Mohon tunggu...
Zesyta Puspitha syarie
Zesyta Puspitha syarie Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Kulineran and traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Tokoh Pemikiran Sosiologi Hukum Menurut Marx Weber dan Herbert Lionel Adolphus Hart (Hla Hart)

27 Oktober 2024   04:08 Diperbarui: 27 Oktober 2024   08:40 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama: Zesyta Puspitha Syarie 

Nim: 222111085

Kelas: Hes 5 C 

* Cari artikel jurnal yang membahas tokoh Marx Weber dan Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA Hart).

A. Tokoh Max Weber

Artikel jurnal yang membahas tokoh Max Weber yaitu * Pendidikan Berbudaya Perspektif Pemikiran Max Weber*

Nama lengkap Max Weber adalah Karl Emil Maximillian Weber. Max Weber dilahirkan di Erfurt, Thuringia pada tanggal 21 April tahun 1864 dan dibesarkan di Berlin. Keluarganya pindah ke Berlin ketika ia berusia 5 tahun. Max Weber berasal dari keluarga yang menganut agama Protestan kelas menengah dan terbiasa dengan kebudayaan borjuis. Beliau adalah seorang Sosiolog yang ahli di berbagai bidang seperti sosiologi, kebudayaan, politik, hukum, bahkan ekonomi.

Pokok- pokok pemikiran Max Weber yaitu:

1. Rasionalisasi Hukum: Weber menekankan bahwa modernisasi membawa rasionalisasi dalam hukum. Hukum menjadi lebih formal, abstrak, dan diterapkan secara universal. Ini terlihat dari birokrasi yang berkembang dan aturan yang lebih ketat dalam masyarakat modern.

2. Legitimasi Kekuatan: Weber mengklasifikasikan sumber legitimasi kekuasaan menjadi tiga, yaitu tradisional, kharismatik, dan legal-rasional. Legal-rasional, yang paling relevan dalam hukum modern, mendasarkan kekuasaan pada sistem hukum dan aturan yang diterapkan secara impersonal.

3. Hukum sebagai Cermin Masyarakat: Weber berpendapat bahwa hukum tidak hanya alat untuk mengatur perilaku manusia, tetapi juga mencerminkan struktur sosial dan ekonomi masyarakat.

B. Tokoh Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA Hart).

Artikel jurnal yang membahas tokoh Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA Hart) yaitu * Hukum dan Moralitas: Sebuah Analisa Kritis terhadap Filsafat Hukum*

H.L.A Hart (Herbert Lionel Adolphus Hart) adalah salah satu filsuf hukum paling berpengaruh di abad ke-20. Ia lahir pada 18 Juli 1907 di Harrogate, Yorkshire, Inggris, dan meninggal pada 19 Desember 1992. Hart dikenal karena karyanya di bidang teori hukum dan filsafat analitik, yang secara signifikan membentuk pemahaman modern tentang positivisme hukum. Hart menempuh pendidikan di Cheltenham College dan selanjutnya di New College, Oxford, di mana ia mempelajari filsafat klasik. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Oxford, Hart melanjutkan karirnya sebagai pengacara di London.

Pokok- pokok pemikiran Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA Hart) yaitu: 

1. Positivisme Hukum: HLA Hart dikenal karena pandangannya tentang positivisme hukum. Hart menolak pandangan bahwa hukum harus selalu mencerminkan moralitas, dan ia menekankan pemisahan yang jelas antara hukum yang ada ("law as it is") dan hukum yang seharusnya ("law as it ought to be").

2. Primary and Secondary Rules: Hart memperkenalkan konsep primary rules (aturan yang mengatur perilaku langsung masyarakat) dan secondary rules (aturan yang mengatur bagaimana aturan primer dibuat, diubah, atau dihapus). Hal ini membantu dalam memahami sistem hukum yang kompleks.

3. Rule of Recognition: Hart juga memperkenalkan konsep rule of recognition, yaitu aturan yang memungkinkan identifikasi hukum yang sah dalam suatu sistem hukum. Ini berbeda dengan pendekatan moral atau tradisional terhadap hukum.

Bagaimana Pendapat anda tentang pemikiran Max Weber dan HLA Hart dalam masa sekarang ini.

* Menurut saya Pemikiran Max Weber sangat relevan dalam konteks masa kini, karena masyarakat modern didominasi oleh rasionalitas formal yang menekankan efisiensi dan aturan yang terukur. 

Konsep otoritas rasional legalnya menjadi dasar dari banyak sistem politik dan administrasi modern, di mana aturan dan hukum yang tertulis menjadi landasan legitimasi kekuasaan. 

Di era sekarang, pemikiran Weber masih relevan dalam memahami dinamika birokrasi modern, administrasi negara, dan bagaimana negara serta lembaga hukum berfungsi dalam menjaga ketertiban sosial. 

Weber juga menawarkan wawasan penting tentang hubungan antara hukum dan kekuasaan yang sangat relevan dalam era demokrasi, di mana otoritas didasarkan pada hukum, bukan pada karisma atau tradisi semata. secara umum pemikiran Max Weber memahami struktural sosial dan politik.

* Menurut saya pikiran HLA Hart sangat relevan dalam konteks masa kini, karena hukum harus dipahami sebagai serangkaian aturan yang mengatur perilaku, di mana perbedaan antara hukum yang berlaku (law as it is) dan hukum yang seharusnya (law as it ought to be) sangat penting.

