Mohon tunggu...
Zarna Fitri
Zarna Fitri Mohon Tunggu... Freelancer - Terus bermimpi

Hidup harus bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melepas Belenggu

28 Mei 2022   21:52 Diperbarui: 28 Mei 2022   21:55 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen "Melepas Belenggu" oleh Zarpit

Hari telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Namun jemariku masih tetap bertahan di atas keyboard laptop untuk mengetik tugas esok hari. Yach laporan instrumen analisis yang harus kuselesaikan segera karena besok praktikumnya mulai pukul delapan pagi. Jadi tidak ada waktu lagi untuk tidak mengerjakannya.

Terkadang mata tidak lagi bersahabat. Karena dari tadi ia memekik untuk segera dipicingkan. Tidak. Laporan harus selesai. Harus. Tidak boleh tidak. Apalagi ada dua laporan yang harus kuselesaikan. Yach yang satu lagi adalah laporan temanku. Meskipun sama-sama instrumen analisis namun aku perlu mengeditnya agar tidak dibilang copy-paste oleh dosen. Itu suatu keharusan yang mesti kulakukan. Memang tidak ada akad dengannya kalau dia pinjamkan laptop aku juga harus selesaikan tugasnya. Seolah mengalir begitu saja. Lagipula dia juga belum mengerjakan. Maklum.

"Tidur, Za," kata Titi teman sekamarku yang terbangun dari tidurnya.

"Ntar lagi, Ti," jawabku sambil terus mengetik.

"Udahlah, kamu nggak perlu buatin punya Jeni segala. Biar ntar dia copy aja," ujar Titi lagi.

"Nggak apa-apa kok. Ini juga tinggal dikit lagi.

"Baru pembahasan gini kamu bilang dikit lagi?. Titi berusaha duduk dari tidurnya. Za, kamu udah terlalu sering tidur malam. Ntar kamu sakit lho. Lihat tu badan kamu dah kurus banget sekarang. Nggak baik tidur malam terus.

"Tapi, Ti

"Tapi apa? Kamu harus buatin tugas setiap orang yang kamu dipinjami laptop. Gitu?. Suara Titi meninggi. ZaZa. Itu nggak fair. Kamu nggak perlu melakukan itu. Memangnya mereka siapa? Jam segini kamu belum tidur juga. Sementara mereka? Mungkin sekarang mereka udah memasuki babak kedua mimpinya. Ini bukan sekali dua kali lho. Titi menghela nafas perlahan. Ini berkali-kali. Setiap kamu pinjam laptop pasti adaaaa aja imbalannya. Kamu dimanfaatkan, Za.

"Ya!!" Jawabku keras. Titi tersentak mendengarnya. Aku memang dimanfaatin. Tapi, aku lebih memanfaatkan mereka. Aku bisa menyelesaikan tugas-tugasku dengan baik dan bahkan aku bisa menulis puisi dan cerpenku dengan laptop mereka. Dengan laptop mereka, Ti! Aku mempertegas kalimatku. "Kamu tahu Ti tanpa laptop mereka aku takkan bisa menyelesaikan tugas dari dosen dengan baik. Aku takkan bisa menulis puluhan tulisanku yang telah dimuat di koran. Aku takkan bisa mendapatkan nilai IP yang bagus. Aku takkan bisa .. Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku karena butiran air mata lebih dulu membasahi pipiku. Tak dapat kubendung. Aku larut untuk beberapa saat.

"Za," ujar Titi perlahan sambil mengusap air mata yang terus membasahi pipiku. Kamu pasti bisa, Za. Dengan mantap Titi mengucapkan kata itu. Aku mengangguk. Tak lama kemudian jemari ini kembali asyik menari di atas keyboard. Yachaku pasti bisa. I believe I can. Itulah kata-kata yang selalu kuucapkan di saat aku lagi down. Selain itu, Titi juga tak kalah penting dalam menyemangati meskipun terkadang ia tidak suka  melihatku yang keras kepala kalau dinasehati. Tapi itulah aku. Aku takkan berhenti sampai batinku bilang berhenti.

Entah jam berapa laporanku selesai. Yang jelas aku sudah terkapar begitu saja di lantai.

Kriiinng.

Tiba-tiba hp-ku berdering. Dengan mata masih dalam keadaan terpejam kuangkat juga.

"Halo" Suaraku sangat terdengar serak. Maklum saat itu aku antara tidur dan bangun.  

"Halo, Za." Terdengar di seberang sana suara Jeni.

"Gimana, Za? Laporan kita udah beres kan?" Jeni langsung nyerocos tanpa perlu menanyakan keadaanku terlebih dulu.

Laporan kita? Laporan gue aja kali! Gumamku dalam hati.

"Hhm;udah kok. Tenang aja. Semua dah beres," jawabku.

Yachmemang semua sudah beres kukerjakan tadi malam.

"Gitu donk," jawab Jeni sekenanya. Itu baru teman namanya. Ya udah, ntar lagi gue ke kosan lo. Biar punya gue, gue aja yang print sendiri," tukasnya lagi. Oce!.

Yaya," jawabku.

Jeni langsung menutup telepon tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Tapi ya sudahlah, toh aku juga tidak suka dengan orang yang sok basa-basi.

Setelah itu aku langsung ke kamar mandi berwudhu untuk shalat subuh, tak peduli meski matahari sudah keluar dari singgasananya.

Baru saja salam terakhir kuselesaikan, Jeni datang dengan senyum sok manisnya.

"Woi! Shalat apaan coy? Salat dhuha? Masih kepagian kali, hahaha Tawa Jeni sangat menusuk sanubariku. Dia tidak tahu mengapa aku sampai telat bangun untuk shalat subuh. Itu karena aku harus menyelesaikan tugasnya juga. Kalau cuma tugas aku aja, mungkin aku tidak akan begadang tadi malam dan aku tidak akan bangun kesiangan begini. Itu semua gara-gara dia. Tapi, aku harus rela dan ikhlas karena aku tidak bisa melakukan itu. Jadi kapan aku bisa bebas dari dia? Kapan?

"Nggak usah sok bingung dech! Oh ya flashdisc gue mana? tanya Jeni menyentakkan lamunanku.  Gue mau nge-print nich!

"Datanya belum kupindahkan. Masih dalam laptop. Semalam nggak sempat," kataku pada Jeni. Aku berharap dia mengerti penjelasanku.

"Belum dipindahin? Ngapain aja lo semalaman? Main game ? Ya udah, sini gue pindahin. Mana flashdisc-nya? Jeni terlihat sangat kesal.

Titi yang sedari tadi berdiri di pintu, hanya geleng-geleng kepala. Mengurut dada.

***

Ti, aku duluan ya," teriakku pada Titi sambil menyambar flashdisc yang ada di atas lemariku.

"Kok buru-buru amat, Za. Masih setengah delapan lho. Sarapan dulu lah," ujar Titi padaku.

"Sarapan di kampus aja," jawabku, soalnya aku mau nge-print dulu .

"Nge-print? tanya Titi sambil mengernyitkan dahinya. Jadi si Jeni nggak nge-print- in punyamu sekalian?". Kelihatan sekali nada bicara Titi agak meninggi.

"Iya. Barusan Jeni sms, dia nggak bisa print punyaku juga karena uangnya nggak cukup". Aku berusaha meyakinkan Titi.

"Nggak cukup gimana?" tanya Titi tak percaya. Dia punya banyak uang gitu. Kan dia anak pejabat," ujar Titi kesal.

"Udahlah. Aku pergi dulu ya. Assalammualaikum.. Aku langsung meninggalkan Titi yang masih kesal.

Biarlah. Kataku pada diriku sendiri. Aku mengerti perasaan Titi. Titi selalu kesal sama Jeni yang semena-mena terhadapku. Tapi dia tak bisa berbuat banyak karena aku terus menuruti keinginan Jeni. Memang Titi sangat mengerti posisiku yang selalu meminjam laptopnya Jeni. Karena setiap tugas dari dosen apalagi laporan itu semua harus diketik komputer. Jeni adalah satu-satunya temanku yang selalu setia meminjamkan laptopnya padaku. Setiap itu pula aku juga harus membuatkan tugas dan laporannya Jeni sehingga aku harus lebih ekstra begadang. Bagiku itu tidak masalah. Selama tugasku juga selesai. Karena mau berontak pun aku tidak bisa. Aku kan bukan siapa-siapa dan bukan dari keluarga berada. Sedangkan Jeni? Dia merupakan anak satu-satunya dan dari keluarga berada pula. Yach.anggap saja semua itu sebagai simbiosis mutualisme. Atau asas manfaat lah yang ada dalam prinsip demokrasi. Tapi tidak bagi Titi.

"Za, kamu itu dimanfaatkan," ujar Titi suatu kali padaku. Saat itu aku sedang mengetik tugas metodologi penelitian.

"Dimanfaatkan? Dimana? Sama siapa?  tanyaku seolah tak mengerti.

"Sama yang punya laptop tu ". Jeni memonyongkan mulutnya menunjuk ke arah laptop yang sedang kupakai.

"Dimanfaatkan gimana?  tanyaku lagi.

"Please dech, Za. Kamu nggak usah pura-pura nggak ngerti. Kamu selalu begadang setiap kali ada tugas. Kadang sampai nggak tidur semalaman. Mending yang dikerjain cuma tugas kamu aja. Ini tambah lagi tugas nenek lampir itu. Titi tak bisa menyembunyikan kekesalannya tiap kali menyebut nama Jeni. "Za, dia asyik tiduran sekarang tanpa berpikir lagi tentang tugasnya .

"Ti, dia masih rugi kok," jawabku pelan.

"Rugi gimana? " tanya Titi mendelik.

"Yachdia kan nggak tau gimana cara-caranya. Sementara aku, jadi tambah ngerti kan? "

"Tapi, Za? "

"Ti, no free lunch. Kita hidup di era kapitalisme, Ti. Semuanya berdasarkan asas manfaat dan kepentingan".

Kalau aku sudah mengucapkan kalimat itu, Titi tak sanggup lagi berkata. Dia hanya diam dan diam. Titi memang tak bisa berbuat banyak. Dia tak bisa membantu karena keadaan keluarganyapun sama sepertiku. Meskipun begitu, ada satu yang tak bisa kulupakan dari Titi. Dia selalu setia menemaniku saat ku membuat tugas. Bahkan sampai pagi sekalipun. Entah itu juga dengan mengerjakan tugas dari dosennya, membaca buku, atau hanya sekedar duduk menyaksikan kelihaian jemariku menari di atas keyboard. Saat kutertidur, dia yang memberesi buku-buku yang berserakkan sebagai bahan tinjauan pustaka laporanku. Dia juga yang menyelimutiku agar terhindar dari gigitan nyamuk. Meski terlihat acuh namun  sebenarnya  dia sangat perhatian. Itu yang membuatku salut padanya.

***

Malam kian larut. Tapi aku masih berkutat di depan laptop.

"Za, tidur. Udah malam," kata Titi padaku. Entah dia sadar atau tidak.

"Iya bentar lagi," jawabku.

Sejak menang lomba menulis cerpen minggu lalu, Titi tak lagi duduk menemaniku membuat laporan. Karena mulai hari ini dan seterusnya aku tak lagi harus berutang laporan untuk Jeni. Hadiah berupa netbook itu cukup membantu mengisi hari-hari indahku. Asas manfaat tak lagi kuberlakukan. Karena aku tak lagi bergantung pada Jeni.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun