Kamu yang kini menjelma menjadi seorang kutu buku selalu mempersembahkan nilai-nilai yang sangat memuaskan bagi Ayahmu. Karenanya Ayahmu berpikir bahwa segalanya baik-baik saja. Tak ada hal lain yang kamu butuhkan kecuali uang dan uang. Dengan uang itu kamu bisa membeli segala macam keinginan dan kebutuhan kamu. Bahkan dengan uang itu pula kamu bisa membeli teman. Mentraktir mereka makanan-makanan lezat, menghadiahi kepada mereka barang-barang yang mahal, sebelum mereka kembali mencapakanmu dan berbuat kasar kepadamu.
Satu-satunya hal yang mungkin tidak bisa kamu dapatkan meski kamu bayar dengan harga semahal apa pun yaitu waktu Ayahmu dan juga kasih sayang darinya. Teapi kamu tidak bisa berbuat apa-apa karena ia selalu mengatas namakan kamu, demi kebaikan kamu saat kau memulai perdebatan dengannya. Berhasil memasukkan kamu ke sekolah-sekolah ternama yang bergengsi dengan nilai-nilai yang selalu berada di atas rata-rata merupakan suatu hal terbaik yang kau persembahkan kepadanya menurut Ayahmu.
Diam-diam kau mulai memupuk kebencian terhadapnya dan terus tumbuh hari demi hari seperti tumbuhan sulur berduri yang memenuhi isi kepalamu. Kamu semakin muak kepadanya terlebih ketika ia yang mulai merasa kesepian sering kali membawa perempuan-perempuan asing kerumahmu. Tiap hari perempuan-perempuan itu terus berganti-ganti. Kamu benar-benar muak dan memulai pertengkaran hebat dengan Ayahmu yang berujung kepada pemukulan terhadapmu.
Tiba-tiba saja air mata mengalir deras membasahi pipimu yang memerah bekas tamparan Ayahmu. Bukan dikarenakan rasa sakit yang kau terima yang membuatmu menangis, tetapi atas dasar kekecewaan yang begitu besar. Kamu sama sekali tidak berpikir orang yang satu-satunya kamu harapkan tiba-tiba tega melakukan hal tersebut kepadamu hanya dikarenakan persoalan perempuan-perempuan asing itu.
Kamu pun memutuskan untuk pergi. Kamu kabur dari rumah. Kamu merasa perlu ruang untuk menghilangkan kekecewan dan kesedihanmu tetapi di tempat yang lain, selain rumah yang justru membuatmu serasa berada di neraka. Kamu berjalan entah kemana. Kamu sama sekali tak tahu arah kecuali bahwa kamu hanya terus berjalan melewati kerumunan orang-orang kota hingga tiba di sebuah taman.
Di taman itu kamu terduduk seorang diri, menghidari keramaian seperti biasanya. Sekali lagi pikiranmu terasa dipenuhi oleh sesuatu yang entah berantah membuatnya terasa ingin meledak. Kamu serasa ingin berteriak kencang meluapkan emosimu, tetapi hal tersebut tidak mungkin kamu lakukan. Sebab ditempat tersebut kamu tidak lah sendirian, melainkan ramai orang-orang yang berlalu lalang yang seketika bisa saja semua mata-mata itu menghujam keras ke arahmu.
Tiba-tiba kamu merasa kosong. Kamu tidak tahu untuk apa kamu berada di sini. Kamu tidak tahu untuk apa kamu hidup. Kamu tidak tahu kearah mana kamu harus berlari, meminta pertolongan atau semacamnya. Kamu tiba-tiba merasakan kesepian yang teramat sangat. Kamu tidak memiliki seorang teman pun? Itu sudah pasti. Tak ada yang menggengam tanganmu. Tak ada yang memberikan bahunya untuk kau bersandar. Tak ada yang mendengar cerita dan keluh kesahmu. Tak ada. Tak ada sama sekali.
Lalu untuk apa kamu hidup? Pertanyaan itu seketika bergentayangan di benakmu. Menenggelamkanmu dalam ingatan jauh di masa lalu sewaktu kamu masih kecil. Kamu, atau lebih tepatnya Nalea kecil yang sering bertingkah aneh. Bagai mana mungkin Nalea kecil yang masih begitu polos sudah mengerti tentang kematian? Beberapa kali Nalea kecil yang masih berusia balita sering melakukan percobaan bunuh diri. Namun selalu gagal. Tentu saja sebab selalu digagalkan oleh bibi pengasuh dirimu.
Meski beberapa kali sempat saja ia kecolongan. Nalea kecil pernah di larikan kerumah sakit lantaran menenggak racun serangga. Padahal usia kamu masih 3 tahun kala itu. Seharusnya hal-hal seperti itu tidak mampu terpikirkan olehmu di usia yang masih sangat sebelia itu. Semenjak itu, Ayahmu menambahkan dua orang pengasuh untukmu yang menjagamu ketat selama 24 jam.
Saat memasuki usia 8 tahun sewaktu duduk di bangku kelas 2 SD, kamu pernah tertabrak mobil. Sang supir mengatakan bahwa kamu sendirilah yang tiba-tiba berlari menuju mobil yang sedang melaju. Bersyukur mobil itu tidak melaju begitu kencang, meskipun kamu sempat di rawat tetapi luka-luka kamu tergolong ringan. Dan semenjak saat itu kamu harus pulang pergi sekolah diantar jemput oleh bodyguard.
Saat memasuki usia SMP, kamu mengiris pergelangan tanganmu sendiri menggunakan pisau cutter di sekolah. Bersyukur kamu masih bisa selamat sebab kamu belum begitu paham di mana letak urat nadimu. Dan sewaktu di bangku SMA beberapa bulan yang lalu, kamu lantas melompat dari atap gedung sekolahmu yang berada di lantai 6. Sekali lagi kamu selamat sebab kau jatuh tak lansung menimpa tanah, melainkan menimpa pohon hias yang ditanam berjejer  di halaman sekolahmu sehingga mengurangi benturan keras saat kau mendarat ke tanah. Tetapi meski begitu tetap saja kau harus dilarikan kerumah sakit karena tak sadarkan diri.