Sekilas saat mendengar kalimat "batasi gula dan garam pada makanan dan minuman", apakah pikiran Anda langsung terbayang dengan makanan yang disajikan di rumah sakit, yang terkenal dengan label hambarnya jika dibandingkan dengan makanan siap saji atau makanan kemasan seperti mie instan.Â
Betapa tidak, makanan dan minuman yang ada di rumah sakit adalah makanan khusus yang memang disesuaikan dengan kondisi kesehatan para pasien.
Tentu bukan sembarang makanan yang diberikan, tetapi telah melewati beragam pertimbangan sebelum makanan masak dan siap didistribusikan kepada pasien.
Ada namanya proses asuhan gizi terstandar (PAGT) yang dilakukan oleh seorang ahli gizi, guna menentukan jenis diet yang tepat, berapa kalori, serta zat gizi yang dibutuhkan agar tidak memperburuk kondisi sakitnya.
Perbaiki mindset dan luruskan niat
Pola makan sehat merupakan salah satu upaya preventif yang mudah dilakukan untuk mencapai derajat kesehatan tertentu, apakah kita cukup aware dengan memerhatikan apa yang kita makan sehari-hari atau abai, yang penting makan enak, urusan lain belakangan. Kesehatan pada diri sendiri adalah murni tanggungjawab pribadi.Â
Sudah selayaknya kita mulai menerapkan manajemen porsi gula dan garam dalam konsumsi harian sedini mungkin, jangan menunggu datangnya penyakit pada tubuh, seperti diabetes dan hipertensi, baru menerapkan diet rendah gula dan garam untuk mencegah perburukan kondisi.
Makanan sehat tidak hanya berisi beranekaragam pangan dalam satu porsi piring makan, namun juga ada pertimbangan lain, yakni teknik pemasakan dan pemberian seasoning yang nantinya mempengaruhi zat gizi akhir saat makanan disajikan di meja makan.
Harapannya, tentu nantinya ada perubahan pola makan, terlebih dalam konsumsi gula dan garam harian, bukan hanya pada saat banyak berseliweran artikel yang menyuruh untuk membatasi konsumsi gula-garam ataupun saat sedang banyak FYP tiktok tentang lonjakan kasus gagal ginjal anak akibat minum-minuman manis. Tetapi dapat bersifat longlasting.
Perubahan ini, tidak harus langsung cut off, tidak menggunakan sama sekali, yang ada berat badan akan turun karena makanan terlalu hambar.
Namun bisa sedikit demi sedikit, misalnya dari yang setiap harinya mengonsumsi teh dengan takaran gula pasir sebanyak 2 sendok makan (sdm), menjadi satu sendok makan saja, kemudian bertahap menjadi setengah sdm saja.
Gula dan garam sebagai main character dalam bumbu dapur?
Saat berada di dapur, tentu tidak absen akan keberadaan gula dan garam yang memiliki peran pengatur rasa pada masakan. Jika masakan kurang asin ditambah garam, jika terlalu asin biasanya ditambah gula sebagai penetral rasa, begitu seterusnya.
Namun jangan lupakan bahwa Indonesia memiliki kekayaan rempah yang amat banyak, salah duanya adalah bawang merah dan bawang putih yang juga tidak pernah absen dari dapur ibu. Masing-masing bumbu dapur memiliki karakteristik dan penyumbang rasa tersendiri dalam sebuah masakan.
Misalnya saat ibu memasak sayur bayam, bumbu simpelnya adalah bawang merah, bawang putih, dan garam, ditambah temu kunci yang memiliki rasa manis khas sayur bayam, tanpa perlu menambah gula pasir beberapa sendok pada sayur bayam tersebut.
Terlebih temu kunci ini merupakan sumber antioksidan yang baik dan berkhasiat dalam menangkal radikal bebas seperti virus maupun infeksi bakteri.
Lalu, bagaimana jika dalam satu menu masakan membutuhkan setidaknya garam, vetsin, dan kecap, yang mana ketiganya merupakan penyumbang natrium yang cukup tinggi dalam kategori bumbu dapur. Mungkin bisa dibayangkan berapa garam natrium yang telah dikonsumsi tubuh dalam sekali makan menu tersebut.
