3. Peningkatan Konflik (Rising Action):
Narator merinci rencananya untuk membunuh orang tua tersebut, menggambarkan persiapan yang detail dan tanda-tanda kegelisahannya. Dia juga mencatat betapa hatinya berdegup kencang saat dia mengimplementasikan rencananya. Ini menghasilkan ketegangan dan ketidakstabilan yang meresap.
4. Klimaks (Climax):
Klimaks terjadi ketika narator membunuh orang tua tersebut dengan kejam dan menggambarkan proses pembunuhan secara rinci. Klimaks ini adalah titik puncak konflik dan ketegangan, memicu efek mengerikan pada pembaca.
5. Penyelesaian (Resolution):
Setelah membunuh orang tua tersebut, narator merasa sangat puas dengan tindakannya dan percaya bahwa dia telah berhasil menyembunyikan kejahatan ini dengan baik. Namun, ketidakstabilannya semakin meningkat karena dia mendengar suara berdetak yang menjadi semakin keras.
6. Penutup (Conclusion):
Cerita ditutup dengan adegan yang memuncak, di mana narator merasa hancur oleh suara detak jantung yang tak henti-henti. Dia percaya bahwa suara ini berasal dari jenazah yang telah dia sembunyikan, meskipun pembaca menyadari bahwa itu adalah ekspresi dari kegilaan dan perasaan bersalah narator.
Struktur ini efektif dalam menggambarkan konflik internal narator yang berlangsung sepanjang cerita. Dengan merinci setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan tindakan kejamnya, serta mengarahkan perhatian pada ketidakstabilan pikirannya, struktur ini menciptakan rasa ketegangan yang kuat dan meresap dalam cerita. "The Tell-Tale Heart" adalah contoh sempurna dari bagaimana struktur yang terorganisir dengan baik dapat digunakan untuk mendukung pengembangan karakter dan menciptakan dampak emosional yang mendalam.
POIN-POIN PENTING
Cerpen "The Tell-Tale Heart" oleh Edgar Allan Poe adalah kisah yang sarat dengan poin-poin penting yang menciptakan ketegangan dan menggambarkan kegelisahan batin karakter utama. Berikut adalah beberapa poin kunci yang mencolok dalam cerpen ini: