Mohon tunggu...
Zen Siboro
Zen Siboro Mohon Tunggu... Freelancer - samosirbangga

Terkadang suka membaca dan menulis. Pencumbu Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ada Apa di Balik Konflik Rusia-Ukraina?

26 Februari 2022   22:55 Diperbarui: 26 Februari 2022   23:16 2109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fakta Sejarah

Rusia dan Ukraina sebenarnya masih berasal dari satu rumpun masyarakat yang sama dan juga diikuti beberapa negara belahan Eropa Timur lainnya. Tak heran, tidak sedikit negara di wilayah Eropa Timur, secara khusus bekas pendudukan USR (Uni Soviet Republic) masih banyak yang menggunakan bahasa Rusia sebagai bahasa umum meskipun masing-masing negara, seperti Ukraina, yang memiliki bahasa tersendiri.

Kebersamaan itu kemudian pecah pasca WW-II (World War) atau Perang Dunia ke-2 yang berujung pada bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991 pada era pemerintahan Mikhail Gorbachev. Situasi ini terjadi tentu saja tak lepas dengan kemenangan Sekutu atas Jerman, Italia, dan Jepang, khususnya menjelang kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 1945. Bubarnya Uni Soviet kemudian memberikan angin segar bagi 14 negara bekas Soviet yang kemudian mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai negara yang berdaulat dalam kurun waktu yang bergantian.

Bubarnya Uni Soviet pada 1991 bukan terjadi tanpa alasan. Banyak negara bekas jajahan Soviet yang kemudian mulai berganti poros ke arah Barat. Selain itu, dengan dibubarkannya Pakta Warsawa seolah menjadi pertanda bahwa USR memang harus runtuh, dan menjadi momen berakhirnya Cold War atau Perang Dingin. Dimana kala itu terjadi persaingan dua ideologi yaitu Poros Liberal yang direpresentasikan oleh Amerika dan negara-negara Eropa, dan Poros Komunis yang diwakilkan oleh Soviet.

Peristiwa bubarnya USR tentu saja meninggalkan luka yang sangat pahit bagi para loyalis USR yang masih eksis di Rusia, tanpa terkecuali Vladimir Putin yang saat ini menjadi presiden Rusia. Putin yang karir militer terakhirnya berpangkat "Kolonel", tentu saja harus menerima bubarnya USR sebagai kenyataan pahit dalam karir militer dan politiknya. Secara khusus bagi Putin yang merupakan mantan agen KGB (Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti) atau Badan Intelejen Rusia, momen tersebut akhirnya menjadi momentum bagi Putin untuk mengundurkan diri dari KGB sejak bertugas pertama kali pada tahun 1975.

Di sisi lain, Ukraina secara perlahan menunjukkan eksistensi pemerintahannya ke arah Barat. Dengan mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi, Ukraina pelan-pelan mendekatkan diri ke Uni Eropa yang merupakan organisasi "Supranasional" terbesar di dunia saat ini. Melalui European Neighbourhood Policy (ENP) Ukraina mendekatkan diri ke Barat pada tahun 1994, 3 tahun berselang sejak runtuhnya Uni Soviet, bahkan mereka sudah menjalin Piagam Energi antara Uni Eropa dan Ukraina pada tahun yang sama dengan bubarnya Uni Soviet yang dikenal dengan Energy Charter Treaty.

Pada 10 tahun lalu, Uni Eropa kemudian menggagas perjanjian terkait Asosiasi Politik dan Perdagangan Bebas (Freedom of Politics and Free Trade Program) dengan Ukraina yang masih menjadi bagian dari kerangka kerja ENP. Namun perjanjian itu kemudian ditangguhkan lagi oleh Uni Eropa dengan asumsi bahwa Ukraina belum menjadi negara yang demokratis murni dan tunduk pada hukum internasional. Munculnya asumsi tersebut adalah akibat dari vonis hukum terhadap dua tokoh politik Ukraina yaitu Yulia Tymoshenko dan Yuriy Lutsenko pada tahun 2011 dan 2012, terkait dengan kecurangan pemilu Ukraina pada thun 2004, yang kemudian memicu terjadinya Revolusi Oranye (Orange Revolution).

