Jauh sedikit kehilir, ada sebuah gunung kecil bernama Gunung Bungkuk, disanalah tempat tinggal seorang pertapa tua yang bernama Ayam Klino, seorang jawara yang telah uzur dengan ilmu kebathinannya yang tinggi.
Pada suatu malam jum'at kliwon, Bruk Panjagungan membawa anak buahnya untuk mengantar Batinting ke Gunung Bungkuk. Jalan yang mereka lewati merupakan hutan lebat yang berkabut, kayu-kayu besar, semak belukar, serta suara-suara binatang buas dan desisan ular besar menghiasi pendengaran mereka. Dengan ilmu dan tenaganya yang kuat, Batinting senantiasa dapat mengalahkan binatang buas yang mengganggu, seperti Cigau (Harimau besar berambut panjang mirip singa), Ular besar, dan Gajah yang menghalangi mereka dapat dikalahkan oleh Batinting. Namun ketika melawan makhluk tak kasat mata seperti Mambang, Siluman, dan Dewa-Dewa, Batinting sangat kewalahan, sehingga Bruk Panjagungan terpaksa turun tangan.
"Itulah sebabnya Batinting, kamu Ayah hantar kepada Kakek Ayam Klino, agar beliau mengajarkanmu ilmu kebathinan. Setelah kau selesai dengan kebathinanmu, tiada yang mampu mengalahkanmu..!" ujar Bruk Panjagungan kepada anaknya.
"Baik Ayah... aku akan belajar dengan baik dan patuh sesuai arahanmu, setelah tamat nanti aku akan menantangmu untuk berduel denganku... akan aku rebut Bukit Tambun Tulang untukku sendiri..!" jawab Batinting dengan semangat seraya menatap wajah ayahnya.
"Ha..ha..ha... buktikan nanti wahai anakku... aku sangat suka jikalau engkau mampu mengalahkanku..!" tawa Bruk Panjagungan begitu lepas mendengar kata-kata anaknya yang ambisius.
Tiada terasa, sekitar jam sepuluh malam itu, mereka sampai dikaki Gunung Bungkuk, obor yang dibawa anak buah Bruk Panjagungan mereka letakkan dipinggiran sungai, mereka membasuh muka dan membersihkan badan. Lalu Batinting disuruh oleh ayahnya mandi balimau yang mereka bawa.Â
Setelah Batinting mandi, kabut tebal serta udara malam yang dingin menambah seramnya malam itu. Lalu Bruk Panjagungan mengeluarkan alat sirih dan membuat sesajian dikaki Gunung Bungkuk, lalu seraya membakar kemenyan, mulutnya komat-kamit melantunkan mantera.Â
Sementara itu Batinting disuruh duduk bersila diatas batu besar seraya bersemedi. Setelah asap kemenyan membumbung tinggi keangkasa sampai kepuncak gunung Bungkuk, Bruk Panjagungan melemparkan kembang sembilan macam ketubuh Batinting. Tak lama kemudian dari puncak Gunung Bungkuk tampak bola api yang melayang kebawah hingga sampai kepada Bruk Panjagungan. Rupanya, bola api tersebut merupakan kepala manusia yang menyeramkan dengan mata yang menyala, kepala tersebut bersuara "Hai Bruk Panjagungan, apa yang membuatmu memanggilku..?" ujar kepala Ayam Klino seraya menatap Bruk Panjagungan.
"Ampun beribu kali ampun, tabik bapuluh kali tabik wahai Ayahanda Tuan Guru Ayam Klino... Sio datang memanggil tuan karena ada suatu maksud yang hendak disampaikan, mohon Tuan Guru berkenan mengabulkannya..!" ujar Bruk Panjagungan seraya menghaturkan sembah sujud. Lalu bola api tersebut menjelma menjadi sesosok orang tua yang berpakaian serba hitam dengan badan sedikit bungkuk.
"Katakanlah maksudmu wahai Bruk Panjagungan..!" titah Ayam Klino.
"Ampun Tuan Guru, ini cucumu Batinting, akan kuserahkan untuk menjadi muridmu, bimbinglah ia sebagaimana engkau membimbingku, ajarilah ia agar menjadi sakti mandraguna, sehingga tak seorangpun mampu mengalahkannya..!" ujar Bruk Panjagungan seraya menoleh kepada Batinting yang khusuk bersemedi diatas batu besar.Â