Langkah preventifnya adalah dengan memerhatikan frekuensi menu yang membutuhkan 3 elemen tinggi natrium tersebut, misalnya seminggu hanya memasak menu tersebut 2-3x saja, atau mungkin bisa memilih salah satu perasa asin, bisa garam saja atau vetsin saja, atau tetap ada keduanya namun dengan porsi lebih sedikit dari biasanya, bertahap.
Kebutuhan gula dan garam dalam sehariÂ
Merujuk pada Kementerian Kesehatan terkait anjuran konsumsi Gula, Garam, dan Minyak pada orang dewasa sehat dalam sehari, yakni masing-masing 4 sendok makan (sdm) setara 54 gram, 1 sendok teh (sdt) setara dengan 2000 mg Natrium, dan 5 sdm setara dengan 72 gram.
Namun berbeda dengan individu yang sudah terkena penyakit tertentu, misalnya ada riwayat hipertensi ringan, ahli gizi tentu akan menerapkan diet rendah garam dengan batasan natrium/sodium sebesar 1000-1200 mg atau dalam pengolahan makanannya hanya boleh menggunakan 1/2 sdt garam dapur.
Begitu pula pada pasien diabetes melitus, yang pada prinsip dietnya dianjurkan untuk mengonsumsi karbohidrat kompleks, cukupi serat pangan, dan tentu mengurangi konsumsi gula sederhana (gula pasir dan gula merah), anjurannya adalah 5% dari total kalori sehari.
Angka ini cukup kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan total karbohidrat yang mencapai 45-60% dari total kalori.
Gula dan garam memang dibutuhkan dalam tubuh dalam jumlah yang cukup, tidak terlalu sedikit juga tidak terlalu banyak, disesuaikan dengan anjuran konsumsi kemenkes atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin orang sehat Indonesia. Kecuali jika memang ada sertaan penyakit tertentu yang membutuhkan konsultasi dokter maupun ahli gizi.
Label gizi adalah kesempatan introspeksi diriÂ
Setiap makanan dan minuman kemasan yang dijual, biasanya mengandung label gizi di bagian belakang kemasan, dengan menampilkan zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, dan lemak, juga beberapa mikronutrien tertentu, seperti sodium/natrium.
Selain itu, biasanya para pelaku usaha akan mempertebal jenis bahan makanan tertentu yang bisa menyebabkan alergi dengan bold text misalnya kedelai, gluten, susu, udang, dan sebagainya, sebagai upaya pemenuhan hak konsumen untuk mengetahui komposisi bahan pada pangan olahan yang akan dikonsumsi.
Adanya label gizi pada kemasan merupakan salah satu keuntungan dan kesempatan yang bisa digunakan untuk memudahkan kita dalam menakar sudah berapa banyak konsumsi zat gizi tertentu yang perlu dibatasi, seperti gula dan garam dalam satu hari.
Cara membaca label gizi cukup mudah, apalagi untuk kemasan sekali makan, yang mana informasi nilai gizi yang tertera pada kemasan sudah sesuai dengan apa yang kita konsumsi, seperti pada mie instan, mie gelas, snack ukuran small, minuman sachet, satu kotak susu maupun teh, dan lainnya.
Berbeda dengan pangan kemasan ukuran medium atau large, yang mana informasi gizi yang tercantum disesuaikan dengan takaran saji yang dianjurkan, bukan pada berat bersih keseluruhan pangan.
Misalnya pada kecap manis ukuran 720 gram dengan merk B, yang mencantumkan informasi nilai gizi per 20 gram atau 1 sdm, sehingga dalam penggunannya kemungkinan bisa lebih ataupun kurang, misalnya kita menggunakan 2 sdm atau 40 gram, berarti pada masing-masing kandungan gizi perlu dikali 2 untuk mengetahui jumlah kandungan gizi sebenarnya, begitu pula untuk kelipatan-kelipatan selanjutnya.
Saat di mini market, biasanya produk ditata sedemikian rapi dan berkelompok, ada kelompok mie instan, kelompok kecap manis, kelompok minuman sachet, kelompok susu, dan sebagainya.
Tugas kita memang cukup sulit, selain pertimbangan dari segi harga, apakah sesuai kantong atau tidak, juga ada tugas tambahan yakni membandingkan mana kadar natrium yang lebih rendah dari dua atau lebih produk pangan yang sama.
Hal ini bisa dilakukan bertahap, misalnya untuk belanja di bulan ini cukup menganalisis dan membandingkan kandungan natrium pada mie instan saja, kemudian untuk bulan selanjutnya ganti menganalisis pada kelompok minuman kemasan, dan seterusnya.
Atomic Habit di keluarga kami
Ada beberapa kebiasaan kecil di keluarga kami yang cukup berhubungan dengan bahasan artikel kali ini, memang masih jauh dari tahap sempurna, namun saya tetap bersyukur, setidaknya bisa berbagi kepada para pembaca.
Tidak menerapkan morning tea
Di keluarga kami, tidak menerapkan morning tea ataupun morning coffee sebagai pembuka aktivitas di pagi hari, dan kebiasaan ini sudah terjadi sejak saya kecil hingga dewasa ini. Orang tua, keduanya adalah sama-sama pekerja dan jam 7 pagi sudah harus berada di kantor masing-masing.
Sehingga keduanya tidak memiliki waktu untuk bersantai sejenak untuk menikmati seduhan hangat dan menenangkan dari teh manis, mereka sama-sama sibuk mempersiapkan sarapan dan juga bersih-bersih rumah, agar saat berangkat kerja rumah sudah dalam keadaan rapi.
Mungkin alasan ini yang menyebabkan keluarga kami tidak menerapkan morning tea dan hanya menekankan pentingnya sarapan sebelum beraktivitas dan cukup minum air putih.
Mereka juga mengajari saya untuk terbiasa bangun pagi sebelum subuh untuk menunaikan sholat dan memulai aktivitas bersih-bersih rumah maupun bantu ibu memasak di dapur hingga jam sekolah tiba, yang mana tidak ada waktu bersantai lagi karena jam pagi adalah jam paling sibuk di keluarga kami.Â
Kebiasaan ini juga terbawa sampai saya berusia dewasa, bagi waktu yang tepat minum minuman manis adalah pada saat berbuka puasa di hari senin dan kamis juga saat ada acara makan di luar rumah, yang tentu tidak setiap hari. Hal ini adalah langkah kecil bagi saya untuk dapat mengurangi konsumsi gula dalam sehari.
Penggunaan kemasan bumbu pisah pada mie instan
Mie instan adalah salah satu makanan tinggi natrium, kadarnya dalam satu bungkus bisa mencapai 500 hingga 700 mg natrium. Biasanya saat makan mie instan, saya tidak mencampurkan semua bahan bumbu asin pada mie matang, namun pasti akan saya sisakan sekitar kemasan.
Bukan hanya dalam rangka usaha untuk mengurangi konsumsi natrium dalam sehari, namun rasa asin saat mencampurkan semua bumbu pada mie instan matang, bagi lidah saya terasa keasinan hingga menyebabkan getir.
Sering masak sendiri
Ibu selalu masak sendiri sehari-harinya, bukan saja karena masak sendiri akan jauh lebih hemat daripada beli, namun ibu juga menginginkan keluarganya mendapatkan makanan terbaik yang sudah terjamin kualitasnya. Namun bukan berarti tidak pernah beli, tetapi bisa dihitung jari.
Masak sendiri adalah upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk mengontrol takaran gula dan garam dalam masakan sehari-hari. Juga sebagai sarana menyajikan pangan terbaik dan sehat untuk keluarga.
Bumbu uleg pada sayur dengan kuah bening (non santan) tidak ditumis dengan minyak
Sudah sekitar 5 tahun belakangan ini, setiap memasak sayur kuah non santan, seperti sayur sop, sayur bayam, dan sayur asem, bumbu uleg yang dibuat tidak pernah ditumis dengan minyak, alasan utamanya tentu untuk mengurangi asupan minyak yang akan dikonsumsi sehari-hari. Mengingat, minyak juga perlu dibatasi konsumsinya selain gula dan garam, yakni sebesar 5 sdm saja per hari.
Terimakasih semoga bermanfaat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H