Mohon tunggu...
Zenfitri R. Situmorang
Zenfitri R. Situmorang Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Suka menulis, berolahraga dan bernyanyi. Buku favorit adalah buku biografi, filsafat, dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan Saat Ini

29 Januari 2023   20:51 Diperbarui: 29 Januari 2023   21:11 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku memiringkan kembali tubuhku ke berbagai sisi untuk yang ke sekian kalinya. Tak terhitung lagi berapa kali aku melakukannya sejak tadi aku memutuskan untuk tidur. Namun tetap saja mataku tak bisa terlelap. Hatiku gelisah. Pikiranku liar.

Kunyalakan kembali lampu kamarku. Lalu aku duduk di atas tempat tidurku sambil merangkul kedua kakiku yang kutekuk. Aku kembali menangis sambil menenggelamkan wajahku di atas dengkul yang sudah berada dalam pelukanku. Rasanya belum puas aku menangisi cerita yang kudengar hari ini.

Tadi sore sekitar pukul lima, aku bertemu dengan Andre, lelaki yang telah berhasil meluluhkan hatiku sejak lama. Kami berjumpa dan saling mengenal sekitar tiga tahun yang lalu di sebuah komunitas yang kami ikuti. Kedekatan kami berawal dari sebuah cerita. Ya, aku suka bercerita dan dia suka mendengarkan. Dan bercerita seperti menjadi kewajiban bagi kami seusai melakukan kegiatan dari komunitas tempat kami bertemu. Hingga waktu dua jam pun tak pernah cukup untuk kami bercerita. Dan hari ini pun kami bertemu untuk bercerita.

Saat ini kami bukan lagi mahasiswa seperti dulu. Namun hubungan kami masih tetap sama, teman bercerita. Tetapi, lama-kelamaan aku tak suka. Aku tak suka hanya menjadikannya teman bercerita saja. Aku ingin dia menjadi temanku bercerita seumur hidup. Ya, benar. Pendamping hidup.

Setelah menemukan posisi duduk yang nyaman, aku meraih tas sandang yang ia bawa, “aku pinjam bentar, ya.”

“Buat apa?”

“Lihat aja nanti.” Aku terus memegang tasnya sambil menatapnya dengan ekspresi wajah memohon. Ia pun mengalah lalu mengeluarkna tali tas yang melingkar di tubuhnya lalu menyerahkan padauk sambil tersenyum.

Aku mengeluarkan gantungan kunci dari tas sandang kecilku. Gantungannya berhiaskan boneka beruang jantan yang sedang memeluk boneka beruang betina dari belakang, dan beruang mereka memeluk benda berbentuk hati berwarna merah bertuliskan “LOVE”.

Sambil memperhatikanku mengaitkan gantungan kunci tersebut ke pengait ritsleting tasnya, ia bertanya padaku, “apa itu?”

Aku hanya menatapnya sambil menunjukkan gantungan kunci itu. Tetapi dia hanya meresponku dengan ekspresi datar. Aku pun bingung melihat ekspresinya, “kenapa? Kamu nggak suka, ya?” dengan perasan sedikit bersalah. Aku menjadi takut terlihat terlalu lancang.

“Bukan.” Dia mengalihkan perhatiannya pada air mancur yang sedang beradu di tengah-tengah taman dan terdiam sejenak.

 “Kupikir kamu tidak pernah berpikir sejauh itu.” lanjutnya lagi.

“Maksud kamu?”

Andre kembali terdiam hingga akhirnya menjawab, “kukira, aku bukan tipe laki-laki yang kamu suka.”

“Kamu tahu dari mana?” aku terdiam sejenak dengan pikiran yang mulai berkecamuk. “Emang pernah nanya?” lanjutku lagi.

Andre terdiam lama lalu menjawab, “nggak ada sih. cuma nebak-nebak aja.” Andre terus melanjutkan ceritanya dan tak berani menatapku. Kali ini, kami bertukar posisi. Dia sebagai pendongeng dan aku sebagai pendengar yang baik.  

Setelah mendengar ceritanya secara utuh, aku terdiam. Tebakanku benar. Hatiku mulai gelisah. Pikiranku mulai tak terkendali.

“Oh, gitu ya? kalau boleh tahu, dari kapan?” aku bersuara lagi tanpa melihatnya.

Setelah hampir satu menit berlalu, barulah ia menjawab “dua bulan yang lalu.”

Aku ingin marah. Seingatku, selama dua bulan terakhir, kami bertemu sebanyak dua kali sebelum hari ini. Ia tak ada bercerita apa pun tentang pacar barunya.

Hatiku menangis. Tetapi tidak dengan mataku.

Keheningan meliputi kami hingga beberapa menit. Perlahan aku mengeluarkan kembali gantungan kunci yang telah kupasang tadi dan memasukkannya kembali ke dalam tas kecilku. Aku merasa bersalah telah melakukannya.

“Ini tasnya. Maaf ya, aku terlalu lancang.” Aku mengembalikannya dengan baik.

Ia tak langsung meraih tasnya. Ia menatapku meski aku tak membalas tatapannya. Kusodorkan kembali tasnya, barulah ia meraihnya.

Ia memperhatikan tasnya dengan saksama karena tak lagi menemukan gantungan kunci yang tadi sempat kupasang. Kemudian ia kembali menatapku. Namun aku tak ingin lagi menatapnya.

