Rasulullah mengungkapkan mereka dengan ungkapan “anak muda” atau “orang-orang muda” yakni orang-orang yang belum memahami agama dengan baik, mereka seringkali mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka karenal kualitas iman mereka sedikitpun tidak melampaui tenggorokan mereka.
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata; Sungguh, aku terjatuh dari langit lebih aku sukai dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan jika aku sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah) bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam pemahaman (lemah pemahaman atau sering salah pahaman). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah, maksudnya suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits)) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)
Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan muncul suatu sekte/firqoh/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya”. (HR Muslim 1773)
Jadi ilmu agama justru bencana bagi mereka sehingga semakin jauh dari Allah karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/12/05/tetapi-semakin-jauh/
Begitupula kesesatan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/10/02/akibat-salah-memahami/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda bahwa kelak umat Islam jumlahnya banyak namun “bagaikan buih di atas lautan” , rapuh dan terombang-ambing karena keyakinan mereka mengikuti orang-orang yang memahami “Al Qur’an dan AS Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/10/26/bagaikan-buih/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.