Dengan ditangguhkannya perjanjian tersebut, bukan berarti Ukraina kehilangan kesempatan untuk bergabung dalam Uni Eropa. Pada 27 Februari 2014 Parlemen Eropa (European Parliament) mengesahkan sebuah resolusi yang berisi pengakuan bahwa pintu pendaftaran untuk Ukraina sebagai anggota UE sudah terbuka secara sah. Menariknya, pada Maret 2016, melalui pemberitaan RadioFreeEurope, presiden Komisi Eropa (President of European Commission) Jean-Claude Juncker memberikan pernyataan bahwa Ukraina masih membutuhkan waktu setidaknya 20 tahun lagi untuk bisa bergabung dengan Uni Eropa ataupun NATO berkaitan dengan belum stabilnya kerjasama ekonomi antara UE dan Ukraina, dan antara Ukraina dengan International Monetery Found (IMF).

Bagaimana Eskalasi Konflik Rusia-Ukraina?

Seiring berjalannya waktu, Ukraina semakin memperlihatkan kiblatnya ke arah Barat, secara khusus sejak Perang Dingin antara Blok Sekutu dan Blok Komunis berakhir. Sebaliknya, Rusia tampak tidak menunjukkan reaksi negatif yang serius terkait keinginan Ukraina untuk bergabung menjadi anggota Uni Eropa sejak 1994 sampai era 2000-an.

Ada satu fokus yang kerap luput dalam eskalasi konflik di antara kedua negara ini. Masyarakat Ukraina yang notabene adalah mantan personil Uni Soviet, ternyata mengalami diaspora baru secara horizontal.  Ada masyarakat yang pro-Rusia dan ada yang kontra-Rusia.

Munculnya dualisme ideologis di dalam tubuh masyarakat Ukraina sebenarnya sudah menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Secara tidak langsung elemen masyarakat di Ukraina juga memiliki dualism psikologis yang terjadi sejak lama. Bukan hanya pro-Rusia, bahkan ada yang merasa lebih nyaman dengan keadaan saat masih tergabung dalam Uni Soviet.

Hal ini kemudian terbukti, bahwa pada tahun 2014 terjadi peristiwa Euromaidan yang merupakan gelombang massa terbesar sejak meletusnya Revolusi Oranye. Maret 2014 kemudian menjadi salah satu tragedi pahit bagi Ukraina dimana Rusia melakukan aneksasi pada wilayah Krimea atau yang sering dikenal sebutan Crimea Annexation.

Peristiwa ini memicu gelombang demonstran dan konflik internal pada tubuh masyarakat Ukraina dan pemerintah khususnya di Ukraina bagian Barat. Pemerintah Ukraina pada saat itu yang dipimpin oleh Viktor Yanukovych merupakan pemimpin yang pro-Rusia. Menariknya, meskipun Viktor adalah pemimpin yang pro-Rusia, tapi pada masa kepemimpinannya pulalah Ukraina mendesak Uni Eropa agar segera menerima mereka menjadi anggota yang kemudian secara mendadak menangguhkan perjanjian Ukraina dan Uni Eropa pada November 2013. Hingga akhirnya Viktor dimakzulkan oleh Parlemen Ukraina dan konstitusi Ukraina kembali ke Konstitusi 2004.

Krimea yang merupakan salah satu wilayah strategis yang cukup kaya akan smber daya alam, tentu menjadi alasan tersendiri bagi Putin dalam melakukan aneksasi. Terlebih lagi, masyarakat yang terpecah menjadi dua bagian menjadi celah bagi Putin untuk memberi dukungan bagi masyarakat pro-Rusia untuk merebut kembali Ukraina melalui Krimea.

Sejak saat itu hubungan Rusia dan Ukraina tidak lagi baik. Ukraina yang senantiasa berkiblat ke Barat secara perlahan dianggap ancaman oleh Putin. Lantas pertanyaannya, kenapa harus sekarang konflik ini akhirnya meletus menjadi operasi militer?

Konflik Rusia-Ukraina Sekarang

Sejak meletusnya peristiwa Euromaidan pada 2014,  ada beberapa hal yang layak kita cermati dalam memandang konflik Rusia-Ukraina saat ini. Sekilas memang tampak menjadi perang perebutan wilayah. Namun sebenarnya ada beberapa aspek yang perlu dicermati secara serius.

Dari sudut pandang geografis, Ukraina merupakan wilayah eks-Uni Soviet yang paling dekat dengan Moscow yang merupakan wilayah inti Rusia. Meskipun pusat pemerintahan terletak di Kremlin, namun Moscow tetap menjadi jantung Rusia. Melihat dari faktor sejarah, budaya, peradaban, khususnya sejak awal munculnya rezim komunis ala Lenin dan Stalin di Soviet.

Putin memandang keinginan Ukraina untuk bergabung ke NATO (North Antlantic Treaty Organization) merupakan sebuah ancaman serius bagi Rusia terkait dengan kedekatan wilayah ke Moscow. Seandainya NATO menyetujui bergabungnya Ukraina, tentu saja NATO yang notabene adalah Amerika Serikat akan memiliki kantor diplomasi di Ukraina secara legal. Kemudian, bagi Putin, semakin dekat Amerika ke Ukraina, semakin dekat pula Amerika dengan Rusia khususnya Moscow yang merupakan jantung wilayah.

Dari sudut pandang politik, bergabungnya Ukraina ke NATO sedikit banyak tentu memberikan peluang bagi Amerika untuk memandang wilayah Eropa Timur khususnya Rusia secara lebih dekat. Sementara di sisi lain, Ukraina menyatakan keinginannya bergabung ke NATO karena takut akan dominasi Rusia di wilayah Laut Hitam akan semakin besar tanpa adanya kekuatan pembanding.

Bagi Amerika, keinginan Ukraina untuk bergabung ke NATO juga tidak jauh berbeda. Keuntungan yang didapatkan adalah semakin lebarnya kesempatan untuk menerapkan pengaruh Barat di wilayah Eropa Timur. Santer juga kabar bahwa adanya keinginan Amerika untuk mengekspansi sumber daya alam gas dan minyak yang ada di Siberia bagian Utara, yang pastinya tidak diinginkan oleh pihak Rusia.

Pada perspektif yang terakhir, psikologi masyarakat Ukraina yang mengalami Diaspora horizontal menjadi poin penting di dalam konflik ini. Putin yang notabene dihormati masyarakat Ukraina pro-Rusia, digunakan oleh Putin sebagai isu kemanusiaan untuk melanggengkan operasi militer ini. Putin mempersepsikan bahwa masyarakat yang pro-Rusia adalah kaum marjinal di Ukraina dan mengalami berbagai kekerasan kemanusiaan.

Dari sudut pandang ini, Putin mengisyaratkan bahwa selain isu NATO, masyarakat ini perlu untuk diselamatkan keberadaannya. Putin bisa saja berasumsi bahwa bila Ukraina bergabung dalam NATO, maka akan mendekatkan kelompok masyarakat pro-Rusia ke dalam jurang tirani.

Jika menggunakan faktor historis yang sudah terjadi sejak perang dingin, 2014, dan sampai hari ini bisa disimpulkan bahwa hubungan negara sebenarnya sudah tidak baik-baik saja. Probelem tersebut kemudian muncul kembali pada 2014 dan memuncak lagi hari ini. Maka pertanyaannya adalah, apa yang akan terjadi bila perang ini terus berlanjut, apa dampak bagi dunia internasional, bagaimana status Ukraina dan NATO, dan apa dampaknya pada Indonesia?

Reaksi Dunia Internasional dan Kendalanya

Sejauh ini berbagai negara di Eropa dan Amerika sudah menyatakan sikap dengan mendukung tindakan Rusia tersebut yang disertai dengan sanksi terhadap Rusia. Hanya saja sejauh mana lagi dunia internasional dapat bereaksi?

Jika kita membahas NATO, tentu saja partisipannya adalah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa khususnya yang menjadi anggota Uni Eropa. Tapi, apakah mereka dapat bereaksi secara langsung melalui kontak senjata seperti apa yang Rusia lakukan terhadap Ukraina?

Bagi negara-negara peserta PD-2 yang menjadi anggota Uni Eropa seperti Italia, Prancis, Jerman, Spanyol, dan negara lainnya akan sangat sulit untuk ikut berpartisipasi langsung dalam perang tersebut. Azas fundamental Uni Eropa secara jelas melarang anggotanya untuk ikut terlibat dalam konflik perang negara lain kecuali sudah diputuskan melalui Parlemen Eropa dengan minimal mendapatkan 55% persetujuan negara anggota, atau sudah mengantongi izin dari Komisi Eropa.

Sementara pada sisi internal Uni Eropa, sejarah pembentukan NATO juga didasari atas adanya rasa trauma pada Jerman dan Italia seandainya mereka mengulangi hal yang sama seperti masa PD-2. Secara tidak langsung, dampak psikologi yang muncul apabila Uni Eropa mengizinkan Jerman dan Italia terlibat langsung adalah mereka memberikan celah baru bagi kedua negara tersebut untuk show off kembali seperti pada tahun 1939-1945.

Pada sisi ekonomi internasional, tidak sedikit pula negara anggota Uni Eropa yang suplai minyak dan gas buminya berasal dari Rusia. Meskipun tidak ketergantungan secara keseluruhan, namun belum ada alternatif lain untuk mengatasi ketidak mampuan negara Eropa dalam memenuhi kebutuhan mereka akan migas. Hingga saat ini, setidaknya tiga negara besar Eropa seperti Jerman, Italia, dan Prancis masing-masing mengimpor setengah dan seperempat kebutuhan gas alam mereka dari Rusia.

Dari situasi ini, Rusia setidaknya sudah memiliki nilai tawar khusus terhadap negara Eropa seandainya mereka memutuskan untuk terlibat secara langsung. Tentu tidak mudah bagi negara-negara Eropa untuk mencari sumber gas alam secara instan apabila Rusia memutuskan untuk menghentikan suplai gas bumi ke negara-negara tersebut.

Lain Rusia, lain lagi dengan Cina. Cina pernah membuktikan eksistensinya sebagai sebuah poros ekonomi dan politik internasional yang baru pada tahun 2016. Tatkala Filipina memenangkan gugatan atas wilayah Laut Filipina dalam konflik Laut Cina Selatan di Pengadilan Arbitrase Internasional (International Court Arbitration) yang notabene juga didukung AS, Cina sedikitpun tidak bergeming atas putusan PBB tersebut. Cina kemudian muncul sebagai pemain politik internasional yang baru yang senantiasa membangun gestur tidak bisa diatur oleh siapapun dan institusi apapun.

Dalam konflik Rusia-Ukraina hari ini, Cina memiliki pengaruh yang tidak kalah besar dibandingkan Amerika. Secara hubungan ekonomi, Cina merupakan kolega dekat Rusia. Pun secara ideologi, keduanya masih sama-sama bertahan dengan paham Komunis.

Sederhananya, Cina tentu menjadi salah satu kekuatan baru yang tidak akan terbendung bila akhirnya memutuskan untuk terlibat langsung mendukung koleganya Rusia. Sialnya, tidak sedikit pula negara-negara anggota UE yang bermitra dengan Cina dalam beberapa projek mega-investasi.  Kerjasama tersebut setidaknya mampu memecah konsentrasi negara anggota UE yang berniat untuk mendukung Ukraina.

Pada tahun 2016, fakta sejarah sudah membuktikan hal tersebut. Tatkala Uni Eropa menyatakan kesepakatannya untuk menentang tindakan Cina yang mengklaim 80% wilayah Laut Cina Selatan, Cina mengambil sikap diplomatis keras dengan melayangkan ancaman untuk mencabut secara langsung investasi mereka di negara-negara UE. Hasilnya adalah konsentrasi tersebut pecah dan negara yang bermitra investasi dengan Cina akhirnya menarik dukungannya kembali.

Dengan kondisi ini, setidaknya posisi Cina akan memberikan dukungan ganda bagi Rusia. Dukungan sebagai rekan ekonomi dan se-ideologi yang kuat secara ekonomi dan militer, juga dapat mengunci pergerakan Uni Eropa apabila negara anggotanya seperti Jerman, Italia, dan Prancis memberikan dukungan langsung kepada Ukraina sebagai representasi UE.

Bagaimana dengan NATO?

Perjanjian ini sebenarnya muncul atas dasar ketakutan negara Eropa seperti Inggris, Prancis, Spanyol, dan negara lainnya atas trauma sejarah pada tahun 1939. Pun kemudian organisasi yang berwujud perjanjian ini kemudian didirikan pada 1949 untuk mengimbangi pengaruh Blok Timur yang digagas oleh Soviet yang juga dikenal dengan Pakta Warsawa.

Sejak berakhirnya perang dingin (Cold War) yang ditandai dengan runtuhnya Soviet pada 1991, Pakta Warsawa yang diprakarsai Rusia kemudian membubarkan diri. Namun di sisi lain, NATO tetap eksis hingga saat ini hingga berjumlah 30 negara anggota yang di dominasi oleh negara-negara Eropa dan Amerika. Maka pertanyaannya, kalau Pakta Warsawa sudah bubar, mengapa NATO tidak juga bubar?

Pertanyaan ini kemudian dapat kita jawab dengan melihat kemampuan militer negara-negara anggotanya. Di antara seluruh negara anggota tersebut, hanya AS, Prancis, Italia, Turki, dan Inggrislah yang memiliki kekuatan militer terkuat. Kekuatan tersebut dapat kita takar sejak peristiwa PD-2 dimana tidak sedikit negara-negara bagian Eropa yang dapat dengan mudah ditundukkan oleh NAZI, bahkan Belanda yang menjajah Indonesia selama 350 tahun, ditaklukkan oleh NAZI melalui serangan petir atau Blietzkrieg dalam tempo 4 hari.

Pada masa PD-2 kita bisa melihat bagaimana kelima negara ini harus bersatu demi mengimbangi kekuatan Rusia yang memang pada saat itu masih tergabung dalam Uni Soviet. Artinya adalah, meskipun berjumlah 30 negara anggota, bisa dibilang hanya lima negara yang mampu diperhitungkan kekuatannya seandainya konflik ini mengalami peningkatan eskalasi.

Atas dasar kondisi tersebut maka NATO hari ini bukan lagi sebagai organisasi yang didirikan demi menghadang pengaruh Blok Timur di dunia. NATO hari ini bisa dikatakan sebagai malaikat pelindung bagi negara-negara anggota yang kemampuan militernya tergolong lemah dan sedikit. Hal ini terbukti dari bagaimana Trump saat menjabat menjadi presiden Amerika mendesak Uni Eropa dan negara anggota NATO untuk meningkatkan iuran keamanan yang awalnya 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) per negara, menjadi 4%.

Tak pelak situasi ini sempat menjadi pembicaraan pelik antara US dan negara anngota NATO lainnya. Kekesalan Donal Trump tersebut sebenarnya bukan tanpa alasan. Trump menyatakan permintaan tersebut karena sampai tahun 2018, sebesar 70% biaya operasional NATO masih ditanggung oleh Amerika. Maka dari persentase angka, 29 negara lainnya hanya mampu menyokong 30% biaya operasional tersebut.

Berdasarkan fakta tersebut ada satu kesimpulan yang muncul ke publik. Kenyataan bahwa secara internal, NATO juga tidak selalu baik-baik saja. Ada ketidakseimbangan sokongan dana dari masing-masing negara anggota, yang akhirnya memberikan keuntungan bagi Amerika untuk senantiasa mendikte bagaimana proses dan arah berjalannya NATO ke depannya.

Kemudian, apabila NATO akhirnya sepakat untuk ikut terlibat langsung pada konflik Rusia-Ukraina akan ada nilai-nilai internal organisasi yang akan dilanggar. Terdapat 4 tujuan fundamental NATO didirikan, dimana poin pertamanya "menyelesaikan sengketa dengan damai", poin ketiganya adalah "menghindari kekerasan dan ancaman militerdalam hubungan internasional", dan keempat adalah "membela negara anggota NATO yang diserang negara lain dengan asumsi bahwa menyerang anggota adalah menyerang NATO".

Jika melihat dari posisi Ukraina yang masih akan bergabung ke NATO, tentu saja organisasi ini tidak bisa menggunakan operasi militer secara langsung. Apabila NATO memaksakan diri menggunakan operasi militer, maka akan melanggar nilai fundamental NATO yang pertama dan ketiga. Sementara bila ingin terlibat membela, pun Ukraina belum menjadi anggota NATO secara sah. Maka dari tujuan dasar pembentukannya, NATO jelas tidak boleh ikut terlibat secara langsung dalam mendukung Ukraina.

Uni Eropa (European Union)

Berdasarkan fakta sejarah PD-2, UE sebenarnya tidak bisa berbuat banyak dalam konflik ini. UE yang kemampuan rata-rata anggotanya belum se-mandiri Amerika tentu saja tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengimbangi Rusia. Apalagi hal itu menjadi semakin menyakitkan sejak keluarnya Inggris dari anggota UE atau yang lebih kita kenal dengan peristiwa Brexit (British Exit).

Sejak Inggris keluar dari UE persoalan internal UE juga semakin pelik. Pergolakan politik internal negara anggota ternyata semakin meningkat dengan munculnya ancaman lain seperti Italeave atau Italia Leave (ancaman Italia untuk keluar), Franxit atau France Exit (ancaman Prancis untuk keluar), dan Netherleave atau Netherland Leave (ancaman Belanda untuk keluar). Polemik internal Uni Eropa semakin rumit sejak Brexit yang disertai dengan berbagai isu krusial soal imigran, bantuan dana Covid, memburuknya komunikasi UE dengan Amerika pada pemerintahan Trump, sampai pada gagalnya beberapa program-program internasional UE pada berbagai wilayah seperti Timur Tengah, konflik Cina vs Filipina, dan berbagai belahan dunia lainnya.

Kenyataan tersebut kemudian memberikan gambaran bahwa tanpa Inggris saja Uni Eropa sudah kelabakan. Bisa dibilang posisi Uni Eropa hari ini seperti "maju kena-mundur kena". Ingin mendukung Ukraina, tapi persoalan internal belum selesai dengan benar disertai dengan ketergantungan migas pada Rusia. Namun kalau tidak mendukung UE juga akan kehilangan momentum untuk membuktikan dirinya sebagai sebuah organisasi supranasional terbesar di dunia yang selalu mendeklarasikan dirinya sebagai peace keeper.

Bila berkaca pada NATO, Uni Eropa, dan kekuatan sekutu, tidak mudah bagi mereka untuk secara langsung berpartisipasi dalam konflik ini. Ukraina yang sejak awal menyatakan kiblatnya ke arah Barat pun sudah terlihat putus asa, yang ditunjukkan dengan berbagai pernyataan Volodimir Zelensky yang menggambarkan Ukraina ditinggalkan sendirian. Ukraina yang sejak awal sudah terjepit di antara keinginan arah politik Barat namun wilayahnya masih dibayangi Rusia, semakin tersudut dengan tidak adanya respon nyata dari pihak Barat yang semula tampak serius mendukung mereka.

Dampak bagi Indonesia

Memang konflik tersebut terjadi pada skala wilayah yang sangat jauh dari Indonesia. Namun bukan berarti konflik ini tidak memberikan pengaruh besar pada Indonesia. Konflik ini setidaknya memberikan pengaruh pada dua aspek nasional. Pertama, kapasitas Indonesia dalam hubungan internasional, dan kedua perekonomian Indonesia dari sektor saham dan pasar global.

Pada masa Perang Dingin, Indonesia merupakan salah satu pelopor "Gerakan Non-Blok" pada tahun 1961. Gerakan yang salah satunya dipelopori oleh Soekarno ini merupakan respon dari berbagai negara di dunia, yang memilih untuk tidak memihak pada Blok Timur ataupun Blok Barat. Gerakan ini kemudian menjadi wadah bagi semua negara yang memilih untuk bersikap netral, khususnya bagi negara yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya seperti Indonesia.

Dalam hal ini, meskipun Indonesia bukan lagi anggota Dewan Keamanan tidak tetap PBB, hanya saja pemerintah Indonesia perlu bersuara untuk menunjukkan kapasitas Indonesia yang senantiasa aktif berpartisipasi mewujudkan perdamaian dunia. Indonesia harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam memobilisasi atau mengajak dunia internasional untuk senantiasa mengedepankan upaya damai dalam segala hal layaknya tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Selain itu, dampak ekonomi dari peristiwa ini harus dipertimbangkan secara serius oleh Indonesia. Konflik Rusia-Ukraina ini sudah memberikan reaksi ekonomi pada beberapa komponen. Naiknya harga minyak dunia, tidak stabilnya harga saham internasional, terganggunya proses ekspor-impor internasional, yang nantinya pasti akan bermuara pada stabilitas ekonomi dalam negeri.

Salah satu pejabat Kementerian SDM baru saja mencetuskan bahwa sampai 21 hari kedepan sejak 24 Februari, kondisi stok minyak impor Indonesia dari Rusia sebagai mitra dagang masih tergolong aman. Namun bagaimana kalau seandainya konflik ini terus berlangsung hingga lewat dari 21 hari? Tentu saja ini menjadi tantangan kita semua karena pasti memberikan dampak pada harga bahan pokok, harga BBM, inflasi, kekuatan Rupiah atas US Dollar, dan berbagai isu penting ekonomi lainnya.

Akhir kata, konflik Rusia-Ukraina hari ini harus kita pandang secara jelas dan jauh ke depan. Konflik ini mengajarkan kita betapa pentingnya kekuatan militer negara, kemampuan diplomasi internasional, kemandirian ekonomi nasional, dan pastinya kemampuan kita bertahan sebagai sebuah negara seandainya eskalasi konflik ini meningkat.

Kita tentu mengutuk keras dengan adanya tindakan kekerasan yang merusak tatanan hidup manusia. Kita juga tentu tidak bisa memaksakan diri untuk memihak salah satu pihak, selain menyerukan dan mengupayakan jalan damai di antara kedua negara yang berseteru. Namun di balik itu, lebih jauh lagi kita diajarkan untuk bersiap secara ekonomi, politik, dan militer seandainya hal yang sama terjadi pada Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun