"Please dech, Za. Kamu nggak usah pura-pura nggak ngerti. Kamu selalu begadang setiap kali ada tugas. Kadang sampai nggak tidur semalaman. Mending yang dikerjain cuma tugas kamu aja. Ini tambah lagi tugas nenek lampir itu. Titi tak bisa menyembunyikan kekesalannya tiap kali menyebut nama Jeni. "Za, dia asyik tiduran sekarang tanpa berpikir lagi tentang tugasnya .
"Ti, dia masih rugi kok," jawabku pelan.
"Rugi gimana? " tanya Titi mendelik.
"Yachdia kan nggak tau gimana cara-caranya. Sementara aku, jadi tambah ngerti kan? "
"Tapi, Za? "
"Ti, no free lunch. Kita hidup di era kapitalisme, Ti. Semuanya berdasarkan asas manfaat dan kepentingan".
Kalau aku sudah mengucapkan kalimat itu, Titi tak sanggup lagi berkata. Dia hanya diam dan diam. Titi memang tak bisa berbuat banyak. Dia tak bisa membantu karena keadaan keluarganyapun sama sepertiku. Meskipun begitu, ada satu yang tak bisa kulupakan dari Titi. Dia selalu setia menemaniku saat ku membuat tugas. Bahkan sampai pagi sekalipun. Entah itu juga dengan mengerjakan tugas dari dosennya, membaca buku, atau hanya sekedar duduk menyaksikan kelihaian jemariku menari di atas keyboard. Saat kutertidur, dia yang memberesi buku-buku yang berserakkan sebagai bahan tinjauan pustaka laporanku. Dia juga yang menyelimutiku agar terhindar dari gigitan nyamuk. Meski terlihat acuh namun  sebenarnya  dia sangat perhatian. Itu yang membuatku salut padanya.
***
Malam kian larut. Tapi aku masih berkutat di depan laptop.
"Za, tidur. Udah malam," kata Titi padaku. Entah dia sadar atau tidak.
"Iya bentar lagi," jawabku.