Mohon tunggu...
Zen Siboro
Zen Siboro Mohon Tunggu... Freelancer - samosirbangga

Terkadang suka membaca dan menulis. Pencumbu Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ada Apa di Balik Konflik Rusia-Ukraina?

26 Februari 2022   22:55 Diperbarui: 26 Februari 2022   23:16 2109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fakta Sejarah

Rusia dan Ukraina sebenarnya masih berasal dari satu rumpun masyarakat yang sama dan juga diikuti beberapa negara belahan Eropa Timur lainnya. Tak heran, tidak sedikit negara di wilayah Eropa Timur, secara khusus bekas pendudukan USR (Uni Soviet Republic) masih banyak yang menggunakan bahasa Rusia sebagai bahasa umum meskipun masing-masing negara, seperti Ukraina, yang memiliki bahasa tersendiri.

Kebersamaan itu kemudian pecah pasca WW-II (World War) atau Perang Dunia ke-2 yang berujung pada bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991 pada era pemerintahan Mikhail Gorbachev. Situasi ini terjadi tentu saja tak lepas dengan kemenangan Sekutu atas Jerman, Italia, dan Jepang, khususnya menjelang kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 1945. Bubarnya Uni Soviet kemudian memberikan angin segar bagi 14 negara bekas Soviet yang kemudian mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai negara yang berdaulat dalam kurun waktu yang bergantian.

Bubarnya Uni Soviet pada 1991 bukan terjadi tanpa alasan. Banyak negara bekas jajahan Soviet yang kemudian mulai berganti poros ke arah Barat. Selain itu, dengan dibubarkannya Pakta Warsawa seolah menjadi pertanda bahwa USR memang harus runtuh, dan menjadi momen berakhirnya Cold War atau Perang Dingin. Dimana kala itu terjadi persaingan dua ideologi yaitu Poros Liberal yang direpresentasikan oleh Amerika dan negara-negara Eropa, dan Poros Komunis yang diwakilkan oleh Soviet.

Peristiwa bubarnya USR tentu saja meninggalkan luka yang sangat pahit bagi para loyalis USR yang masih eksis di Rusia, tanpa terkecuali Vladimir Putin yang saat ini menjadi presiden Rusia. Putin yang karir militer terakhirnya berpangkat "Kolonel", tentu saja harus menerima bubarnya USR sebagai kenyataan pahit dalam karir militer dan politiknya. Secara khusus bagi Putin yang merupakan mantan agen KGB (Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti) atau Badan Intelejen Rusia, momen tersebut akhirnya menjadi momentum bagi Putin untuk mengundurkan diri dari KGB sejak bertugas pertama kali pada tahun 1975.

Di sisi lain, Ukraina secara perlahan menunjukkan eksistensi pemerintahannya ke arah Barat. Dengan mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi, Ukraina pelan-pelan mendekatkan diri ke Uni Eropa yang merupakan organisasi "Supranasional" terbesar di dunia saat ini. Melalui European Neighbourhood Policy (ENP) Ukraina mendekatkan diri ke Barat pada tahun 1994, 3 tahun berselang sejak runtuhnya Uni Soviet, bahkan mereka sudah menjalin Piagam Energi antara Uni Eropa dan Ukraina pada tahun yang sama dengan bubarnya Uni Soviet yang dikenal dengan Energy Charter Treaty.

Pada 10 tahun lalu, Uni Eropa kemudian menggagas perjanjian terkait Asosiasi Politik dan Perdagangan Bebas (Freedom of Politics and Free Trade Program) dengan Ukraina yang masih menjadi bagian dari kerangka kerja ENP. Namun perjanjian itu kemudian ditangguhkan lagi oleh Uni Eropa dengan asumsi bahwa Ukraina belum menjadi negara yang demokratis murni dan tunduk pada hukum internasional. Munculnya asumsi tersebut adalah akibat dari vonis hukum terhadap dua tokoh politik Ukraina yaitu Yulia Tymoshenko dan Yuriy Lutsenko pada tahun 2011 dan 2012, terkait dengan kecurangan pemilu Ukraina pada thun 2004, yang kemudian memicu terjadinya Revolusi Oranye (Orange Revolution).

Dengan ditangguhkannya perjanjian tersebut, bukan berarti Ukraina kehilangan kesempatan untuk bergabung dalam Uni Eropa. Pada 27 Februari 2014 Parlemen Eropa (European Parliament) mengesahkan sebuah resolusi yang berisi pengakuan bahwa pintu pendaftaran untuk Ukraina sebagai anggota UE sudah terbuka secara sah. Menariknya, pada Maret 2016, melalui pemberitaan RadioFreeEurope, presiden Komisi Eropa (President of European Commission) Jean-Claude Juncker memberikan pernyataan bahwa Ukraina masih membutuhkan waktu setidaknya 20 tahun lagi untuk bisa bergabung dengan Uni Eropa ataupun NATO berkaitan dengan belum stabilnya kerjasama ekonomi antara UE dan Ukraina, dan antara Ukraina dengan International Monetery Found (IMF).

Bagaimana Eskalasi Konflik Rusia-Ukraina?

Seiring berjalannya waktu, Ukraina semakin memperlihatkan kiblatnya ke arah Barat, secara khusus sejak Perang Dingin antara Blok Sekutu dan Blok Komunis berakhir. Sebaliknya, Rusia tampak tidak menunjukkan reaksi negatif yang serius terkait keinginan Ukraina untuk bergabung menjadi anggota Uni Eropa sejak 1994 sampai era 2000-an.

Ada satu fokus yang kerap luput dalam eskalasi konflik di antara kedua negara ini. Masyarakat Ukraina yang notabene adalah mantan personil Uni Soviet, ternyata mengalami diaspora baru secara horizontal.  Ada masyarakat yang pro-Rusia dan ada yang kontra-Rusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun