Pada perspektif yang terakhir, psikologi masyarakat Ukraina yang mengalami Diaspora horizontal menjadi poin penting di dalam konflik ini. Putin yang notabene dihormati masyarakat Ukraina pro-Rusia, digunakan oleh Putin sebagai isu kemanusiaan untuk melanggengkan operasi militer ini. Putin mempersepsikan bahwa masyarakat yang pro-Rusia adalah kaum marjinal di Ukraina dan mengalami berbagai kekerasan kemanusiaan.
Dari sudut pandang ini, Putin mengisyaratkan bahwa selain isu NATO, masyarakat ini perlu untuk diselamatkan keberadaannya. Putin bisa saja berasumsi bahwa bila Ukraina bergabung dalam NATO, maka akan mendekatkan kelompok masyarakat pro-Rusia ke dalam jurang tirani.
Jika menggunakan faktor historis yang sudah terjadi sejak perang dingin, 2014, dan sampai hari ini bisa disimpulkan bahwa hubungan negara sebenarnya sudah tidak baik-baik saja. Probelem tersebut kemudian muncul kembali pada 2014 dan memuncak lagi hari ini. Maka pertanyaannya adalah, apa yang akan terjadi bila perang ini terus berlanjut, apa dampak bagi dunia internasional, bagaimana status Ukraina dan NATO, dan apa dampaknya pada Indonesia?
Reaksi Dunia Internasional dan Kendalanya
Sejauh ini berbagai negara di Eropa dan Amerika sudah menyatakan sikap dengan mendukung tindakan Rusia tersebut yang disertai dengan sanksi terhadap Rusia. Hanya saja sejauh mana lagi dunia internasional dapat bereaksi?
Jika kita membahas NATO, tentu saja partisipannya adalah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa khususnya yang menjadi anggota Uni Eropa. Tapi, apakah mereka dapat bereaksi secara langsung melalui kontak senjata seperti apa yang Rusia lakukan terhadap Ukraina?
Bagi negara-negara peserta PD-2 yang menjadi anggota Uni Eropa seperti Italia, Prancis, Jerman, Spanyol, dan negara lainnya akan sangat sulit untuk ikut berpartisipasi langsung dalam perang tersebut. Azas fundamental Uni Eropa secara jelas melarang anggotanya untuk ikut terlibat dalam konflik perang negara lain kecuali sudah diputuskan melalui Parlemen Eropa dengan minimal mendapatkan 55% persetujuan negara anggota, atau sudah mengantongi izin dari Komisi Eropa.
Sementara pada sisi internal Uni Eropa, sejarah pembentukan NATO juga didasari atas adanya rasa trauma pada Jerman dan Italia seandainya mereka mengulangi hal yang sama seperti masa PD-2. Secara tidak langsung, dampak psikologi yang muncul apabila Uni Eropa mengizinkan Jerman dan Italia terlibat langsung adalah mereka memberikan celah baru bagi kedua negara tersebut untuk show off kembali seperti pada tahun 1939-1945.
Pada sisi ekonomi internasional, tidak sedikit pula negara anggota Uni Eropa yang suplai minyak dan gas buminya berasal dari Rusia. Meskipun tidak ketergantungan secara keseluruhan, namun belum ada alternatif lain untuk mengatasi ketidak mampuan negara Eropa dalam memenuhi kebutuhan mereka akan migas. Hingga saat ini, setidaknya tiga negara besar Eropa seperti Jerman, Italia, dan Prancis masing-masing mengimpor setengah dan seperempat kebutuhan gas alam mereka dari Rusia.
Dari situasi ini, Rusia setidaknya sudah memiliki nilai tawar khusus terhadap negara Eropa seandainya mereka memutuskan untuk terlibat secara langsung. Tentu tidak mudah bagi negara-negara Eropa untuk mencari sumber gas alam secara instan apabila Rusia memutuskan untuk menghentikan suplai gas bumi ke negara-negara tersebut.
Lain Rusia, lain lagi dengan Cina. Cina pernah membuktikan eksistensinya sebagai sebuah poros ekonomi dan politik internasional yang baru pada tahun 2016. Tatkala Filipina memenangkan gugatan atas wilayah Laut Filipina dalam konflik Laut Cina Selatan di Pengadilan Arbitrase Internasional (International Court Arbitration) yang notabene juga didukung AS, Cina sedikitpun tidak bergeming atas putusan PBB tersebut. Cina kemudian muncul sebagai pemain politik internasional yang baru yang senantiasa membangun gestur tidak bisa diatur oleh siapapun dan institusi apapun.