Mohon tunggu...
Zen Siboro
Zen Siboro Mohon Tunggu... Freelancer - samosirbangga

Terkadang suka membaca dan menulis. Pencumbu Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ada Apa di Balik Konflik Rusia-Ukraina?

26 Februari 2022   22:55 Diperbarui: 26 Februari 2022   23:16 2109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan fakta tersebut ada satu kesimpulan yang muncul ke publik. Kenyataan bahwa secara internal, NATO juga tidak selalu baik-baik saja. Ada ketidakseimbangan sokongan dana dari masing-masing negara anggota, yang akhirnya memberikan keuntungan bagi Amerika untuk senantiasa mendikte bagaimana proses dan arah berjalannya NATO ke depannya.

Kemudian, apabila NATO akhirnya sepakat untuk ikut terlibat langsung pada konflik Rusia-Ukraina akan ada nilai-nilai internal organisasi yang akan dilanggar. Terdapat 4 tujuan fundamental NATO didirikan, dimana poin pertamanya "menyelesaikan sengketa dengan damai", poin ketiganya adalah "menghindari kekerasan dan ancaman militerdalam hubungan internasional", dan keempat adalah "membela negara anggota NATO yang diserang negara lain dengan asumsi bahwa menyerang anggota adalah menyerang NATO".

Jika melihat dari posisi Ukraina yang masih akan bergabung ke NATO, tentu saja organisasi ini tidak bisa menggunakan operasi militer secara langsung. Apabila NATO memaksakan diri menggunakan operasi militer, maka akan melanggar nilai fundamental NATO yang pertama dan ketiga. Sementara bila ingin terlibat membela, pun Ukraina belum menjadi anggota NATO secara sah. Maka dari tujuan dasar pembentukannya, NATO jelas tidak boleh ikut terlibat secara langsung dalam mendukung Ukraina.

Uni Eropa (European Union)

Berdasarkan fakta sejarah PD-2, UE sebenarnya tidak bisa berbuat banyak dalam konflik ini. UE yang kemampuan rata-rata anggotanya belum se-mandiri Amerika tentu saja tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengimbangi Rusia. Apalagi hal itu menjadi semakin menyakitkan sejak keluarnya Inggris dari anggota UE atau yang lebih kita kenal dengan peristiwa Brexit (British Exit).

Sejak Inggris keluar dari UE persoalan internal UE juga semakin pelik. Pergolakan politik internal negara anggota ternyata semakin meningkat dengan munculnya ancaman lain seperti Italeave atau Italia Leave (ancaman Italia untuk keluar), Franxit atau France Exit (ancaman Prancis untuk keluar), dan Netherleave atau Netherland Leave (ancaman Belanda untuk keluar). Polemik internal Uni Eropa semakin rumit sejak Brexit yang disertai dengan berbagai isu krusial soal imigran, bantuan dana Covid, memburuknya komunikasi UE dengan Amerika pada pemerintahan Trump, sampai pada gagalnya beberapa program-program internasional UE pada berbagai wilayah seperti Timur Tengah, konflik Cina vs Filipina, dan berbagai belahan dunia lainnya.

Kenyataan tersebut kemudian memberikan gambaran bahwa tanpa Inggris saja Uni Eropa sudah kelabakan. Bisa dibilang posisi Uni Eropa hari ini seperti "maju kena-mundur kena". Ingin mendukung Ukraina, tapi persoalan internal belum selesai dengan benar disertai dengan ketergantungan migas pada Rusia. Namun kalau tidak mendukung UE juga akan kehilangan momentum untuk membuktikan dirinya sebagai sebuah organisasi supranasional terbesar di dunia yang selalu mendeklarasikan dirinya sebagai peace keeper.

Bila berkaca pada NATO, Uni Eropa, dan kekuatan sekutu, tidak mudah bagi mereka untuk secara langsung berpartisipasi dalam konflik ini. Ukraina yang sejak awal menyatakan kiblatnya ke arah Barat pun sudah terlihat putus asa, yang ditunjukkan dengan berbagai pernyataan Volodimir Zelensky yang menggambarkan Ukraina ditinggalkan sendirian. Ukraina yang sejak awal sudah terjepit di antara keinginan arah politik Barat namun wilayahnya masih dibayangi Rusia, semakin tersudut dengan tidak adanya respon nyata dari pihak Barat yang semula tampak serius mendukung mereka.

Dampak bagi Indonesia

Memang konflik tersebut terjadi pada skala wilayah yang sangat jauh dari Indonesia. Namun bukan berarti konflik ini tidak memberikan pengaruh besar pada Indonesia. Konflik ini setidaknya memberikan pengaruh pada dua aspek nasional. Pertama, kapasitas Indonesia dalam hubungan internasional, dan kedua perekonomian Indonesia dari sektor saham dan pasar global.

Pada masa Perang Dingin, Indonesia merupakan salah satu pelopor "Gerakan Non-Blok" pada tahun 1961. Gerakan yang salah satunya dipelopori oleh Soekarno ini merupakan respon dari berbagai negara di dunia, yang memilih untuk tidak memihak pada Blok Timur ataupun Blok Barat. Gerakan ini kemudian menjadi wadah bagi semua negara yang memilih untuk bersikap netral, khususnya bagi negara yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya seperti Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun