“Bukan.” Dia mengalihkan perhatiannya pada air mancur yang sedang beradu di tengah-tengah taman dan terdiam sejenak.
“Kupikir kamu tidak pernah berpikir sejauh itu.” lanjutnya lagi.
“Maksud kamu?”
Andre kembali terdiam hingga akhirnya menjawab, “kukira, aku bukan tipe laki-laki yang kamu suka.”
“Kamu tahu dari mana?” aku terdiam sejenak dengan pikiran yang mulai berkecamuk. “Emang pernah nanya?” lanjutku lagi.
Andre terdiam lama lalu menjawab, “nggak ada sih. cuma nebak-nebak aja.” Andre terus melanjutkan ceritanya dan tak berani menatapku. Kali ini, kami bertukar posisi. Dia sebagai pendongeng dan aku sebagai pendengar yang baik.
Setelah mendengar ceritanya secara utuh, aku terdiam. Tebakanku benar. Hatiku mulai gelisah. Pikiranku mulai tak terkendali.
“Oh, gitu ya? kalau boleh tahu, dari kapan?” aku bersuara lagi tanpa melihatnya.
Setelah hampir satu menit berlalu, barulah ia menjawab “dua bulan yang lalu.”
Aku ingin marah. Seingatku, selama dua bulan terakhir, kami bertemu sebanyak dua kali sebelum hari ini. Ia tak ada bercerita apa pun tentang pacar barunya.
Hatiku menangis. Tetapi tidak dengan mataku.