“Sori, Ra. Aku nggak pernah tahu kalau …”

“Udah! Nggak usah dilanjutkan lagi.” Aku tidak tahu mengapa air mataku tak bisa keluar pada saat itu. Padahal aku sangat ingin menangis tersedu-sedu di hadapannya agar ia tahu betapa sakitnya hatiku saat itu.

“Ndre, tolong antar aku pulang!” Dia masih tetap menatapku dan tak bergegas sedikit pun.

“Ndre, tolong antar aku pulang!!!” pintaku kembali dengan nada yang lebih tegas. “Tapi aku bisa pulang sendiri sih.” Aku sedikit menggeser posisi kakiku yang sedari tadi duduk bersila.

“Oke…oke. Kita pulang sekarang.” Ia pun mulai bergegas menghampiri sepeda motornya yang diparkir tak jauh dari tempat kami duduk.

Aku tak tahu siapa yang harus kusalahkan atas cerita ini. Apakah dia harus izin padaku jika hendak jatuh hati pada perempuan lain? Memangnya aku siapa?

Apakah aku salah sudah jatuh hati padanya? Memangnya jatuh hati kita yang menciptakan? memangnya itu perbuatan yang tidak baik?

Entah-lah! Yang pasti hingga detik ini, sudah menjelang jam tiga dini hari, air mataku tak kunjung berhenti. Sudah ke sekian kalinya hidungku dipenuhi lendir yang membuatku sedikit sulit bernapas. Aku bergegas lagi ke kamar mandi untuk mengeluarkannya agar aku bisa kembali bernapas dengan lega.

Setelah berhasil membuang lender-lendir di hidungku, aku menegakkan kepalaku hingga menghadap cermin di kamar mandi. Aku terkejut melihat wajah seseorang di cermin. Mata yang begitu memerah dan bengkak. Hidung yang juga sudah memerah karena sudah terlalu banyak ditekan. Bentuk wajah yang membengkak. “Akukah itu?” batinku menatap bayangan wajah itu.

Meski kepalaku sangat pening dan tenagaku sudah hampir habis, aku menata ulang rambutku yang ikatannya sudah tak beraturan. Kulepaskan ikatannya dan kusisir pakai jariku dengan lembut. Kusatukan mereka dan kujadikan menyerupai ekor kuda.

Kunyalakan keran wastafel, kuraih airnya hingga aku bisa merasakan sensasi airnya di tanganku. Kubasuh tanganku hingga mengenai siku. Ku tangkup airnya dalam telapak tanganku dan kubawa ke arah wajahku. Kubasahi wajahku perlahan sambil menekannya dengan lembut. Kembali kuulangi sampai aku benar-benar bisa merasakan sentuhan airnya di wajahku.

 Setelah memastikan wajahku sudah kembali segar, aku kembali ke kamar tidurku. Kembali kutatap wajahku di cermin kamarku. Sungguh kasihan aku melihatnya. “Mengapa aku setega itu?” batinku kembali.

Kuambil handuk kecil, kutempelkan berulang-ulang ke wajahku. Setelah memastikan seluruh air sudah berpindah ke handuk, barulah aku berhenti melakukannya.

Mataku masih terlihat bengkak. Wajahku sudah sedikit mengempis. Kusapukan sedikit riasan agar terlihat lebih segar.

Aku mencoba tersenyum pada bayanganku di cermin, namun aku belum benar-benar melihat diriku. Kuulangi kembali, sampai senyumku bisa keluar dengan ikhlas. Barulah aku menemukan diriku yang sesungguhnya di cermin. Kemudian aku memeluk diriku dengan erat sambil berkata, “maafkan aku... maafkan aku… maafkan aku…” air mataku kembali menetes, tetapi tidak lagi menangisi hal yang sama dengan sebelumnya. Tetapi menangisi diriku yang telah kusakiti.

Kuambil buku harianku setelah mengganti semua pakaian yang kukenakan sedari tadi sore hingga saat ini sudah pukul empat dini hari. Lalu kutuliskan beberapa hal di dalamnya; siapa aku saat ini, di mana aku berada saat ini, bersama siapa aku saat ini, apa saja yang kumiliki saat ini, dan semua kenyataan-kenyataan yang ada padaku saat ini. Kutuliskan semuanya dengan leluasa, tanpa mengarang sedikit pun.

Perlahan kupejamkan mataku dan kumasukkan kenyataan-kenyataan itu satu per satu ke dalam hati dan pikiranku. Saat memejamkan mata, aku merasakan sesuatu yang mengganjal di tempat tidurku. Aku merabanya dan ternyata handphone-ku yang sedari tadi sudah tenggelam di bawah selimutku. Aku mengeceknya sebentar, dan kulihat sudah ada belasan panggilan telepon WA yang terlewatkan. Andre. Mungkin dia mengkhawatirkanku tadi.

Ingin kuhubungi kembali, tetapi aku menahannya. “Ah, sudahlah. Aku tak membutuhkannya saat ini.” pikirku. Aku harus bisa menerima kenyataan bahwa saat ini ia adalah kekasih orang lain.

Aku kembali memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam melalui hidungku hingga mengenai rongga perutku. Lalu kuhembuskan secara perlahan melalui mulutku. Kutarik kembali hingga ke rongga perut dan kuhembuskan ke luar. Kuulangi terus hingga aku benar-benar bisa hidup dalam kenyataan-kenyataan yang kutuliskan tadi.

Setelah memastikan aku sudah hidup di kenyataan hari ini, aku membaringkan tubuhku dan memejamkan mataku. Aku pun tertidur pulas bersama saat ini-nya aku.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun