"Kok buru-buru amat, Za. Masih setengah delapan lho. Sarapan dulu lah," ujar Titi padaku.
"Sarapan di kampus aja," jawabku, soalnya aku mau nge-print dulu .
"Nge-print? tanya Titi sambil mengernyitkan dahinya. Jadi si Jeni nggak nge-print- in punyamu sekalian?". Kelihatan sekali nada bicara Titi agak meninggi.
"Iya. Barusan Jeni sms, dia nggak bisa print punyaku juga karena uangnya nggak cukup". Aku berusaha meyakinkan Titi.
"Nggak cukup gimana?" tanya Titi tak percaya. Dia punya banyak uang gitu. Kan dia anak pejabat," ujar Titi kesal.
"Udahlah. Aku pergi dulu ya. Assalammualaikum.. Aku langsung meninggalkan Titi yang masih kesal.
Biarlah. Kataku pada diriku sendiri. Aku mengerti perasaan Titi. Titi selalu kesal sama Jeni yang semena-mena terhadapku. Tapi dia tak bisa berbuat banyak karena aku terus menuruti keinginan Jeni. Memang Titi sangat mengerti posisiku yang selalu meminjam laptopnya Jeni. Karena setiap tugas dari dosen apalagi laporan itu semua harus diketik komputer. Jeni adalah satu-satunya temanku yang selalu setia meminjamkan laptopnya padaku. Setiap itu pula aku juga harus membuatkan tugas dan laporannya Jeni sehingga aku harus lebih ekstra begadang. Bagiku itu tidak masalah. Selama tugasku juga selesai. Karena mau berontak pun aku tidak bisa. Aku kan bukan siapa-siapa dan bukan dari keluarga berada. Sedangkan Jeni? Dia merupakan anak satu-satunya dan dari keluarga berada pula. Yach.anggap saja semua itu sebagai simbiosis mutualisme. Atau asas manfaat lah yang ada dalam prinsip demokrasi. Tapi tidak bagi Titi.
"Za, kamu itu dimanfaatkan," ujar Titi suatu kali padaku. Saat itu aku sedang mengetik tugas metodologi penelitian.
"Dimanfaatkan? Dimana? Sama siapa? Â tanyaku seolah tak mengerti.
"Sama yang punya laptop tu ". Jeni memonyongkan mulutnya menunjuk ke arah laptop yang sedang kupakai.
"Dimanfaatkan gimana? Â tanyaku lagi.