"Sekarang kalian sudah bisa masuk ke kelas masing-masing!."

Kamipun bubar dan bersalaman dengan pak Radhi sambil meminta maaf atas kesalahan yang telah kami perbuat, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. 

*** 

Teeeeet......Teeeeet.....Teeeeet... Bel pulang pun berbunyi, sontak saja anak-anak yang didalam kelas bersorak dengan penuh semangat, " Horeeeee...." 

kamipun memberes-bereskan segala buku yang berserak di atas meja, dan sebelum pulang kami pun berdoa bersama, dan dilanjutkan dengan bersalaman dengan guru yang mengajar pada jam terakhir, sambil pamit pulang. 

Sesampainya dirumah, aku langsung mengetuk pintu. 

"Assalamu'alaikum....." Ucapku 

"Wa'alaikum salam" Jawab bundaku samar-samar dari dalam rumah. 

Akupun bersalaman dengan orangtua ku, dan langsung bergegas masuk kedalam kamar kesayangan ku. Setelah selesai ganti pakaian, karena takut apa yang telah kudengarkan tadi lupa, akupun langsung mengambil buku catatan kecilku yang tersimpan rapi dalam lemari, dan mencoba menumpahkan pesan-pesan bijak yang ku dengar di sekolah tadi, baik yang disampaikan Pak Duden di saat upacara, maupun Pak Radhi disaat ocehannya tadi. 

Secara perlahan-lahan sambil mengingat apa yang disampaikan tadi, aku terus menulis, dan diluar dugaan buku kecilku yang tersisa 2 lembar lagi penuh, pertanda buku yang ku tulis selesai. 

"Alhamdulillah.." Ucapku spontan.

 "Buku yang ku impi-impikan akhirnya selesai juga, sungguh karunia-Mu ,Ya Allah!" 

Akupun cepat-cepat keluar menjumpai kedua orang tua ku, memberitahukan mereka kabar gembira ini, dan menceritakan semua kejadian yang menimpaku hari ini, mulai dari pergi sekolah sampai bel pulang berbunyi. Setelah aku selesai bercerita, dengan penuh kebijaksanaan Ayahku berkata: "Sungguh sebuah anugerah dari-Nya yang tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia." 

#ZB | Aceh Besar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun