"Aku pikir kau benar-benar telah mati karena tak pernah melihatmu ke sekolah lagi."
Dan entah mengapa kata-kata lelaki yang ia lontarkan barusan seolah-olah menyulut amarahmu.
"Memangnya apa pedulimu kalau aku mati? Memangnya apa pedulimu kalau aku tak masuk sekolah? Haahh" Katamu sambil bergegas ke arahnya dan mendorong bahunya.
"Hheheh... Memangnya kau pikir aku peduli? Aku sama sekali tidak peduli denganmu sebenarnya jikalau bukan karena uangmu." Kata lelaki itu.
"Dasar orang-orang mata duitan." Katamu ketus.
"Yahhh... Aku hanya heran saja. Kenapa sampai anak orang kaya raya sepertimu sampai berpikiran untuk bunuh diri? Apa karena semua keinginanmu telah tercapai sampai kau memutuskan untuk mati saja? Atau  kau menjadi pusing dan sress sebab tak tahu bagai mana caranya untuk menghabiskan uangmu? Hemmmhh. Lucu yahh. Bukannya seharusnya menjadi orang kaya itu menyenangkan yah? Kau bisa membeli..."
"Tau apa kau tentang kehidupanku? Kau tak usah ikut campur dengan kehidupan orang lain. Urus saja urusanmu sendiri." Katamu tiba-tiba memotong pembicaraannya yang belum selesai ia ucapkan.
"Yaa... Yaa... Ya... Aku sama sekali tidak bermaksud untuk ikut campur loh. Aku hanya ingin mengingatkan kamu untuk memikirkan baik-baik keinginamu untuk mati. Yah kalau bisa sih aku sebenarnya tidak ingin meminta uangmu, tetapi aku ingin meminta nafasmu. Yah sapa tau kali saja aku bisa hidup lebih lama dua kali lipat dari orang kebnyakan. Keren kan"
Kau tak menjawab.
"Oh iya, ada satu lagi yang harus kamu tahu. Rel kereta api yang bagian depan sana ada yang mengalami kerusakan. Jadi kereta yang seharusnya lewat sini sedari tadi telah dialihkan ke jalan lain. Sampai Jumpa." Kata lelaki asing tersebut seraya berlalu meninggalkanmu.
Kini sekali lagi kamu gagal mengakhiri hidupmu. Belum sempat kamu berpikir untuk rencana selanjutnya, bodyguard suruhan Ayahmu kini kembali menangkapmu dan membawamu pulang kerumah dalam kukungan kamarmu yang serupa sangkar emas.