 Di era modern ini, konsep Hart tentang rule of recognition (aturan pengakuan) yang menjelaskan bagaimana sebuah aturan dianggap sebagai hukum oleh sistem hukum sangat penting untuk menilai keabsahan hukum dalam masyarakat pluralis dan demokratis. 

Ini juga relevan dalam perdebatan tentang legalitas vs moralitas dalam penerapan hukum, terutama dalam masalah-masalah hak asasi manusia, keadilan sosial, dan teknologi hukum (seperti hukum siber). 

secara umum pemikiran HLA hart memberikan pondasi bagi kajian tentang legitimasi dan otoritas hukum dalam sistem hukum modern. Keduanya tetap penting sebagai referensi untuk menghadapi tantangan dalam sistem hukum, birokrasi, dan otoritas pada zaman sekarang.

Gunakan Pemikiran Mark Weber dan HLA Hart untuk menganalisis perkembangan hukum di Indonesia.

Menggunakan pemikiran Max Weber dan HLA Hart, kita dapat menganalisis perkembangan hukum di Indonesia dengan memperhatikan dua aspek utama: **birokrasi dan otoritas hukum** (Weber) serta **positivisme hukum dan rule of recognition** (Hart). 

1. Pemikiran Max Weber: Rasionalisasi, Birokrasi, dan Otoritas Rasional-Legal

Weber berpendapat bahwa sistem hukum modern cenderung mengarah pada rasionalisasi hukum bahwa dalam masyarakat modern, hukum semakin dikodifikasikan dan di formulasikan. 

Di Indonesia, kita dapat melihat proses ini melalui kodifikasi hukum yang muncul sejak masa kolonial. Namun, perkembangan pasca-kemerdekaan memperlihatkan upaya untuk mengembangkan hukum nasional yang lebih mencerminkan nilai-nilai lokal, meskipun prosesnya sering kali terhambat oleh tumpang tindih antara sistem hukum adat, hukum agama, dan hukum negara. 

Rasionalisasi ini seringkali menimbulkan konflik dalam penegakan hukum di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang masih mengutamakan hukum adat. Dan birokrasi, di mana hukum menjadi alat untuk mencapai keteraturan sosial dengan prinsip efisiensi dan aturan yang jelas. 

Weber menggarisbawahi bahwa negara modern bergantung pada birokrasi untuk menjalankan hukum secara efektif. Namun, tantangan birokrasi di Indonesia sering diwarnai oleh masalah korupsi dan ketidakefisienan, yang merusak prinsip rasionalitas yang ditekankan oleh Weber. Proses birokrasi yang panjang dan 

2. Pemikiran HLA Hart: Positivisme Hukum dan Rule of Recognition 

Hart memperkenalkan teori positivisme hukum, di mana hukum dilihat sebagai kumpulan aturan yang ditetapkan oleh negara, terlepas dari aspek moralitas. Ia juga menekankan pentingnya rule of recognition, yaitu aturan yang diterima oleh masyarakat sebagai kriteria untuk menentukan apa yang sah sebagai hukum. 

Positivisme Hukum di Indonesia yaitu Pendekatan positivisme hukum Hart relevan dalam konteks Indonesia, terutama dalam hubungan antara hukum formal dan hukum informal. 

Di Indonesia, hukum negara seringkali dihadapkan pada hukum adat dan hukum Islam, yang kadang-kadang dianggap lebih "moral" atau sesuai dengan tradisi setempat. Dalam praktiknya, sistem hukum di Indonesia menunjukkan ciri pluralisme hukum, di mana berbagai sistem hukum beroperasi secara paralel. 

Namun, hukum positif negara tetap menjadi patokan utama dalam penyelesaian sengketa di pengadilan formal. Ini mencerminkan pendekatan positivis, di mana hukum yang sah adalah hukum yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang, meskipun kadang-kadang berbenturan dengan nilai-nilai moral atau adat yang berlaku di masyarakat. 

Rule of Recognition dalam Sistem Hukum Indonesia yaitu di dalam teori Hart, rule of recognition adalah prinsip yang menentukan apa yang dianggap sebagai hukum oleh sistem hukum. Di Indonesia, UUD 1945 dapat dianggap sebagai rule of recognition utama, di mana konstitusi tersebut menjadi sumber legitimasi bagi segala bentuk peraturan hukum lainnya. 

Namun, ada tantangan dalam menerapkan rule of recognition ini di Indonesia, terutama ketika ada perbedaan tafsir antara hukum positif (yang diakui negara) dengan praktik hukum yang berlandaskan adat atau agama. Konflik ini misalnya terlihat dalam kasus-kasus terkait hak-hak tanah adat atau syariah di wilayah-wilayah tertentu. Tantangan Legitimasi Hukum yaitu Pemikiran Hart tentang pentingnya perpisahan antara hukum dan moralitas sangat relevan dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. 

Dalam beberapa kasus, hukum formal yang berlaku sering dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai moral masyarakat, misalnya dalam isu-isu seperti hukum pidana korupsi, undang-undang ITE, atau aturan tentang kebebasan beragama. Ketika hukum formal dianggap tidak adil, legitimasi hukum tersebut di mata masyarakat bisa menurun, dan penegakan hukum menjadi tidak efektif.

#uinsaidsurakarta2024 #muhammadjulijanto #prodihesfasyauinsaidsurakarta2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun