"Ri ..., kasian Kakak," ucapnya bergetar, "seharusnya dia udah punya keluarga sekarang, tapi...," Yusuf berhenti, ada keresahan yang membuncah di pelupuk matanya.
***
Lorong-lorong rumah sakit itu dipenuhi beberapa pengunjung, tetapi sebagian besar adalah pasien dengan gangguan mental akut. Kami menyusuri lorong bercat putih, dari kejauhan tampak seorang pemuda yang sebenarnya memiliki wajah tampan, tapi tak terurus. Sedikit janggut kini tergerai seperti rambut jagung.
"Kakak ...!" pekik Yusuf, terdengar begitu riang.
Aku terpaku melihat Yusuf memeluk seorang pasien rumah sakit yang tampak acuh.
"Dia kakakku, Ri. Sudah setahun dia di sini, sejak kematian calon istrinya akibat kecelakaan tunggal tahun lalu."
"Aku turut berduka--" Suaraku tercekat, rasa iba kini menggelayuti benak.
Yusuf adalah teman seangkatan di kampus, dia berbeda jurusan denganku, sejak masuk kampus, mata ini selalu terpaku melihatnya bernyanyi di ujung taman ditemani gitar kesayangannya. Dia mahasiswa jurusan seni, sedangkan aku mahasiswi jurusan sastra.
Aku tak memiliki keberanian mendekatinya. Hingga suatu hari aku memenangkan kontes puisi yang kemudian dia aransemen menjadi sebuah lagu.
Sejak itulah kami dekat, walaupun dia belum mengatakan apapun tentang perasaannya tetapi aku bahagia bisa dekat dengan Yusuf.
"Rima! Ngapain kamu disini?" Sebuah suara yang sangat kukenal kini memanggil.
"Kak Dimas?"